Dengarkan Artikel
Oleh Sazali
Beberapa hari ini, Banda Aceh gaduh. Bukan karena banjir, bukan juga karena harga barang yang lagi naik, tapi karena sebatang pohon ditebang. Iya, pohon. Hanya sebatang pohon. Bukan hutan. Tapi yang bikin ramai, ini bukan pohon sembarangan. Ini adalah pohon “Jeju” julukan “sayang” warga kota karena bentuk dan lokasinya yang estetik mirip-mirip dengan pohon di drama Korea. Yang juga kebetulan lokasinya di pinggir pantai sehingga kerap menjadi latar foto dan video untuk postingan media sosial
Namun, entah oleh siapa, pohon itu tiba-tiba ditebang, kemudian narasi kehilangan, kemarahan, dan desakan untuk mengusut pelaku mulai bermunculan. Bahkan anggota dewan pun turut mengeluarkan pernyataan keras dan meminta untuk mengusut siapa pelakunya.
Sekilas, ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap lingkungan semakin tinggi. Tapi benarkah demikian?
Saya justru melihat gejala lain. Kemarahan kita sepertinya bukan semata-mata lahir dari kepedulian terhadap alam secara utuh, melainkan dari kehilangan sesuatu yang terlihat dan terpotret. Satu pohon yang estetik ditebang, kita ramai, heboh bukan kepalang. Tapi saat ratusan bahkan ribuan hektar hutan kita di Aceh yang terus-menerus dibabat setiap tahun: kita malah diam tak peduli. Tak ada video menangis di lokasi, tak ada tangisan netizen, dan sangat jarang kita melihat anggota dewan bersuara keras soal itu.
📚 Artikel Terkait
Mengapa? Apakah karena hutan tak memiliki nilai visual yang cukup untuk viral? Atau karena ia jauh dari radar selfie Gen Z, dan terlalu sunyi untuk memancing empati kita semua? Atau jangan-jangan, perhatian kita terhadap lingkungan selama ini hanya bersifat estetis belaka. Artinya selama bisa jadi konten, baru kita jaga dan perjuangkan.
Tentu, saya tidak sedang membela tindakan penebangan pohon “Jeju” itu. Itu tindakan sembrono dan harus ditindak.* Namun yang patut disorot adalah bagaimana respon terhadap satu pohon lebih nyaring dibanding kerusakan yang jauh lebih sistemik dan masif di tempat lain. Di Aceh, sudah menjadi rahasia umum, laju deforestasi terus terjadi. Hutan Leuser yang merupakan habitat terakhir spesies langka seperti orangutan, harimau, dan gajah Sumatera, terus tergerus atas nama pembangunan dan investasi. Tapi kemarahan publik, jika pun muncul, tidak sebesar atau secepat ketika satu pohon viral ditebang.
Ini menunjukkan bahwa kita semua, baik masyarakat umum, influencer, maupun para pejabat sepertinya sering kali terjebak dalam aktivisme simbolik. Kita bergerak ketika ada momen visual yang menyentuh, bukan karena prinsip atau kesadaran ekologis yang konsisten. Dan yang lebih parahnya lagi, perasaan Gen Z yang kehilangan spot foto bisa mendapat perhatian lebih besar ketimbang satwa yang kehilangan habitat hidup.
Saya ingin mengajak kita semua untuk berkaca. Jika kita bisa marah besar karena satu pohon estetik ditebang, mengapa kita malah diam saat hutan yang menjadi sumber kehidupan kita dibabat habis?
Sudah saatnya kita mengakhiri ‘Double Standard’ dalam upaya kita mencintai alam. Jangan hanya merawat yang bisa difoto atau yang instagramable, tapi kita lupakan yang menopang kehidupan kita sehari-hari. Jangan hanya menangisi sebatang pohon viral, tapi kita biarkan ratusan hektar hutan hilang diam-diam.
Jangan hanya lantang ketika satu pohon viral ditebang, tapi bungkam saat ratusan pohon tumbang di hutan. Karena jika perhatian kita hanya muncul saat kamera menyorot, maka kita bukan sedang membela lingkungan tapi hanya sedang mencari panggung.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini



















