Dengarkan Artikel
Oleh Juni Ahyar
Dua puluh satu tahun telah berlalu,
namun laut masih menyimpan suara jeritannya.
Di antara pasir dan nisan tanpa nama,
waktu belajar berjalan dengan kepala tertunduk.
Air datang tanpa salam,
membawa rumah, doa, dan masa depan,
meninggalkan sunyi yang tak sempat dijelaskan
oleh kata apa pun.
Anak-anak kehilangan pangkuan,
ibu-ibu kehilangan arah pulang,
dan tanah ini
pernah menangis tanpa air mata.
Namun dari puing yang retak,
Aceh menanam sabar.
Dari tubuh yang lelah mengubur duka,
iman ditegakkan lebih kokoh dari tembok mana pun.
Kami belajar mencintai hidup
tanpa melupakan kematian.
Kami belajar berdoa
dengan luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Dunia datang dengan tangan terbuka,
namun Aceh bertahan dengan dada lapang.
Persaudaraan lahir
bukan dari kesamaan bahasa,
melainkan dari air mata yang sama asin.
Wahai mereka yang pergi bersama ombak,
kami tidak menutup kisah kalian.
Nama-nama kalian
tetap hidup dalam doa yang tak pernah libur.
Ya Allah,
tempatkan mereka di sisi terbaik-Mu.
Jadikan ingatan ini
bukan sekadar sejarah,
melainkan pelajaran tentang syukur,
tentang kepedulian,
tentang kesiapsiagaan yang lahir dari cinta pada sesama.
Aceh pernah terluka,
namun tidak runtuh.
Kami ingat.
Kami berdoa.
Dan kami
terus belajar menjadi manusia.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini








