Dengarkan Artikel
Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si
Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah seorang ulama kharismatik, pejuang kemerdekaan, gubernur militer pertama Aceh, dan kemudian menjadi pemimpin pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh. Peran gandanya ini menjadikannya salah satu tokoh paling paradoks dan penting dalam sejarah Indonesia.
Lahir pada 17 September 1899 di Desa Beureu’eh, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie, Aceh, Daud Beureueh tumbuh dalam lingkungan religius yang kuat. Sejak muda, ia menempuh pendidikan di berbagai dayah (pesantren tradisional Aceh) terkemuka. Kecerdasan dan kefasihannya dalam berdakwah membuatnya cepat dikenal sebagai seorang ulama muda yang berpengaruh dengan retorika yang berapi-api, terutama dalam mengkritik kolonialisme Belanda.
Pada tahun 1939, Daud Beureueh mendirikan dan memimpin Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Organisasi ini memiliki dua tujuan utama: memodernisasi pendidikan Islam untuk menyaingi sekolah-sekolah Belanda dan menyatukan kekuatan para ulama untuk melawan penjajah serta kaum uleëbalang (bangsawan feodal) yang sering kali bekerja sama dengan Belanda. Melalui PUSA, pengaruhnya sebagai pemimpin rakyat Aceh semakin kokoh.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, Daud Beureueh menjadi figur sentral di Aceh. Dengan otoritas keagamaannya, ia mengerahkan seluruh rakyat Aceh untuk mendukung dan mempertahankan kemerdekaan. Sumpah setia rakyat Aceh kepada Republik Indonesia digerakkan oleh seruannya.
Presiden Soekarno mengangkatnya menjadi Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Di bawah kepemimpinannya, Aceh menjadi benteng pertahanan yang tidak pernah bisa ditembus oleh agresi militer Belanda. Di saat pemerintah pusat di Yogyakarta berada dalam kondisi sulit, Daud Beureueh berhasil menggalang dana besar dari rakyat Aceh, termasuk dana untuk membeli pesawat pertama Indonesia, Dakota RI-001 Seulawah, yang menjadi aset vital bagi perjuangan diplomasi dan cikal bakal maskapai nasional.
Kekecewaan dan Pemberontakan DI/TII (1953-1962)
Setelah pengakuan kedaulatan, hubungan Daud Beureueh dengan pemerintah pusat di Jakarta merenggang. Kekecewaan ini dipicu oleh keputusan pemerintah untuk meleburkan Provinsi Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara pada tahun 1950. Tindakan ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap jasa-jasa Aceh selama revolusi. Selain itu, ia merasa janji Presiden Soekarno untuk memberlakukan syariat Islam di Aceh tidak ditepati.
Puncak dari kekecewaan ini adalah proklamasi yang ia bacakan pada 21 September 1953, yang menyatakan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan Kartosoewirjo. Ini menandai dimulainya pemberontakan DI/TII di Aceh yang berlangsung selama hampir satu dekade.
Rekonsiliasi dan Akhir Hayat
Pemberontakan berakhir secara damai melalui Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA) pada tahun 1962. Salah satu hasil penting dari rekonsiliasi ini adalah pemberian status Daerah Istimewa bagi Aceh, dengan keleluasaan di bidang agama, adat, dan pendidikan. Setelah kembali ke pangkuan Republik, Daud Beureueh menarik diri dari panggung politik nasional. Ia kembali ke peran awalnya sebagai seorang ulama dan pendidik, mendedikasikan sisa hidupnya untuk berdakwah dan mengajar.
Teungku Muhammad Daud Beureueh wafat pada 10 Juni 1987 di Banda Aceh dan dimakamkan di dekat masjid di desa kelahirannya, Beureu’eh.
Hingga kini, Daud Beureueh tetap menjadi tokoh yang sangat dihormati di Aceh, dianggap sebagai “Bapak Orang Aceh”. Kisah hidupnya mencerminkan pergulatan dalam pembentukan negara Indonesia, terutama mengenai hubungan antara pusat dan daerah serta antara agama dan negara.
