Oleh Arief Fadhillah
Hari ini sengatan matahari terasa begitu panas. Padahal waktu masih menunjukan pukul 10.00 WIB. Di langit awan bergantung menggumpal berserakan berwarna putih, sepertinya tak ada tanda hujan akan turun. Aku yakin teriknya betah bertahan sampai sore nanti, dan mungkin sampai pikiranku buntu, hahaha.
Seperti hangatnya matahari menyapa kulitku. Begitu pula terasa isi kepalaku sedikit mendidih. Banyak hal yang mulai ku tak mengerti. Tentu berat merasakan situasi bila berada dalam kotak yang membatasi apa yang dapat dilakukan. Banyak pertanyaan yang belum terjawab dengan baik, sementara pertanyaan yang lain seperti barisan antri yang panjang menuju meja customer service di Bank BSI. Apalagi mendapati keadaan tak satu pun usaha sejauh ini menjadi jalan keluar yang pas.
Tepat pukul 10.30 WIB sebenarnya aku telah siap meninggalkan rumah. Namun aku belum juga beranjak, sepertinya ada sesuatu yang belum lengkap. Aku masih saja mematut diri, kemeja ungu gelap memang sengaja kukenakan pagi ini, meskipun aku sadar kemeja itu mulai terlihat memudar warnanya karena keseringan kugunakan. Memang sulit dipahami bila seseorang sudah menyukai satu warna, ia menjadi begitu hambar dengan warna yang lain. Upps, seketika aku menyadari, lantas berwudhu lalu berkemas, ya aku bermaksud menjadikan masjid Baitus Shalihin Uleukareng tempat bertemu dan menuju Darussalam.
Hari ini aku dan Bang Nazry bermaksud menjual salah satu propertinya. Aku berusaha membantu membawa seorang peminat, berharap ia tertarik membeli sebidang tanah seluas 200 meter itu. Menurutku penawaran bang Nazry sangat menarik, apalagi special price-nya begitu luar biasa, cukup membayar separuh dari harga, sisanya dapat dilunasi beberapa bulan kemudian.
Di masjid Uleukareng, sembari menunggu kedatangan bang Nazry dan calon pembeli, aku menyibukkan diri bercengkrama dengan salah satu tiang masjid. Di situlah biasanya aku menguraikan berbagai masalah, merenung, membaca apa yang bisa kuzikirkan. Bahkan kadang aku suka membaringkan sisi kiri atau kanan wajahku, sekadar merasakan sensasi dinginnya ubin masjid.
Dalam lamunanku, sejenak aku membayangkan pertemuan nanti akan berjalan lancar dan sukses. Aku mulai menghadirkan kalkulator di kepalaku. Tanah seluas 200 meter itu benar-benar pilihan investasi yang menguntungkan. Meskipun aku bukan seorang makelar tanah, aku mulai berandai-andai jika harga yang dibandrol 80 juta, lalu bang Nazry menerima dibayar 50 juta dan sisa 30 juta dapat dilunasi dalam jangka waktu 3 bulan, maka aku yakin dapat menjualnya lagi dengan harga pasaran normal, yaitu Rp. 600.000 per meter dalam waktu 3 bulan.
Hal itu berarti, aku memperoleh selisih keuntungan sekitar 40 juta dalam waktu paling lama 3 bulan, konon lagi bila tanah itu dapat terjual dalam tempo 1 bulan ke depan.
Aku juga sempat mereka-reka kepada siapa selanjutnya tanah itu akan kutawarkan. Itulah alasan mengapa aku memutuskan kepada siapa prospek tanah itu kutawarkan. Setidaknya dengan cara begitu aku dapat menghubungkan dua kutub kepentingan dan kebutuhan. Di satu sisi bang Nazry membutuhkan dana fresh dan cepat untuk memenuhi kewajibannya menjelang Ramadhan, di sisi yang lain, temanku Lena memang sadang mencari sebidang tanah. Aku berharap ia dapat melihat peluang dan menjadikannya keuntungan berganda. Sementara aku cukup puas bila semua terwujud, setidaknya dapat membantu keduanya.
Akhirnya, jemputan bang Nasry pun tiba. Aku bergerak cepat menghampirinya.
“Sudah di mana posisi mereka Nyak ?”, bang Nasry bertanya sembari mengontrol laju kecepatan Rush matic putihnya.
“Sedang bergerak bang, sesuai dengan map yang ku kirimkan”
“Ya sudah, kita tunggu mereka di depan fakultas Ekonomi USK”.
Kutatap wajah bang Nazry. Sekilas aku melihat beban pikirannya menjadi manik-manik keruh menyelimuti air wajah lelaki yang hampir menyundul usia 60 tahun. Jika raut begini, aku merasa seperti telah lama mengenalnya. Mungkin karena aku pernah mengalaminya, berada dalam situasi rumit seperti ini. Situasi merasa sendiri, tak ada satu sahabat pun yang dapat membantu.
Sekali-kali masih saja terlintas pertanyaan yang mempertanyakan di mana kini mereka ? Dulu mereka pernah merasakan kehadiran kita saat meringankan beban mereka. Ini bukan persoalan mengungkit apa yang telah kita tanam dan menjadi kebaikan, melainkan sebagai manusia biasa hal itu terlintas begitu saja. Bukankah sikap peduli itu harus saling berbagi ?
Harus aku akui, sewaktu-waktu dalam keadaan tertentu, aku selalu diingatkan pada beberapa teman yang mungkir dan masih memiliki kewajiban menyelesaikan janjinya kepadaku. Beberapa di antara mereka, bahkan saat ini telah menjadi tokoh. Secara tidak sengaja, berkali-kali kita pernah dipertemukan dalam suatu momen. Hebatnya seperti tidak pernah terjadi apa pun. Entahlah, sementara aku merasa selalu tidak tenang dan merasa dikejar-kejar, jika berada dalam situasi belum menyelesaikan janji-janjiku.
Sepanjang perjalanan menuju lokasi, bang Nazry bercerita banyak hal. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik dan sekali-sekali menanggapinya dengan ringan. Aku kehilangan kata untuk bercanda, tepatnya aku begitu hati-hati agar tak menyinggung perasaan bang Nazry atau merperparah masalah yang ada. Aku sadar, pilihan membanting murah sepetak tanah itu tidak sebanding dengan total asset dalam dokumen yang sekilas tadi diperlihatkan kepadaku. Itulah situasinya bila seseorang “mendesak”, butuh uang cast.
” Lagee hana yum mandum sertifikat nyoe” (Seperti tidak berharga semua sertifikat ini)
Aku menghitung sebanyak 3 kali kalimat itu terlontar dari mulut bang Nasry dengan tarikan nafas yang berbeda.
Ya bang Nazry begitu “terhempas”, dan hempasan itu bernama harga diri.
Kurang lebih 10 menit berselang akhirnya kami tiba di lokasi. Bang Nazry dengan begitu ramahnya menjelaskan peta lokasi tanah. Sekali-kali ia tampak mengajak Lena dan kedua orang tuanya berpindah dan mendekati kampling tanah yang dimaksud. Aku tak banyak berbicara, tidak seperti biasanya saat aku ikut bersama bro Irwan menawarkan property tanah atau mobil beberapa waktu yang lalu.
Aku memang sengaja memposisikan diri bukan sebagai penghubung atau makelar tanah. Namun, pengalamanku sebagai trainer eksekutif marketing di Semarang dulu, pada akhirnya menyimpulkan posisi bang Nazry sebagai penjual sangatlah lemah. Bang Nazry tidak mampu menyembunyikan situasinya yang begitu berharap agar transaksi terjadi. Andai teori “fair of lose” dimainkan oleh Lena, sepertinya harga 80 juta bisa menjadi 70 juta dengan skema 30 – 40, atau 40 juta dapat dilunasi beberapa bulan kemudian. Mungkin saja jika Lena lebih luwes dalam menawar, tidak menutup kemungkinan ia dapat harga special 60 juta, cash di depan.
Namun bang Nazry adalah bang Nazry, seorang lelaki yang matang diterpa oleh berbagai pengalaman hidup. Aku merasa sikap ramah tamahnya itu bukan sekedar begitulah dia apa adanya bang Nasry. Namun semua itu tidak lain adalah bentuk penghargaannya kepada ku saja. Sedari awal dia telah menyadari kalau Lena tidak berminat dengan property yang ditawarkannya, hatta ia akhirnya mendengar jawaban langsung. Bang Nasry begitu hebat menyembunyikan kekecewaannya. Sementara aku gagal total berharap dapat membantu Lena melihat prospek lahan tersebut beberapa bulan ke depan, dia bisa memilih melepas tanah tersebut dengan keuntungan 100 prosen.
“Bagaimana terus ni bang Nazry?”
“Ya sudah gak apa-apa, mudah-mudahan nanti ada jalan keluar lain”
Diam-diam aku membatin dalam hati. “Mudah-mudahan masalah bang Nasry menemukan pemecahan dengan cara yang tak terpikirkan oleh ku”
Aku pun bergumam dalam hati “tak selamanya bantuan itu dapat dipahami sebagai bantuan bagi seseorang, bisa jadi bantuan itu datang saat yang tidak tepat”.
“Apa yang kita pikirkan tidak selalu terhubung dengan baik dengan apa yang sedang berproses dalam keinginan dan pikiran orang lain – lain”.
Ya sudahlah perasaan terhempas itu begitu kuat menusuk otak ku hingga tulang tubuh ku merasa begitu letih.
“Bang Nazry, saya diantar ke masjid Baitus Shalihin saja, saya perlu istirahat sebentar, nanti saya hubungi bang Nazry”
“Baik, Nyak”
Beberapa menit kemudian aku telah berada di rumah Lamreung, berusaha tidur dan berbaring di sisi Umi. Umi tersenyum penuh kasih, membelai kepalaku sambil bercerita tentang kebiasaan almarhum Abah bila Ramadhan tiba, ya Umi sedang merindukan Abah. Perasaan itu pun selalu aku rasakan saat Ramadhan tiba. Samar-samar aku masih mendengar cerita Umi, cerita itu kini berubah menjadi lantunan tadarrus merdu ayat-ayat al-Quran.
Perlahan-lahan alam pikiranku disiangi kulit dan durinya oleh surat at-Thalaq ayat 2-3 yang dibaca Umi:
…
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا
Artinya:
…. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka- sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.
Sembari tetap memeluk lengan kiri umi yang sedang membaca al-Quran, pikiranku mulai mencerna-cerna makna ayat tersebut.
Ayat ini memberikan titik temu fundamental aqidah dan ketaatan. Allah akan memberikan rezeki dari arah yang tidak terbentik dalam hati mereka yang menjaga ketaqwaan, bahkan tidak ada dalam perhitungannya.
Kata kuncinya adalah komitmen bersandar kepada Allah dalam segala urusan, maka Allah akan mencukupi segala kebutuhan hambanya. Allah melaksanakan urusan-Nya. Dia kuasa untuk berbuat sesuatu dan tidak ada sesuatu yang luput dari-Nya. Allah sudah membuat batasan untuk segala sesuatu yang akan selesai pada batasnya. Kesusahan ada batasnya, kesenangan juga ada batasnya, tidak ada yang kekal menimpa manusia.
Mengingat itu semua, aku membuka mata dan memandang mata umi dalam-dalam. Sepertinya Umi pura-pura tidak mengetahuinya dan terus saja membaca al-Quran. Saat Umi mengakhiri bacaannya, aku bertanya:
“Gimana keadaan mata Umi ?”
“Besok Umi operasi mata nak”. Aku tak mendengar sedikit pun gelisah dalam jawabannya.
“Namanya juga mata sudah dipakai lebih dari 70 tahun”. Umi tersenyum tipis menanggapi pandanganku yang mengkhawatirkan dirinya. Lalu berbaris-baris nasehat meluncur dari bibir kering itu.
“Pikiran itu harus selalu selaras dan dipandu oleh iman kita”. “Bila kita sedang punya masalah, seberat apa pun masalah itu, jika kita hidupkan selalu cahaya iman dalam diri kita. InshaaAllah semua masalah akan terurai dan mudah, karena kita melibatkan Allah dalam urusan kita.
Yakinkan bila urusan kita diselesaikan Allah, maka apa yang tidak mungkin terjadi dalam hukum, kehendak, dan takdir Allah atas hambaNya”
“Siap Umi, 86”
“Apa itu 86 “
“Mengerti untuk dilaksanakan”
“Oo, Kok 86 ?“
“Itu istilah pasukan untuk komandannya, Umi kan komandan kami”
Umi hanya tersenyum menanggapi ucapanku.
Selepas tarawih sekitar pukul 21.30 Wib, aku menghubungi bang Nazry.
“Gimana keadaan abang sekarang?, saya jadi tidak tenang, terpikir terus” Apa saya merapat bang ?
“Alhamdulillah, semua sudah teratasi, sudah kita selesaikan semua”
“Terimakasih Nyak, saya dalam perjalanan pulang”
Kini aku benar-benar lega, sepertinya ombak itu pecah membentur tanggul pantai. Aku melihat ujung airnya sepanjang bibir pantai surut mengering. Yakinlah siapapun yang berjalan menyusuri bibir pantai yang basah itu, akan meninggalkan jejak tapak kakinya sesaat, lalu ombak akan menghapus jejak kaki kita. So, jangan pernah berpikir dan mengingat apa yang terbaik pernah kau lakukan. Ingatlah selalu kebaikan yang pernah engkau terima, bersyukur dan balaslah kebaikan itu sebelum kau berpikir perlu melakukannya. Kebaikan yang utama itu adalah ketaqwaan. Taqwa adalah teologi pembebasan muslim dari masalah,-masalahnya. To be Continued