Dengarkan Artikel
Oleh RAHAYULISNA, S. Pd
Guru SD NEGERI 11 BANDAR BARU, Pidie Jaya, Aceh
Saya mengajar di sebuah desa, jauh di balik bukit. Jauh dari keramaian . Saya adalah seorang guru baktiājulukan yang disematkan pada kami yang mengabdi dengan tulus, pahlawan tanpa pamrih, meski digaji tak seberapa. Setiap pagi, saya menyalakan motor tua says yang mesinnya sering terbatuk, lalu menempuh jalan pegunungan yang tidak rata.
Di tengah perjalanan, saya sering bertanya dalam hati:”Masih kuat sampai kapan?” Bukan hanya tubuh saya yang lelah, tapi juga harapan saya juga. Karena bertahun-tahun menjadi guru bakti, saya seperti hidup dalam ruang tunggu yang tak pernah ada panggilan, tak ada honor tetap.
Kadang sebulan, kadang dua bulan baru datang. Dan jika datang pun, tak jarang hanya cukup untuk membeli minyak motor. Namun saya bertahan dan tetap pergi mengajar. Bukan karena tak punya pilihan, tetapi karena yang saya hadapi setiap hari bukan angka-angka,tapi wajah-wajah kecil yang penuh harapan.
Anak-anak yang masih percaya bahwa sekolah bisa mengubah masa depan mereka dan saya ingin menjadi bagian dari jalan menuju masa depan mereka.
š Artikel Terkait
Satu hal yang selalu menjadi mimpi bagi saya adalah PPG(Pendidikan Profesi Guru). Di situ ada harapan untuk diakui sebagai pendidik sejati dan mendapatkan tunjangan. Tapi dari tahun ke tahun, nama kami para guru bakti seperti tak pernah dianggap.
Syaratnya terlalu banyak, aksesnya terlalu jauh, dan peluangnya begitu sempit. Karena lebih diutamakan untuk PNS. Namun semua itu berubah di tahun 2024. Di tengah lesunya harapan, tiba-tiba saya menerima kabar baik dan kali ini bukan sekadar angin lalu. PPG dibuka kembali dengan kebijakan baru. Tidak serumit dulu. Tidak seberat dulu. Dan untuk pertama kalinya, guru bakti seperti saya dipanggil juga dan semua biayanya gratis. Kesempatan itu datang dengan wajah baru berkat kebijakan dari Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan saat itu.
Air mata bahagia tak terasa mengalir di pipi saat melihat di aplikasi PMM saya menjadi salah satu peserta PPGnya. Dan semua kegiatannya PPG dilakukan secara daring selama kurang lebih 3 bulan. Sehingga saya tidak perlu meninggalkan keluarga untuk mengikuti kegiatan PPG ini. Saya mengikuti semua prosesnya. Memang tidak mudah, saya belajar di malam hari, menyelesaikan tugas di sela waktu mengajar, dan tetap hadir untuk murid-murid saya setiap pagi.
Tapi di setiap langkah, semangat saya tumbuh. Karena saya tahu, kali ini perjuangan saya tidak akan berakhir sia-sia dan sertifikasi menanti di depan mata.
Dan benar. Di akhir perjuangan itu, Saya menerima kabar kelulusan. Sertifikat pendidik itu kini ada di tangan saya. Bukan hanya selembar kertas. Tapi sebuah pengakuan yang selama ini hanya bisa saya lihat dari jauh. Bukti bahwa perjuangan saya selama ini tidak sia-sia.
Mas Menteri, terima kasih. Engkau mungkin tak sempat bertemu kami satu per satu. Tapi kebijakanmu menyentuh kami sampai ke desa-desa yang tak pernah masuk peta. Di akhir masa baktimu, engkau membuka pintu besar bagi ribuan guru yang selama ini diam-diam mengabdi
š„ 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini















