Oleh Tabrani Yunis
Dulu, ada guru-guru yang mengajar di kelas, terutama kelas inti, kelas unggul atau di sekolah-sekolah yang tergolong unggul atau favorit sering merasa gugup masuk kelas untuk mengajar. Bukan hanya kelas unggul, bahkan juga di kelas biasa. Apalagi guru baru dan guru praktikan, banyak yang merasa gugup atau demam panggung atau dalam bahasa Inggris disebut nervous, kala berhadapan dengan siswa-siswa yang tergolong unggul. Rasa gugup atau nervous, bisa terlihat pada gerak tubuh, juga bisa reaksi tubuh bergetar kala berhadapan, berkeringat dingin atau tangan gemetar serta berbicara agak terbata-bata. Makanya disebut demam panggung.
Penyebabnya, bisa karena belum siap mental, belum berani berdiri di depan kelas , apalagi di depan umum, atau merasa tidak percaya diri. Lebih padah lagi kalau tidak ada persiapan dan latihan yang matang. Kacaulah. Ya, biasanya bila tidak memiliki persiapan mengajar yang baik, rasa gugup muncul pada saat menyajikan pelajaran. Begitu pula kalau tidak percaya diri berhadapan dengan anak-anak atau siswa yang โ hebatโ, atau โ unggulโ. Maka, bisa buyar.
Ya, pokoknya, ada banyak guru yang merasa gugup bila berhadapan dengan anak-anak atau siswa pintar. Padahal, pada saat itu sumber belajar dan media belajar belum sehebat sekarang yang serba digital dan cepat, seperti sekarang ini. Namun, bagi sebagian besar guru, ketika akan mengajar di kelas unggul, rasa gugup ini malah mendorong guru untuk menyiapkan diri secara optimal bila mau masuk mengajar. Jadi, guru memang harus benar-benar menyiapkan diri untuk berdiri di depan kelas yang katanya anak-anak unggul. Sehingga, guru tidak boleh kalah bacaannya dibandingkan peserta didik atau siswa. Artinya, secara intelektual guru memang harus banyak tahu, banyak ilmu, menguasai strategi dan teknik mengajar serta memiliki sikap yang bisa dicontoh dan atau diteladani para peserta didiknya. Sebagai model, tentu saja guru yang berilmu itu banyak membaca. Mengapa demikian?
Jawabannya sederhana saja. Bila tidak banyak membaca, anak-anak pintar dan kritis akan menjadi tantangan berat bagi guru. Mereka yang kritis, suka bertanya dan suka menguji, pasti akan suka dengan guru yang mampu merespon pertanyaan siswa-siswa kritis tersebut. Para siswa akan sangat kagum dengan guru-guru yang mampu merespon atau memberikan penjelasan kepada para siswa. Ya, sebenarnya perasaan gugup atau hilang rasa percaya diri mengajar para siswa yang unggul biasanya hanya dirasakan oleh guru-guru yang kurang persiapan, kurang membaca, kurang menguasai metoda dan teknik mengajar, yang membuat mereka kekurangan bahan dan tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis para siswa.
Selain persoalan ketidaksiapan atau kurang mampu menjawab pertanyaan atau perdebatan antara guru dan siswa yang tergolong unggul, sebenarnya ada banyak tantangan yang menjadi beban guru yang mengajar di sekolah, bukan hanya di kelas-kelas unggul, tetapi juga di kelas-kelas biasa atau regular. Pasti para guru ada yang punya pengalaman buruk dalam menghadapi siswa di kelas seperti disebutkan di atas.
Zaman pun kini terus berubah, seperti waktu yang tak bisa diajak kompromi. Ya, di era, saat teknologi internet atau teknologi informasi dan komunikasi belum sehebat sekarang, beban guru mungkin lebih berat karena kekurangan media pembelajaran dan kurangnya sumber belajar, karena tidak tersedia piranti pembelajaran yang canggih. Tak dapat dimungkiri bahwa guru menjadi sumber belajar dan pengetahuan, karena setiap ucapan dan penjelasan guru adalah ilmu. Maka, dalam dunia pendidikan di masa sebelum era digital, sering sekali kita dengar model- model pembelajaran yang teacher’s centered. Ya, berpusat pada guru.
Ya, yang pasti,ketika guru berdiri di depan kelas, semua mata tertuju kepada guru, menyimak apa yang dijelaskan guru sesuai dengan kapasitas guru tersebut. Para siswa atau peserta didik diharuskan memperhatikan dan mengikuti apa yang dijelaskan oleh guru di depan kelas. Pertanyaannya adalah seberapa besar beban guru mengajar saat itu?
Sementara sekarang di era digital, semua berubah total. Banyak produk atau media belajar yang sebelumnya canggih, kini tidak dipakai lagi, seperti perangkat laboratorium bahasa dan lain-lain. Selain itu, proses belajar mengajar berjalan sangat monotonous, semakin tidak laku. Hanya guru-guru yang gatek, terus berjibaku memberikan penjelasan dengan berceramah di depan kelas dengan metodologi pembelajaran yang terbatas, terutama pada guru-guru yang tidak kreatif, innovatif dan produktif.
Mungkin kelebihannya adalah kemauan membaca siswa selalu didorong dan menumbuhkan kesadaran akan minat membaca buku-buku. Para siswa masih mudah diarahkan. Sehingga beban guru mengajar pun tidak sama seperti di era digital ini.
Lebih parah lagi, di tengah semakin berubah kiblat atau orientasi belajar siswa di era digital ini. Bencana Covid 19 yang begitu dahsyat, mendorong disrupsi berjalan dengan cepat dan bahkan mengubah perilaku yang katanya, masuk ke kebiasan baru atau yang sering kita dengar dan ucapkan dengan new normal.
