Dengarkan Artikel
Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si
Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Masjid Raya Baiturrahman memiliki sejarah panjang, pernah dibakar oleh Belanda, dan kemudian dibangun kembali oleh mereka sebagai bagian dari strategi politik untuk merebut simpati rakyat Aceh.
Masjid Raya Baiturrahman awalnya didirikan pada masa Kesultanan Aceh Darussalam. Ada beberapa versi mengenai tahun pendirian pastinya. Beberapa sumber menyebutkan masjid ini dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1612 M.
Sumber lain mengatakan bahwa bangunan masjid sudah ada lebih awal, yaitu pada tahun 1292 M, yang dibangun oleh Sultan Alaidin Mahmudsyah.
Berdasarkan catatan sejarah, Masjid Raya Baiturrahman yang pertama kali didirikan pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, khususnya yang dikaitkan dengan masa Sultan Iskandar Muda, diyakini merupakan bangunan yang didominasi oleh material kayu.
Sebelum dibangun kembali oleh Belanda dengan material permanen seperti batu bata dan semen yang kita lihat sekarang, masjid aslinya memang merupakan struktur kayu khas arsitektur Melayu-Islam di Nusantara pada masa itu. Bangunan kayu ini yang kemudian dibakar habis oleh pasukan Belanda pada tahun 1873.
Sejarah Singkat
Masjid ini berfungsi sebagai pusat ibadah dan simbol kekuatan Islam serta perjuangan rakyat Aceh sejak era kesultanan.
Ya, Masjid Raya Baiturrahman yang asli, sebelum dibakar oleh Belanda, memiliki gaya arsitektur yang sangat berbeda dengan bangunan yang kita lihat sekarang, dan memang mirip dengan Masjid Tuha Indrapuri.
Masjid asli dibangun dengan konstruksi kayu. Ciri khas utamanya adalah memiliki atap bertingkat-tingkat atau bersusun, yang sering disebut sebagai atap “meru” atau piramida berjenjang. Atap ini biasanya terdiri dari empat tingkatan yang semakin mengerucut ke atas.
Berbeda dengan masjid modern atau masjid bergaya Mughal, masjid asli ini tidak memiliki kubah besar atau menara tinggi. Bangunan utamanya berbentuk persegi dan seringkali dikelilingi oleh pagar atau dinding serupa benteng.
Kesamaan dengan Masjid Tuha Indrapuri
Masjid Tuha Indrapuri adalah contoh yang sangat baik dari arsitektur masjid tradisional Aceh yang masih bertahan hingga kini. Masjid ini memiliki ciri-ciri yang sama dengan deskripsi Masjid Raya Baiturrahman yang asli. Masjid Tuha Indrapuri memiliki atap bertingkat tiga atau empat yang berbentuk limas segi empat, semakin membesar ke bawah. Setiap susunan atap melambangkan tingkatan dalam ajaran Islam (iman, Islam, dan ihsan).
Meskipun telah mengalami renovasi, bagian utama dan tiang penyangga Masjid Tuha Indrapuri masih didominasi material kayu. Masjid ini tidak memiliki kubah, melainkan atap bertingkat. Denah bangunannya berbentuk bujur sangkar. Masjid Tuha Indrapuri dibangun di atas panggung setinggi sekitar satu meter, yang merupakan adaptasi terhadap iklim tropis untuk melindungi dari genangan air.
Bahkan, beberapa sumber sejarah secara eksplisit menyatakan bahwa corak bangunan Masjid Raya Baiturrahman yang asli tidak jauh berbeda dengan Masjid Tuha Indrapuri di Aceh Besar saat ini. Ini menunjukkan bahwa Masjid Tuha Indrapuri bisa menjadi gambaran visual yang cukup akurat mengenai bagaimana rupa Masjid Raya Baiturrahman sebelum dibakar dan dibangun kembali dengan gaya Mughal oleh Belanda.
Pada masa Perang Aceh, tepatnya tanggal 10 April 1873, saat agresi kedua tentara Belanda yang dipimpin oleh Jenderal van Swieten, Masjid Raya Baiturrahman dibakar habis. Peristiwa ini memicu kemarahan besar di kalangan masyarakat Aceh dan semakin mengobarkan semangat perlawanan.
Untuk meredakan kemarahan rakyat Aceh dan merebut simpati, Pemerintah Kolonial Belanda kemudian memutuskan untuk membangun kembali masjid ini. Peletakan batu pertama pembangunan kembali dilakukan pada 9 Oktober 1879 oleh Kadhi Malikul Adil, di bawah pengawasan Gubernur Militer Aceh saat itu, Jenderal Mayor Karel van der Heijden.
Pembangunan kembali ini memang menggunakan dana yang besar dari Belanda. Meskipun tidak disebutkan secara spesifik “satu juta Gulden” dalam hasil pencarian yang saya temukan, disebutkan bahwa pembangunan ini dilakukan sebagai upaya untuk menarik simpati rakyat Aceh dan menunjukkan itikad baik Belanda setelah membakar masjid.
Rancangan masjid dibuat oleh arsitek Belanda, Bruins, dari Departement van Burgelijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum) di Batavia.
Gerrit Bruins adalah seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang memainkan peran kunci dalam pembangunan kembali Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh.
Keterlibatannya adalah bagian dari upaya Pemerintah Kolonial Belanda untuk meredakan kemarahan rakyat Aceh setelah mereka membakar masjid asli pada tahun 1873.
Gerrit Bruins adalah seorang arsitek Belanda yang bertugas di Departement van Burgelijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum) di Batavia (sekarang Jakarta). Meskipun detail pribadi tentang riwayat hidupnya tidak banyak terekspos secara luas dibandingkan dengan detail arsitektural karyanya, keterlibatannya dalam proyek sebesar Masjid Raya Baiturrahman menunjukkan ia adalah seorang profesional yang kompeten di bidangnya pada masa itu.
Beberapa sumber juga menyebutnya sebagai seorang kapten angkatan darat Belanda (Kompas.com, 19 Agustus 2021).
Ketika Belanda memutuskan untuk membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman sebagai tanda “itikad baik” dan untuk meredakan perlawanan yang semakin sengit, Gerrit Bruins ditugaskan untuk merancang bangunannya.
Gaya Mughal Revivalisme
Bruins merancang masjid ini dengan gaya Mughal Revivalisme (Kebangkitan Mughal). Gaya ini terinspirasi dari arsitektur Mughal di India, yang ditandai dengan kubah besar dan menara-menara tinggi. Ini merupakan gaya yang sangat berbeda dari arsitektur masjid asli Aceh yang memiliki atap bertingkat. Desain ini juga disebut sebagai gaya eklektik, memadukan unsur-unsur Eropa dan India (Republika Online, 11 Oktober 2020).
Desain awal yang dibuat oleh Bruins menampilkan satu kubah dan satu menara (Djkn.kemenkeu.go.id, 4 November 2022). Masjid yang selesai pada 27 Desember 1881 ini memang hanya memiliki satu kubah dan satu menara.
Desain asli Bruins kemudian diadaptasi dan diawasi pembangunannya oleh arsitek lain bernama L.P. Luijks. Kontraktor pembangunan masjid ini adalah seorang pengusaha berdarah Cina, Lie A Sie (Serambinews.com, 25 April 2021).
Dalam desainnya, Bruins (dan Luijks yang mengawasi) menggunakan material yang didatangkan dari berbagai tempat, seperti marmer dari Tiongkok, besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Myanmar, dan tiang penyangga dari Surabaya (Republika Online, 11 Oktober 2020).
Hal ini menghasilkan struktur yang sangat kokoh, yang terbukti mampu bertahan dari bencana Tsunami 2004.
Awalnya, desain ini mendapat penolakan dari sebagian masyarakat Aceh. Karena dibangun oleh “kafir Belanda” dan arsitekturnya yang asing, banyak yang enggan beribadah di sana. Bahkan Snouck Hurgronje, penasihat Belanda, sempat meragukan bahwa masjid tersebut akan digunakan rakyat Aceh karena bentuknya yang menyerupai bangunan Belanda (BRIN, 28 Mei 2024; Acehinfo, 11 Februari 2022).
Namun, seiring waktu, masjid ini justru menjadi simbol kebanggaan dan identitas Aceh. Kontribusi Gerrit Bruins sangat signifikan dalam membentuk wajah Masjid Raya Baiturrahman yang kita kenal sekarang.
Meskipun motif di balik pembangunan kembali ini adalah politik kolonial, desain dan konstruksi yang diawali oleh Bruins telah melahirkan sebuah masterpiece arsitektur yang kini menjadi ikon Banda Aceh dan salah satu masjid termegah di Asia Tenggara.
Masjid yang dibangun kembali oleh Belanda ini diserahterimakan secara simbolis pada 27 Desember 1881 oleh Gubernur A. Pruys Van Der Hoeven kepada Teungku Kali Malikul Adil. Saat itu, masjid hanya memiliki satu kubah dan satu menara.
Sejak pembangunan kembali oleh Belanda, Masjid Raya Baiturrahman telah mengalami beberapa kali perluasan dan renovasi. Penambahan kubah dan menara terus dilakukan pada tahun 1935, 1958-1965, dan 1992, hingga saat ini memiliki tujuh kubah dan delapan menara.
Masjid ini juga dikenal sebagai salah satu bangunan yang tetap berdiri kokoh dan selamat dari dahsyatnya gempa bumi dan tsunami pada tahun 2004, bahkan berfungsi sebagai tempat penampungan sementara bagi para korban.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini





