Dengarkan Artikel
“Ceritakan sekolahmu, maka akan kuceritakan negerimu”, demikian Karl W. Deutsch berucap. Rencana kunjungan AKB (Ayo Kita Berbagi) ke sekolah di Aceh Besar bukan sebatas memberikan bantuan alat tulis. Komunitas itu ingin mendalami realitas kondisi sekolah kita.Sekolah dapat menceritakan negeri, terutama dalam konteks sosiologis.
Bila masih ada siswa kekurangan, berarti warga negeri itu pun demikian. Bila ada bully, ujaran kebencian, faksi di antara guru, kepala sekolah yang otoriter, suap menyuap, maka dipastikan negeri itu pun demikian.
Meski banyak faktor dan instrumen lain, namun menggunakan sekolah sebagai ukuran sebuah negeri, tidaklah salah. Setidaknya sekolah dapat dijadikan salah satu cerminan sebuah negeri. Sekolah itu tempat anak-anak berinteraksi dengan masyarakat. Mereka berbeda dalam segala hal namun harus duduk satu kelas. Mereka saling kenal, mencoba saling memahami, mencoba toleransi, bahkan belajar mencari solusi persoalan pertemanan maupun konflik di antara mereka.
Terkadang solusi terakhir melalui kekuatan fisik, bentrok mereka kerap jadi persoalan sosial. Di kehidupan sebuah negara hal sama pun terjadi. Di sekolah anak-anak dibimbing para guru yang dikepalai seorang kepala sekolah. Kolaborasi mereka akan menentukan masa depan anak-anak. Mereka pun harus taat konstitusi (kurikulum) yang berganti bak musim.
Akibat perubahan tanpa evaluasi mendalam, anak-anak dan guru harus jadi bahan uji coba. Dahulu ada iklan begini; “buat anak kok coba-coba”. Kita semua produk coba-coba itu, pelaku korupsi di dalamnya. Mereka (koruptor) awalnya juga coba-coba, lalu ketagihan. Dan pemerintah kita ketagihan coba-coba bukan lanjut ke tahap ketagihan yang benar.
Negara Indonesia negara coba-coba. Coba federal, coba NKRI, coba perwakilan, coba pilsung dan mau coba perwakilan lagi. Saya pun menulis ini coba-coba, coba-coba merelevansikan sekolah dan negara serta mencoba teori coba-coba.
Sebelum masuk ke area coba-coba, saya sudah siapkan area beberapa alternatif pemikiran para pendahulu kita. Misal Hegel yang selalu ingin harmonisasi, sinergis antara tesis-antitesis menjadi sintesis. Namun coba-coba versi dia terukur, ada evaluasi. Ketahuan dampak positif dan negatif yang mengharuskan kita melakukan langkah lebih maju. Bukan langkah-langkah emosional seperti para menteri pendidikan Indonesia lakukan berdasar politik semata.
Secara rasional pergantian kurikulum maupun kebijakan pendidikan terkadang cacat logika. Bungkusnya boleh saja menangkap ide langit menapakkan kaki di realitas bumi. Tapi itu semua tampak linglung saat ditanyakan kemana orientasi pendidikan. Selain administrasi yang membosankan bahkan administrasi membuat guru kehilangan kreatifitas apalagi inovasi.
Guru dijadikan ‘robot’ administrasi guna angka statistik. Angka kelulusan, angka kenaikan kelas, angka masuk PTN, dan angka-angka lain yang merupakan senjata manipulatif negara sepanjang peradaban.
📚 Artikel Terkait
Lihat saja ketika pemaparan bidang ekonomi, dengan permainan angka dilanjutkan kata pertumbuhan, kita pun riang gembira dalam kelaparan. Di media pun kerap kita baca angka fantastik kelulusan siswa. Pertanyaan lugunya, benarkah mereka disebut kaum pelajar?.Di kampus-kampus hal sama terjadi, dengan indeks prestasi sekian koma sekian, dengan tingkat kelulusan dan penerimaan yang mewah, cukup menjadi dalil bahwa kampus itu unggul.
