Mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh
Berbicara tentang keindahan alam, jangan lagi ragu dengan pesona wisata Indonesia yang beberapa daerahnya sering juga disebut sebagai surganya dunia. Diawali dari ujung barat Indonesia, Kota Sabang, Bali, Bangka Belitung, Lombok, hingga Raja Ampat di Ujung Timur Indonesia membentang luas karya Tuhan tanpa cacat. Nikmat yang harusnya disyukuri tanpa henti manusia.
Karenanya tak heran Indonesia menjadi salah satu daerah favorit yang dikunjungi wisatawan mancanegara dari sekian banyak negara lainnya di Asia. Hal itu dibuktikan baru-baru ini dengan dinobatkannya negara berjuluk jamrud katulistiwa ini dalam World Halal Tourism Award, dengan memborong 12 Kategori dari 16 kategori yang ada. Di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab 2016 lalu. Berkaca dari hal yang cukup membanggakan tersebut, tidak sulit tampaknya Indonesia berdiri menjadi pusat pariwisata dunia.
Menelisik penghargaan tentang wisata halal, maka perlahan kita pasti akan digiring pada daerah yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekah, kedekatannya dengan sejarah dan hubungannya dengan Islam di masa lalulah yang membumbungkan namanya dari sekian banyak provinsi lainnya di Indonesia.
Belum lagi secara geografis Provinsi Aceh, yang sempat dikenal sebagai Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dan titik permulaan Indonesia ini di posisi yang strategis. Dalam promosi besar-besaran pariwisata Aceh, “The Light of Aceh” Hadir sebagai semboyan yang turut mengantarkan daerah berotonomi khusus ini memperoleh dua kategori wisata halal sekaligus, yaitu World’s Best Airport for Halal Travellers: Sultan Iskandar Muda International Airport, dan World’s Best Halal Curtural Destination: Aceh. Hal ini dinilai sesuai mengingat Aceh merupakan daerah dengan penduduk muslim terbesar di Indonesia.
Pulau Weh, Kota Sabang, kepulauan Banyak, Aceh singkil dan potensi besar negeri diatas awan belum lagi negeri seribu bukit. Deretan nama tersebut hanyalah sebagiah kecil dari pesona alam Aceh, belum lagi budaya yang akan mengantarkan kita pada pesona tak benda daerah Aceh. Seperti didong gayo bahkan Tari Saman yang telah mendunia, dan dicatat dalam daftar representatif budaya takbenda warisan manusia di Bali pada 24 November 2011 lalu oleh UNESCO.
Tari yang sering disebut sebagai the dance of thousand hands ini dalam beberapa literatur disebut merupakan permainan rakyat yang oleh Syekh Saman dari Gayo dikembangkan menjadi media dakwah, dan terus berkembang menjadi kesenian seperti sekarang. Belum puas dinobatkan sebagai warisan tak benda, baru-baru ini Museum Rekor Indonesia (MURI) mencatat pemecahan rekor Tari Saman masal di Lapangan Seribu Bukit, Blangkejeren, Gayo Lues dengan total 12.262 penari pada Agustus 2017 lalu. Sedang sebelumnya di tahun 2014 Tari saman masal memecahkan rekor MURI dengan 5.054 lebih dulu.
Tanah Gayo termasuklah tiga kabupaten di dalamnya (Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues) hadir sebagai salah satu pemasok kopi terbaik Indonesia yang namanya mulai harum di belahan bumi lainnya. Hasil komoditi dengan total 38 varietas tanaman kopi yang tumbuh di tanahnya. Bukan hanya sebagai pendukung utama perekonomian masyarakat, di sisi lain hal ini juga dapat menjadi potensi agrowisata.
“Heavy body and light acidity” istilah keunikan kopi gayo yakni sensasi rasa keras saat kopi diteguk, dan aromanya yang menggugah semangat. Christopher Davidson salah seorang cupper internasional (ahli penilaian rasa dan aroma kopi) yang mengatakan bahwa kopi gayo memiliki keunikan tersendiri yang tidak tergantikan oleh jenis-jenis kopi lainnya.
Tidak berhenti sampai di situ. Sebenarnya Aceh dan tiap-tiap kabupatennya memiliki pesona wisata masing-masing. Dari yang belum terjamah seperti Pulau Banyak Aceh Singkil, yang sudah terkenal seperti Sabang, maupun yang dalam pembenahan dan promosi oleh pemerintah, Tanah Gayo contohnya.
Dari sudut pandang ini, pemerintah terlihat seolah berusaha keras membangun potensi tersembunyi daerah Aceh. Namun yang sedikit mengganjal dari sekenario ini ialah lalainya pemerintah terhadap hal-hal sederhana yang jauh lebih penting dari sekedar promosi ke tingkat dunia, dari sekedar menghabiskan begitu banyak dana pada promosi berbasis media semata. Di satu sisi pemerintah lupa bahwa kekayaan itu bukan hanya pada alam dan budaya, namun juga pada manusianya. Tanpa mereka tidak aka nada yang melestarikan budaya tanpa mereka tidak aka nada yang memperkenalkan kita pada pesonal alam tersebut.
Oleh karena itu berdasarkan sedikit pengalaman saya selama menetap dalam pengabdian sebulan lamanya, di salah satu kabupaten di Tanah Gayo. Kita akan sedikit miris melihat bahwa mereka, penduduk asli masih begitu minim pengetahuannya tentang potensi wisata daerah mereka sendiri. Meski sebenarnya yang harusnya lebih mengenal potensi daerah mereka adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat lokal harus berusaha menjadi pelopor dengan mempromosikan daerah wisatanya, sejarah, komoditi kopi, hingga budaya seperti saman dan didong.
Semua fakta di atas, khususnya pemaparan tentang potensi Aceh sebagai daerah wisata bisa jadi membawa kita pada euphoria yang tinggi. Meninabobokkan kita realitas yang ada, bahwa promosi pariwisata di seluruh daerah berpotensi di Indonesia baru saja memasuki babak awal, yaitu dengan lebih dulu menanamkan kecintaan dan pengetahuan lokal untuk mencintai alam dan budaya mereka. bersama menjaganya untuk Indonesia yang lebih baik. Dan kemudian barulah Indonesia bioleh sombong, menegadahkan kepala dan mengangkat dagu. Bahwa inilah “Wonderful Indonesia” dengan segala pesonanya yang luar biasa.
Sudah saatnya kita berhenti mengurusi hal-hal yang tidak penting. Kita memahami bahwa bukan bumi tandus persoalan nya, atau miskin karya yang menjadi masalah, Indonesia yang dianugerahi air yang melimpah, tanah yang subur, sinaar matahari disetiap tahunnya, bahasa yang dan suku serta etnis yang beragam, dan karya luar bisa yang menjadikan kita tak ternilai harganya.