Meskipun jasanya sangat besar di awal kemerdekaan, perannya sebagai pemimpin pemberontakan membuatnya belum secara resmi diakui sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Hingga saat ini, Teungku Muhammad Daud Beureueh belum secara resmi ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional. Status ini sangat kompleks dan menjadi subjek perdebatan panjang yang mencerminkan dualisme dalam peranannya dalam sejarah Indonesia. Beliau adalah sosok paradoks: seorang pejuang kemerdekaan yang perannya sangat vital di awal berdirinya Republik, namun di sisi lain juga seorang pemimpin pemberontakan besar terhadap pemerintah pusat.
Bagi masyarakat Aceh dan banyak sejarawan, kontribusi Daud Beureueh di masa revolusi fisik (1945-1949) tidak ternilai dan lebih dari cukup untuk memberinya gelar pahlawan. Melalui organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang didirikannya pada tahun 1939, ia berhasil menyatukan kaum ulama dan intelektual Aceh untuk melawan kolonialisme Belanda.
Saat berita proklamasi tiba di Aceh, Daud Beureueh adalah tokoh sentral yang meyakinkan seluruh elemen masyarakat Aceh untuk berdiri kokoh di belakang Republik Indonesia. Ia memimpin Aceh menyatakan sumpah setia kepada RI. Atas pengaruhnya yang luar biasa, ia diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo pada masa perang kemerdekaan. Di bawah kepemimpinannya, Aceh menjadi satu-satunya wilayah yang tidak berhasil diduduki kembali oleh Belanda.
Ketika pemerintahan RI di Yogyakarta sedang terdesak, Daud Beureueh berhasil menggalang dana yang sangat besar dari rakyat Aceh. Sumbangan ini sangat vital, termasuk untuk membeli dua pesawat pertama Indonesia, salah satunya adalah Dakota RI-001 “Seulawah”, yang menjadi cikal bakal Garuda Indonesia.
Sisi lain dari sejarah Daud Beureueh adalah perlawanannya terhadap pemerintah pusat, yang menjadi penghalang utama penganugerahan gelar pahlawan. Kekecewaan Daud Beureueh memuncak karena dua alasan utama: (1) Ia merasa Presiden Soekarno mengingkari janji yang diucapkan saat berkunjung ke Aceh pada tahun 1948 untuk memberikan keleluasaan bagi Aceh menerapkan syariat Islam. (2) Pada tahun 1950, pemerintah pusat meleburkan Provinsi Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Bagi rakyat Aceh, ini adalah sebuah penghinaan dan pengkhianatan terhadap jasa-jasa mereka selama revolusi.
Merasa dikhianati, pada 20 September 1953, Teungku Muhammad Daud Beureueh memproklamasikan bahwa Aceh adalah bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) di bawah pimpinan Kartosoewirjo. Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh pun dimulai. Pemberontakan ini berlangsung selama bertahun-tahun hingga akhirnya tercapai perdamaian melalui Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh pada tahun 1962.
Status Saat Ini dan Upaya Pengusulan
Meskipun memimpin pemberontakan, Daud Beureueh pada akhirnya kembali ke pangkuan Republik Indonesia dan hidup hingga wafatnya pada tahun 1987. Terlepas dari status resminya, bagi sebagian besar masyarakat Aceh, Daud Beureueh adalah pahlawan sejati, Bapak Aceh, dan sosok yang paling berjasa.
Pemerintah Aceh, bersama akademisi dan tokoh masyarakat, telah berulang kali secara resmi mengusulkan nama Teungku Muhammad Daud Beureueh kepada pemerintah pusat untuk diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Namun, hingga kini usulan tersebut belum disetujui, kemungkinan besar karena catatan sejarah pemberontakannya masih menjadi pertimbangan berat bagi pemerintah pusat.
Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah cerminan dari kompleksitas sejarah pembentukan bangsa Indonesia. Peran gandanya sebagai penyelamat Republik di masa kritis sekaligus pemberontak di kemudian hari menciptakan sebuah dilema historis. Oleh karena itu, walau jasanya di awal kemerdekaan tidak terbantahkan, statusnya sebagai Pahlawan Nasional Indonesia secara resmi masih tertunda hingga hari ini.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini






