Dengarkan Artikel
Oleh Tabrani Yunis
Tak sempat menulis, atau belum ada waktu menulis. Itulah dua ungkapan yang sangat sering kita dengar, keluar darı mulut seseorang, ketika diajak menulis. Ya, dua ungkapan itu seakan menjadi alasan yang paling tepat untuk menolak ajakan atau tawaran menulis oleh seseorang. Dua ungkapan itu pula menjadi alasan pamungkas dan klasik yang sering kita dengar atau ucapkan.sehingga, wajar disebut sebagai alasan klasik.
Padahal, kalau kita amati kegiatannya, setiap saat handphone di tangan, schrol ke atas dan bawah, diam, tertawa ngakak menonton Tik Tok atau nonton video, hingga berjam-jam lamanya, tanpa sadar, telah lebih satu jam, dihabiskan waktu di screen atau layar HP. Andai waktu satu jam tersebut digunakan untuk menulis, paling kurang 500 kata terwujud. Namun, yang begitu, selalu ada waktu. Ya, begitulah.
Selain dua ungkapan tersebut kita juga sering mendengar ungkapan yang menjadi alasan untuk tidak menulis. Seringkali orang berkata, saya tidak bisa menulis, atau saya tidak pandai menulis, serta ada pula yang berkata, saya tidak punya bakat menulis. Pertanyaan kita, apakah alasan-alasan tidak punya waktu, tidak sempat, bahkan tidak bisa, tidak pandai dan tidak punya bakat menulis itu adalah jawaban yang kalau kita katakan sebagai angka mati?
Apakah benar bahwa kita tidak punya waktu, tidak sempat bahkan tidak punya bakat menulis menulis atau sesungguhnya karena kita tidak mau menulis? Bukankah sesungguhnya menulis itu, bisa dilakukan kapan saja, di mana saja? Bukankah pula menulis itu bisa dilakukan oleh siapa saja, tanpa harus menggunakan peralatan-paralayan berat dan lengkap? Apalagi saat ini dengan kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi, di mana setiap orang hingga anak kecil pun punya HP yang bisa digunakan untuk menulis. Tidak masuk akla pula bahwa kita tidak punya waktu untuk menulis. Aceh pula rasanya, kalau di antara kita bahkan sudah selesai S2, tidak bisa menulis. Tidak masuk akal, bukan?
Tentu saja tidak. Lalu apa masalahnya? Jawabannya adalah tidak punya kemauan untuk menulis. Alasan-alasan seperti di atas adalah alasan orang-orang malas. Orang malas, pasti suka memberikan alasan seperti itu. Dalam masyarakat Aceh, kita sering mendengarkan pepatah ini. Bak si beu o, lhe that keudaleh. Bak si malah, leu that keunira”. Artinya bagi si pemalas, terlalu banyak alasan, bağı si malas juga banyak sekali perhitungan”. Jadi, kita bisa katakan bahwa sesungguhnya semua orang bisa menulis, semua hal bisa ditulis, asalkan mau. Bukankah orang Inggris selalu mengatakan bahwa “ There is a will, there is a way. Ya, di mana ada kemauan, pasti ada jalan.
Nah, bila selama ini, banyak orang beralasan seperti yang disebut di awal tulisan ini, itu artinya mereka adalah orang-orang yang sesat pikir dan bermental malas. Harus kita akui pula bahwa orang yang banyak alasan seperti ini adalah produk gagal dunia pendidikan. Sebab, diakui atau tidak, saat ini kita bisa katakan bahwa dunia pendidikan formal mungkin sudah berhasil melahirkan peserta didik yang dahulunya tidak tahu, sekarang sudah tahu (kognitif meningkat), sudah berhasil mengubah atau meningkat dari tidak bisa menjadi bisa, tapi belum berhasil mengubah perilaku “ tidak mau, menjadi mau” pada domain perilaku( afektif).
📚 Artikel Terkait
Tulisan ini, sesungguhnya ingin menyampaikan atau membuktikan bahwa alasan-alasan yang disebutkan di atas memang alasan orang-orang yang kemauannya rendah, kalau tidak bisa dikatakan sebagai alasan para pemalas.
Tulisan ini lahir juga karena sebenarnya, ikut tercetus dalam keseharian saya menulis. Selama Hampir satu bulan saya tidak menulis. Alasannya juga sama. Ya, menjadi tidak sempat menulis. Tidak sempatnya saya menulis, karena alasan setiap hari selama ini saya menerima banyak tulisan yang dikirimkan oleh para penulis, baik yang sudah penulis senior, maupun penulis penulis atau junior. Tulisan-tulisan yang terus masuk itu, mengharuskan saya untuk membaca dan mengedit sebelum dimuat di Potretonline.com, atau juga yang mengirim tulisan anak di majalahanakcerdas.com.
Banyaknya tulisan yang masuk dan harus diproses, saya memang dahulukan memroses tulisan yang masuk. Sebab bağı saya, mendahulukan tulisan para penulis adalah karena ingin mempercepat kebahagiaan orang atau penulis yang mengirimkan karya tulis mereka ke POTRET atau ke majalah Anak Cerdas. Ya, dengan kata lain adalah mempercepat kebahagiaan orang atau penulis. Sebab sebagaimana kita ketahui atau rasakan, ketika kita mengirim sebuah tulisan ke media, pertanyaan pertama adalah Apakah tulisan yang saya kirim ke media tersebut dimuat? Pertanyaan kedua, kalau dimuat, kapan?
Kedua pertanyaan tersebut adalah harapan besar setiap penulis bahwa penulis tersebut berharap tulisannya dimuat dan ingin cepat dimuat. Kalau dimuat dan dalam waktu yang cepat, maka si penulis tersebut aka sangat bahagia. Lalu, ketika para penulis itu merada bahagia, batın saya pun terasa sangat bahagia.
Oleh sebab itu, berdasarkan kondisi Itulah saya mendahulukan dan mempercepat proses pemuatan tulisan di Potretonline.com, dan majalahanakcerdas.com. Hal ini juga dilakukan, karena prinsip yang diterapkan di kedua media yang saya kelola dengan prinsip membangun motivasi orang menulis. Karena impian dari penerbitan kedua media ini adalah untuk membangun budaya literasi anak negeri.
Toh, tulisan ini hadir dan lahir juga sebagai bukti bahwa tidak ada alasan untuk tidak menulis, walau dalam keadaan apa pun. Tidak ada alasan untuk tidak menulis karena sibuk mengurus tulisan orang lain yang semakin banyak setiap hari dari berbagai penjuru, baik dari lokal Aceh, nusantara maupun darı mancanegara. Semua bisa diatur. Yang penting punya kemauaan untuk berkarya dan tulisan ini terwujud, juga di tengah kesibukan saya mengelola POTRET Gallery sebagai tempat saya mencari sumber rezeki dengan berjualan berbagai produk, seperti souvenir pernikahan, mainan umum dan mainan edukasi, kerajinan rakyat seperti kerajinan Jepara, kerajinan rotan, eceng gondok, alat-alat tulis dan pakaian.
Ya, sekali lagi. Tidak ada alasan yang tidak masuk akal itu membuat saya tidak menulis. Saya mau, saya bisa. Saya mau saya belajar. Saya mau saya kakılan. Saya mau saya wujudkan lahirnya tulisan ini. Sebab saya benci kemalasan, dan saya menjadikan kegiatan menulis sebagai sebuah kebutuhan, bukan sebagai hobby. Sebab kalau hobby, belum tentu saya butuhkan, tetapi kalau menulis sebagai kebutuhan, maka menulis ibaret makan.
Kalau saya tidak makan, saya akan lapar. Begitu juga dengan menulis. Kalau saya tidak menulis, saya akan lapar terhadap kegiatan menulis. Mari kita berfikir dan bertindak dengan sehat.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini


















