Dengarkan Artikel
Oleh: Dr. Dayan Abdurrahman
Berbicara tentang pendidikan tinggi, khususnya di jenjang magister dan doktoral, kita masih menyaksikan adanya glorifikasi terhadap perguruan tinggi luar negeri. Banyak yang meyakini bahwa kuliah di kampus global ternama adalah satu-satunya jalan menuju kualitas unggul dan pengakuan akademik. Namun sebagai seseorang yang pernah menjalani proses seleksi beasiswa luar negeri, menulis proposal riset dalam ketatnya persaingan internasional, hingga akhirnya mengalami sendiri dinamika pendidikan tinggi di Indonesia dan luar negeri, saya merasa perlu mengajak publik merenung lebih dalam: apakah benar pendidikan luar negeri selalu lebih unggul? Dan apakah model itu masih relevan dalam konteks Indonesia hari ini?
Biaya yang Mahal, Manfaat yang Belum Merata
Mari bicara angka. Untuk menyekolahkan satu orang mahasiswa doktoral ke Amerika Serikat atau Inggris, biaya yang dikeluarkan oleh negara bisa mencapai 3 hingga 4 miliar rupiah selama masa studi. Angka ini mencakup biaya kuliah, akomodasi, tunjangan hidup, dan keperluan administratif lainnya. Bandingkan dengan program doktor dalam negeri yang rata-rata bisa diselesaikan dengan biaya di bawah 400 juta rupiah per orang. Artinya, dengan dana yang sama, kita dapat mencetak sedikitnya 8 hingga 10 doktor baru di dalam negeri. Ini bukan sekadar matematika fiskal, tetapi soal strategi kebijakan dan pemerataan akses pendidikan tinggi.
Ketika negara-negara maju sendiri mulai mengurangi dana beasiswa karena dampak krisis global, Indonesia justru masih terjebak pada skema prestise akademik luar negeri. Padahal tantangan kita saat ini bukan hanya soal kualitas individu, tetapi kapasitas kolektif untuk membangun ekosistem riset dan pendidikan yang kuat di dalam negeri.
Pengalaman Pribadi: Tidak Semua yang di Luar Itu Lebih Baik
Saya pernah terlibat dalam proses seleksi beasiswa luar negeri dan menyaksikan sendiri betapa banyak pelamar Indonesia gagal bukan karena tidak cerdas, tapi karena tidak memiliki jaringan akademik yang memadai. Di sisi lain, banyak yang berhasil berangkat, justru kembali dengan hasil riset yang kurang relevan atau minim kontribusi terhadap problem lokal di Indonesia.
Lebih menyedihkan lagi, saya juga menjumpai lulusan luar negeri yang ketika kembali, mengalami cultural shock akademik. Mereka terbiasa dengan fasilitas, sistem terbuka, dan jejaring internasional yang kuat, namun ketika kembali ke kampus asal di tanah air, tidak mampu mentransformasikan apa yang telah mereka peroleh karena terbentur realitas sistemik: birokrasi lambat, budaya akademik yang kaku, dan kurangnya dukungan institusi.
📚 Artikel Terkait
Sementara itu, saya melihat banyak dosen dan peneliti lulusan dalam negeri yang tidak kalah kualitasnya, bahkan melebihi dalam hal dedikasi, motivasi, dan ketekunan. Mereka aktif meneliti, membimbing mahasiswa, menulis di jurnal internasional, dan memajukan institusinya tanpa harus bergantung pada simbol luar negeri. Dalam dunia akademik hari ini, metodologi, integritas, dan relevansi riset jauh lebih penting daripada lokasi institusi.
Kuliah Luar Negeri Itu Bernilai, Tapi Tidak Mutlak
Tentu kita tidak menafikan bahwa studi luar negeri memiliki nilai strategis. Belajar Islam di Arab Saudi memberi kedalaman dalam tradisi teks. Belajar teknologi di Jepang atau Tiongkok memberi paparan pada sistem yang disiplin dan inovatif. Tapi studi luar negeri bukan harga mati. Negara berkembang seperti Indonesia, yang mata uangnya lemah dan sumber daya pendidikan belum merata, harus mengambil pendekatan yang lebih adaptif.
Kita bisa mengadopsi model pembelajaran luar negeri: problem-based learning, independent research supervision, peer-reviewed feedback, kolaborasi internasional daring, bahkan pertukaran akademik jangka pendek. Inilah bentuk “pembelajaran lintas batas” yang tidak membebani anggaran negara, namun tetap membuka cakrawala mahasiswa dan dosen kita terhadap dunia akademik global.
Dengan dukungan teknologi, publikasi terbuka, dan komunikasi daring, mahasiswa Indonesia dapat membangun riset yang relevan dan terkoneksi secara global—tanpa harus berada secara fisik di luar negeri. Sebuah penelitian yang baik hari ini tidak diukur dari tempatnya ditulis, tetapi dari kedalaman pertanyaannya, ketepatan metodologinya, dan manfaatnya bagi masyarakat.
Perlu Paradigma Baru: Pendidikan untuk Bangsa, Bukan untuk Elitisme
Kita perlu membongkar mentalitas lama yang menjadikan kuliah luar negeri sebagai simbol sosial atau status elitis. Pendidikan tinggi seharusnya menjadi alat transformasi sosial, bukan sekadar kendaraan menuju karier individu. Selama ini, banyak mahasiswa luar negeri yang ketika kembali, justru terjebak dalam ekspektasi pekerjaan prestisius dan gaji besar, sementara kontribusi mereka terhadap masyarakat justru minim. Dalam konteks itu, pendidikan luar negeri kehilangan makna moral dan sosialnya.
Sebaliknya, doktor yang dibentuk dari sistem pendidikan dalam negeri yang relevan, kolaboratif, dan sadar konteks lokal, memiliki peluang lebih besar untuk membangun perubahan nyata di masyarakat. Mereka tidak hanya tahu masalah Indonesia, tapi hidup di dalamnya, mengalaminya, dan terdorong untuk memperbaikinya.
Kesimpulan: Saatnya Realistis, Bukan Minder
Sudah waktunya Indonesia memiliki arah pendidikan tinggi yang berdaulat. Kita tidak boleh terus-menerus memandang rumput tetangga lebih hijau. Kita boleh belajar ke luar negeri, tetapi tidak boleh mematikan potensi dalam negeri. Kuncinya adalah adaptasi dan komitmen. Alih-alih mengirim satu orang ke luar negeri dengan anggaran miliaran, mari kita gunakan dana itu untuk membangun kapasitas kolektif: memperkuat program pascasarjana dalam negeri, meningkatkan pelatihan dosen, memperluas akses publikasi, dan mendorong kolaborasi riset berbasis kebutuhan nasional.
Belajar bukan soal lokasi, tetapi tentang arah. Dan arah itu harus membawa kita menuju pendidikan yang lebih adil, inklusif, relevan, dan berdampak bagi bangsa. Karena pada akhirnya, yang menentukan masa depan Indonesia bukanlah di mana kita belajar, tetapi bagaimana dan untuk siapa ilmu itu kita perjuangkan.
Dayan Abdurrahman
Peneliti Pendidikan Tinggi; aktif meneliti isu-isu pendidikan pascasarjana, kebijakan beasiswa, dan pemerataan akses pendidikan di negara berkembang.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini














