Oleh Mahmudi Hanafiah
Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga
Guru Dayah Jamiah Al-Aziziyah Batee Iliek
Hidup di era kemerdekaan berpikir ini dipenuhi dengan ideologi-ideologi yang beragam. Ideologi-ideologi tersebut muncul sebagai buah dari kreatifitas manusia dalam memanfaatkan nikmat akal dengan sepenuhnya. Selama akal masih dioperasikan dengan benar, maka di sana akan terdapat nilai positif. Karena penggunaan segala fasilitas yang diberikan oleh Allah SWT pada tempatnya merupakan salah satu bentuk rasa syukur seorang hamba terhadap nikmat yang dianugerahi oleh sang Pencipta.
Kebenaran yang absolut memang tidak ada. Maksudnya, bagi mereka yang menganggap bahwa itu tidak ada. Namun, di saat perbedaan-perbedaan itu muncul dengan begitu banyaknya, pastinya belum tentu semua itu benar. Orang yang mempunyai bekal yang cukup, akan melahirkan sebuah ide yang cemerlang dan tepat sasaran. Seandainya pun salah, maka dia tetap akan mendapatkan pahala atas jerih payah yang dia lalui. Sebaliknya, bila sebuah ide dimunculkan oleh yang bukan ahlinya, maka potensi untuk salahnya pun lebih besar.
Nah, untuk mengetahui benar atau tidaknya sebuah ideologi kita perlu menyesuaikannya dengan neraca ilmu (mi’yar al-‘ulum). Dalam menyesuaikannya kita dituntut untuk sangat teliti dan berhati-hati. Kita tidak boleh sembarangan dalam memvonis bahwa sesuatu itu benar atau salah sebelum kita mengenali dan menelusurinya lebih dalam. Oleh karena itu, untuk menilai benar atau salahnya sebuah pemikiran pun tidak boleh dilakukan oleh semua orang. Hanya orang yang mempunyai neraca ilmu yang cukup yang bisa melakukannya karena hanya merekalah yang mempunyai ketelitian dalam mengkaji sebuah gagasan dari berbagai sudut pandang. Ketelitian dan tidak sembarangan dalam menilai sesuatu itulah yang dikatakan waspada.
Bagi segelintir masyarakat yang terlalu sensitif dalam menanggapi pembicaraan orang lain waspada itu seringkali dipahami sebagai buruk sangka (su’uzhzhan/negative thinking). Karena dalam bertindak waspada kita harus menampakkan sisi beda pemahaman orang yang kita waspadai dengan pemahaman yang kita anut. Saat itulah lawan bicara kita akan menganggap kita sebagai orang yang berburuk sangka (su’uzhzhan/negative thinking). Padahal di antara waspada dan su’uzhzhan terdapat benang pemisah yang membedakan satu sama lain. Buruk sangka identik dengan menganggap seseorang salah tanpa mengklarifikasikan terlebih dahulu (salah terima). Sedangkan waspada lebih cenderung kepada sikap hati-hati (berjaga-jaga) dalam menanggapi perbedaan dan sangat teliti dalam mencari titik temu atau menentukan mana yang benar dan mana yang salah di antara hal yang berbeda tersebut bila titik temunya tidak ada.
Buruk sangka merupakan salah satu sifat tercela. Allah SWT melarang hamba Nya mempunyai prasangka buruk terhadap orang lain. Sebagaimana Allah SWT menegaskan dalam surat Al-Hujurat ayat 12 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa…”. Tidak hanya itu, Rasulullah SAW juga dengan tegas melarang umatnya mempunyai prasangka buruk terhadap orang lain. Dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Nabi menegaskan “ Jauhilah prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu adalah berita yang paling dusta”. Rasulullah juga tidak pernah mempunyai prasangka terhadap orang lain, bahkan terhadap orang munafik sekalipun.
Buruk sangka adalah penyakit batin bagaikan parasit yang selalu menggerogoti inangnya dari dalam. Orang yang menderita penyakit ini tidak akan pernah mendapatkan ketentraman jiwa, kapan pun dan di mana pun ia berada. Baik dalam keramaian maupun dalam kesendirian, pikirannya akan terus melayang orang-orang yang dicurigainya. Tidak mesti berada di depan mata, orang yang dicurigai akan selalu hadir dalam pikiran sehingga hari-harinya terusik dengan kehadiran tersebut.
Adapun orang yang bersikap waspada, tidak akan peduli dengan keberadaan orang lain, sehingga hari-harinya tidak akan terusik dengan hal-hal yang tidak perlu ia pikirkan. Orang yang bersikap waspada hanya akan berjaga-jaga bila ada gerak-gerik di sekitar yang mengindikasikan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Sikap waspada sama sekali tidak menjadi beban pikiran seseorang, karena sikap tersebut hanya berperan dalam kondisi tertentu.
Namun demikian, sikap waspada juga perlu dikondisikan agar tidak berlebihan, karena sikap waspada yang berlebihan kadang-kadang juga bisa berujung kepada buruk sangka. Terkadang suatu pertikaian terjadi akibat seseorang menampakkan sikap waspada yang berlebihan, sehingga membuat orang yang diwaspadai merasa kurang nyaman. Menimbulkan ketidaknyamanan orang lain dengan kehadiran kita tentu saja bukan merupakan hal yang positif. Membuat orang lain merasa tidak nyaman kerap kali menimbulkan kesalahpahaman sehingga berakibat terjadinya kesenjangan dalam kehidupan sosial.
Oleh karena itu, untuk menghindari kesenjangan dalam kehidupan sosial marilah kita lebih bijak dalam menanggapi perbedaan. Usahakanlah agar bisa memadukan perbedaan menjadi sebuah keindahan, selama perbedaan tersebut masih berada dalam ruang lingkup kebenaran. Berwaspadalah seperlunya asal jangan berburuk sangka. Pahamilah kewaspadaan orang lain agar tidak serta-merta memvonis mereka berburuk sangka. Karena sesungguhnya menganggap seseorang berburuk sangka itu adalah buruk sangka. Wallahu a’lam.