Sebagaimana kita ketahui dan alami masa pandemik, Covid 19 memaksa semua orang berubah, semua sektor kehidupan mengalami distruction, dan disruption, karena ancaman risiko kematian oleh virus mematikan ini, memaksa semua harus berubah dan beradaptasi dengan Covid 19 itu.
Bahkan ketika meredanya sebaran Covid 19 tersebut masih belum memberikan rasa aman, masih menjadi ancaman dalam beraktivitas seperti dahulu yang dikatakan sebagai masa-masa normal, proses belajar mengajar di sekolah, sudah tidak seperti dahulu lagi. Proses belajar mengajar yang dahulu berlangsung secara tatap muka, tidak perlu menjaga jarak dalam segala aktivitas, term asuk belajar mengajar, tidak perlu memakai face shield, juga masker. Juga tidak ada larangan berkumpul dan berkerumun. Kini, semua sudah berubah. Covid 19 telah memaksa kita berubah dan beradaptasi dengan beratnya ancaman pandemic Covid 19. Semua gerak langkah kita dibatasi. Pembatasan dalam semua sisi atau segi kehidupan, termasuk proses pendidikan yang menjadi kebutuhan dasar kita. Kondisi ini membuat para guru menjadi kalang kabut.
Guru dipaksa harus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di masa Covid tersebut. Mau tidak mau, siap, tidak siap, guru harus menjalankan peran sebagai guru dan pendidik, yang bukan hanya menjalankan tugas mengajar, tetapi menjadi guru kece, sebagaimana disebutkan J.Sumardianta dan Wahyu Kris AW dalam bukunya โ Mendidik Generasi Z & A.โ Kata mereka, Zaman Geje membutuhkan guru kece. Guru kece adalah mereka yang tetap menemukan harapan di tengah kegelapan. Guru kece selalu mencari hingga menemukan kreativitas du tengah keterbatasan. Guru kece adalah sosok manusia paripurna yang menyadari keberadaannya bukanlah menumpukkan harta, melainkan mencintai sesama.
Terkait era milenial, J.Sumardianta dan Wahyu Kris AW mengingatkan bahwa guru era milenial mesti beradaptasi dengan dunia baru era milenial, agar pendidikan tetap bisa berselancar di atas gelombang pergeseran, bukan tenggelam di bawahnya.
Nah, ketika transformasi digital, kemajuan penguasaan teknologi digital di kalangan peserta didik yang semakin pesat, guru era ini dihadapkan dengan tantangan penguasaan, yang bukan saja pada materi ajar yang harus menarik dan aktual, tetapi juga harus melek teknologi. Guru harus juga memiliki ketrampilan yang lebih dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi.
Jadi bila kita sebut sebagai guru kece, di era digital ini, tugas dan beban guru yang seharusnya semakin ringan, karena cepatnya penguasaan teknologi digital oleh peserta didik.
Namun, sejalan dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dan masifnya penggunaan internet di kalangan peserta didik, kemajuan kemampuan menggunakan TIK tersebut, berbanding terbalik dengan menurunnya minat membaca. Di satu sisi, kecepatan penguasan teknologi digital semakin tinggi, namun di sisi lain, minat membaca dan daya baca peserta didik menurun, sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi para guru di era digital ini.
Bukan hal yang mengherankan di era ini, dalam realitas keseharian, semakin banyak peserta didik, bahkan guru sendiri semakin malas belajar, malas membaca, tetapi selalu betah menggunakan gadget untuk hiburan selama berjam-jam dalam sehari. Semakin sulit mengajak dan menyuruh peserta didik untuk membaca. Sehingga buku-buku yang selama ini disebut sebagai sumber ilmu, kini buku-buku berdebu di rak-rak sekolah dan juga rumah-rumah. Para peserta didik semakin addicted dengan gadgets, dan gadget tidak pernah bisa lepas dari genggaman. Oleh sebab itu, menurunnya minat membaca para peserta didik, menjadi tantangan tersendiri bagi guru yang ingin bisa menyukseskan pencapaian tujuan dan target pembelajaran.
Idealnya, dengan semakin majunya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi atau teknologi digital saat ini, serta mudahnya akses internet sebagai alat atau peranti teknologi yang mempercepat proses atau sebagai katalisator untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan pembentukan sikap dan moral secara ideal. Namun, fakta yang ada di tengah masyarakat dan lembaga pendidikan kita, perubahan perilaku dan gaya hidup ( life style) peserta didik, bukannya membuat beban dan tugas guru semakin mudah, sesuai dengan fungsi dan peran teknologi yang memang membuat hidup lebih mudah, beban dan peran guru, malah bertambah hingga harus menjalankan fungsi sebagai guru yang multitalenta, serta multitasking. Karena, sesungguhnya beban dan tugas yang diletakan di pundak guru semakin kompleks, yang bukan hanya harus menjalankan tugas paedagogi dan andragogis, tetapi juga kewajiban menjalankan peran sebagai pelaku transformasi pembelajaran dan pendidikan sejalan dengan tuntutan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi di era digital ini.
Oleh sebab itu, mengingat semakin beratnya tugas dan peran guru, maka para guru di era ini, harus menjadi manusia pembelajar, dan selalu mau belajar dan beradaptasi dengan perubahan zaman, sehingga dengan demikian, tidak akan terlindas oleh kemajuan zaman, dan tidak ditinggalkan oleh para peserta didik, karena tidak mampu bersaing dengan optimal dan pesat. Jangan sampai guru ditinggal di belakang oleh para peserta didik, bila masih berparadigma analog, dan juga sudah bukan zamannya guru mengajar dengan sistem zaman dahulu yang sering disebut zaman kertas. Maka, kata kuncinya adalah berbenahlah.