Oleh Rosadi Jamani
Seorang follower sampai dua kali meminta saya menuliskan kisah ibu dan anak yang meninggal berpelukan. Kisah tragis ini terjadi saat Sukabumi dilanda banjir bandang belum lama ini. Berikut kisahnya dan siapkan tisu karena mengadung bawang.
Hujan turun tanpa henti. Dingin. Gelap. Petir menyambar-nyambar di langit Sukabumi. Malam yang seharusnya tenang berubah menjadi neraka. Sungai meluap. Air bah menerjang tanpa ampun.
Di rumah kontrakan kecil di sudut kampung, Santi memeluk putri kecilnya, Nurul. Tubuh mungil itu bergetar. Matanya yang polos menatap ibunya penuh tanya. “Bu, kita ke mana? Aku takut…”
Santi menelan ludah. Hatinya berdegup kencang. Di luar, suara orang-orang berteriak, meminta tolong. Beberapa rumah sudah hanyut. Jalanan berubah menjadi lautan lumpur. Arus deras membawa apa saja yang dilewatinya. Tak ada tempat untuk lari.
Tangannya menggenggam erat jemari Nurul. Kecil. Hangat. Ia harus melindungi anaknya. Harus. Apa pun yang terjadi. Tiba-tiba, dinding rumah mereka retak. Air mulai merembes masuk. Dalam hitungan detik, lantai berubah menjadi kolam. Santi menggendong Nurul. Mencari jalan keluar. Tapi terlambat. Dinding itu roboh. Air bah menghantam tubuh mereka.
Gelap. Dingin. Tubuh Santi terbawa arus. Nurul menangis. Tangannya mencengkeram baju ibunya erat-erat. “Bu… jangan lepasin aku… Aku takut…”
“Ibu di sini, Nak… Ibu nggak akan pergi… Pegang ibu, ya… Pegang yang kuat…”
Air terus menghantam mereka. Napas Santi tersengal. Tubuhnya lelah. Tapi ia tak boleh melepaskan Nurul. Tak boleh. Kepalanya terbentur kayu besar. Nyeri menjalar ke seluruh tubuh. Matanya mulai buram. Napasnya kian berat.
Arus semakin liar. Menggulung mereka dalam pusaran yang tak berujung. Nafas Santi semakin tipis. Dada sesak. Tapi tangannya tetap memeluk Nurul. Seerat mungkin. Hingga detik terakhir.
Esok harinya, tim SAR menemukannya. Di bawah reruntuhan rumah. Berpelukan. Tak terpisahkan. Tubuh Santi kaku, tapi tangannya masih melingkari Nurul. Seolah ia ingin melindungi putrinya bahkan setelah nafas terakhir. Mata Nurul terpejam. Seolah tertidur dalam dekapan ibunya. Tak lagi takut. Tak lagi menangis.
Para petugas menunduk. Beberapa menangis. Pemandangan itu terlalu memilukan.
“Ibu ini pasti berjuang sampai akhir…”
Di pemakaman sederhana, dua liang lahat digali berdampingan. Hujan masih turun, membasahi tanah merah yang baru ditimbun. Orang-orang berkerumun, wajah mereka muram. Seorang wanita tua menangis terisak. “Santi… Kenapa kamu pergi secepat ini, Nak…” Ibunya, yang kini tak hanya kehilangan seorang anak, tapi juga seorang cucu yang masih begitu kecil.
Langit kelabu. Seakan turut berkabung. Angin berhembus pelan, membawa bisikan yang tak terdengar. Hanya kenangan yang tertinggal. Tentang seorang ibu yang berjuang hingga akhir. Tentang seorang anak yang pergi dalam pelukan penuh kasih.
Di ujung sana, burung-burung beterbangan. Seakan membawa kepergian mereka ke tempat yang lebih damai. Tempat tanpa banjir. Tanpa ketakutan. Tanpa perpisahan. Hujan pun terus turun. Seolah langit pun menangisi kepergian mereka.
camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar