Dengarkan Artikel
Oleh Sri Aliyah Buana
Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam -UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
Pada hari Minggu, tanggal 29 September 2004, saya melakukan observasi di kawasan Pasar Aceh dan melihat dua perempuan bersaudara yang sedang berjalan di pinggir jalan sambil meminta sedekah. Kedua perempuan ini mengenakan pakaian lusuh, dan masing-masing membawa ember kecil sebagai wadah untuk menampung uang pemberian dari para pejalan kaki maupun pengendara yang lalu lalang. Pemandangan ini begitu mengundang rasa iba, terutama karena kondisi fisik salah satu dari mereka—si adik—yang tampak memiliki keterbatasan. Dengan tubuh kurus dan kaki yang tidak sempurna, ia harus menyeret tubuhnya menggunakan tangan agar bisa bergerak maju.
Dari informasi yang pernah saya dengar, si adik pernah dimasukkan ke dalam panti sosial agar dapat dirawat dengan layak oleh pihak pemerintah. Namun, sang kakak kemudian mengeluarkan adiknya dari panti sosial dengan janji bahwa ia tidak akan lagi membawa adiknya ke jalanan untuk mengemis. Sayangnya, janji tersebut tidak ditepati, terbukti dari kenyataan bahwa mereka masih berkeliaran di pinggir jalan, mengulurkan ember kecil untuk meminta belas kasihan. Sang kakak, yang berusia sekitar 50 tahun dan sebenarnya dalam kondisi fisik yang masih cukup kuat, seharusnya bisa mencari nafkah dengan cara yang lebih bermartabat. Namun, mungkin karena tuntutan finansial dan beban tanggung jawab keluarga, ia memilih untuk mengemis, yang mungkin dianggapnya sebagai jalan termudah untuk memenuhi kebutuhan hidup.
📚 Artikel Terkait
Apabila kita menggali informasi lebih lanjut, mungkin akan terungkap alasan-alasan lain yang membuat mereka terjerat dalam praktik mengemis ini. Kondisi ekonomi yang sulit, kurangnya keterampilan, dan akses terbatas ke pekerjaan mungkin menjadi faktor yang mendorong mereka untuk mengandalkan belas kasihan orang lain sebagai sumber penghidupan. Situasi ini sungguh ironis, mengingat sang kakak sebenarnya memiliki potensi untuk bekerja dan hidup secara mandiri, sementara sang adik membutuhkan perawatan dan dukungan khusus yang layak.
Situasi seperti ini tidak seharusnya dibiarkan terus-menerus terjadi, terutama jika ada peluang untuk mengarahkan mereka pada jalan yang lebih baik. Kehadiran pengemis di pinggir jalan bukan hanya mengganggu ketertiban umum, tetapi juga menimbulkan risiko kecelakaan, mengingat lokasi tempat mereka sering kali berdekatan dengan arus lalu lintas yang ramai. Untuk menangani permasalahan ini, peran pemerintah sangat penting dalam memberikan bantuan sosial berupa pelatihan keterampilan kepada para pengemis agar mereka bisa memperoleh penghasilan dengan cara yang lebih bermartabat. Selain itu, razia pengemis dapat dilakukan sebagai langkah awal, namun dengan tujuan agar mereka dapat diarahkan pada pelatihan khusus sehingga mereka memiliki keterampilan dan panduan untuk mencari nafkah di luar jalanan.
Di sisi lain, masyarakat juga dapat ikut berkontribusi dalam penanggulangan masalah pengemis ini dengan membuka lapangan pekerjaan yang layak bagi mereka yang membutuhkan. Dengan adanya dukungan dari pemerintah dan masyarakat, mereka dapat menjalani hidup yang lebih bermartabat tanpa harus mengandalkan belas kasihan dari orang lain. Langkah-langkah ini, jika diterapkan secara konsisten, dapat menciptakan lingkungan yang lebih tertib dan mengurangi jumlah pengemis di jalanan, sehingga tercipta kota yang lebih aman, nyaman, dan mendukung kesejahteraan sosial bagi seluruh warga.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini
