Dengan total professor sekian dan doktor sekian, sebuah jurusan kemudian mempromosikan kepada khalayak bahwa jurusan itu pasti berkualitas. Dengan sendirinya universitas tersebut masuk klaster unggulan, hebat, dan nama manipulatif lainnya.Sales ilmu pun bermanuver di media-media, berucap “ayo ke kampus kami”.
Mirip para penjual obat di emperan, terkadang menyajikan sulap dan akrobat guna menarik khalayak. Sangat berbeda dengan apotik-apotik yang tidak perlu promosi namun didatangi orang-orang yang perlu obat.
Tidak ada bukti nyata kampus itu hebat kecuali kuantitas para pengajar bergelar, ruangan, sehingga harus jualan di media sosial. Kasihan memang, namun de facto tidak dapat disangkal. Secara de jure boleh sih kampus unggulan, dapat sertifikat dari lembaga A-Z.Validitas eksternal seolah kebutuhan menarik calon mahasiswa. Perlombaan semu ini mirip kapitalisme semu. Mirip pepatah lama ” reputasi seseorang lebih besar dari dirinya sendiri”. Kita akan dibawa ke masa Abu Nawas atau kisah supir Einstein.
Saya cerita kembali dengan gubahan tanpa mengurangi subtansi cerita.Suatu hari Einstein kelelahan, ia bertanya pada supirnya, “apa engkau mengajar di kelas hari ini, materi ini sudah sering kamu dengar”. Supir yang merasa terhormat berkata;” baik saya akan mengajar hari ini, saya sudah hafal materi-materi yang tuan ajarkan”.Singkat cerita supir mengajar di kelas layaknya Einstein. Lalu seorang mahasiswa bertanya. Pertanyaan itu termasuk sulit, namun supir itu dengan tenang dan senyum menjawab; ” pertanyaanmu terlalu mudah, supirku yang tertidur di mobil dapat menjawabnya”, ucap supir.
Mahasiswa itu penasaran dan mendatangi supir itu. Karena ia Einstein, tentu sangat mudah menjawab pertanyaan itu. Mahasiswa itu kemudian berucap dalam hati;” Bila supir Einstein begitu genius konon lagi Einstein, pantas mengatakan pertanyaanku begitu mudah”.
Kisah yang nyaris mirip pun terjadi pada Abu Nawas. Sekali lagi saya gubah sedikit, sesuai tempat. Saat sedang ngopi di Gerobak Arabica, Abu Nawas menerima pesan singkat bahwa ada seorang ilmuwan akan mengujinya. Ilmuwan itu tidak pernah bertemu dan mengetahui wajah Abu Nawas. Tibalah ilmuwan itu di Gerobak Arabica, ia bertanya pada Abu Nawas; “di mana saya bisa menjumpai Abu Nawas,” tanya Doktor alumni perguruan tinggi di luar negeri itu. Abu Nawas balik bertanya; “Mengapa Anda ingin bertemu Abu Nawas, saya muridnya yang paling bodoh, tanyakan saja pada saya”, jawab Abu Nawas.
Doktor itu pun bertanya pada Abu Nawas. Dengan mudah Abu Nawas menjawabnya. Doktor itu pun heran, dalam hati ia berujar; “Jika murid terbodohnya begitu genius, konon lagi Abu Nawas”. Akhirnya Doktor itu pulang, hasratnya menguji Abu Nawas diurungkannya.
Itu dua contoh sederhana reputasi seseorang terkadang lebih hebat dari yang sebenarnya. Konstruksi sosial kita terkadang sangat mudah mengklaim sebuah sekolah atau kampus itu hebat.
Padahal tidak sehebat konstruksi itu. Ketika seorang profesor yang kerap dikonstruksikan memiliki kemampuan luar biasa, namun de facto tidak demikian. Misalnya ia anti kritik padahal ia pimpinan kampus, masyarakat ilmiah yang rasional. Budaya dan tradisi ilmiahlah yang membedakan kampus dengan sarang penyamun.
Cara pikir ilmiah itu runut dan dapat diverifikasi. Tentunya jujur dan objektif, toleransi, tidak emosional namun rasional. Sayangnya tradisi itu hanya di atas kertas berupa skripsi, tesis dan disertasi. Seperti cerita di atas, bayangkan bila pimpinan kampus anti-kritik, bagaimana dengan bawahannya?.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini















