Dengarkan Artikel
Oleh: Prof. Dr. Azharsyah Ibrahim, S.E.Ak., M.S.O.M.*
Banjir bandang yang menghantam Pulau Sumatra pada penghujung November 2025 lalu bukan sekadar peristiwa alam biasa. Ia adalah cermin yang memantulkan wajah asli sistem kebencanaan kita yang rapuh, lamban, dan penuh dengan ego sektoral yang mematikan.
Data dari Dashboard Penanganan Darurat Banjir dan Longsor yang dikelola BNPB per Kamis, 11 Desember 2025, pukul 16.40 WIB, mencatat angka-angka yang menyayat hati: 986 jiwa meninggal dunia, 224 orang masih dinyatakan hilang, 5.100 orang mengalami luka-luka, dan 157.900 rumah rusak. Provinsi Aceh menyumbang angka korban jiwa tertinggi dengan 403 orang meninggal.
Angka-angka tersebut bukan sekadar statistik karena di balik setiap digit tersebut terdapat kisah manusia. Ada ayah yang tidak sempat memeluk anaknya, ibu yang kehilangan seluruh keluarganya, anak-anak yang menjadi yatim piatu. Tragedi ini seharusnya menjadi alarm keras bagi kita semua bahwa mitigasi bencana harus dilakukan secara serius dan proaktif, bukan reaktif setelah korban berjatuhan.
Luka Lama yang Kembali Menganga
Bagi masyarakat Aceh, tragedi ini bukan sekadar bencana alam. Ia membuka kembali luka lama tentang hubungan Aceh dengan pemerintah pusat yang kerap diwarnai kekecewaan.
Sejarah mencatat, ketika Republik Indonesia baru lahir dan terancam kolaps akibat Agresi Militer Belanda, rakyat Acehlah yang tampil di garis depan. Pada 1948, masyarakat Aceh mengumpulkan dana dan emas untuk membeli dua pesawat pertama Republik Indonesia—yang kemudian diberi nama “Seulawah” RI-001 dan RI-002. Sumbangan itu menjadi simbol kesetiaan Aceh kepada Indonesia yang masih bayi. Aceh juga menjadi satu-satunya wilayah di Sumatra yang tidak pernah jatuh ke tangan Belanda selama perang kemerdekaan.
Namun, apa yang diterima Aceh sebagai balasan? Konflik berkepanjangan selama puluhan tahun, dan kini ketika bencana melanda, respons pemerintah pusat terasa lamban dan setengah hati. Masyarakat Aceh merasa ditinggalkan, dibiarkan berjuang sendiri menghadapi keganasan alam. Rasa kecewa itu kian mengkristal ketika pemerintah dilaporkan menolak tawaran bantuan dari komunitas internasional, sebagaimana pernah terjadi pada bencana-bencana sebelumnya dengan dalih “mampu menangani sendiri.”
📚 Artikel Terkait
Pertanyaan yang beredar di kalangan masyarakat: mengapa pemerintah begitu enggan membuka pintu bagi bantuan internasional? Apakah ada yang hendak disembunyikan? Dugaan yang menguat adalah kekhawatiran akan terungkapnya fakta bahwa deforestasi masif di hulu sungai-sungai Aceh dalam beberapa tahun terakhir menjadi penyebab utama bencana ini. Data Global Forest Watch menunjukkan Aceh kehilangan lebih dari 700.000 hektare tutupan hutan primer sejak 1990, dengan laju deforestasi yang justru meningkat dalam dekade terakhir. Kawasan Ekosistem Leuser yang seharusnya dilindungi terus digerogoti oleh alih fungsi lahan dan aktivitas ilegal.
Mencari Penyebab Sebenarnya
Benar bahwa bencana hidrometeorologi ini dipicu oleh curah hujan ekstrem dan Siklon Tropis. Namun, dampak yang sedemikian masif justru menjadi bukti nyata bahwa sistem pertahanan kita terhadap bencana sangat rapuh. Birokrasi kita lamban bergerak, dan koordinasi antar-lini pemerintahan masih terjebak dalam ego sektoral. Kerusakan ekologis di hulu—akibat alih fungsi lahan, pertambangan ilegal, dan perambahan hutan—adalah bom waktu yang akhirnya meledak. Sayangnya, penegakan hukum tata ruang masih lemah dan tebang pilih. Muncul dugaan di masyarakat bahwa sejumlah perusahaan yang bertanggung jawab atas kerusakan hutan ini memiliki afiliasi dengan pejabat-pejabat penting di pemerintahan. Jika dugaan ini benar, maka penolakan bantuan internasional bisa jadi adalah upaya menutupi fakta memalukan tersebut.
Kelemahan paling fundamental terlihat pada kapasitas aparatur lokal. Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) 2024 menempatkan Aceh dalam kategori “Risiko Tinggi” dengan skor 144,29. Namun, ketika bencana datang, sejumlah kabupaten dan kota justru “lumpuh” dalam 24 jam pertama. Data menunjukkan ketimpangan fiskal yang menggelikan. Di banyak daerah, alokasi anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT) dan anggaran rutin BPBD sangat minim; beberapa bahkan mencatat angka di bawah Rp100 juta per tahun untuk logistik kebencanaan. Akibatnya, ketika bencana datang, gudang logistik daerah kosong. Sebagai contoh, warga terdampak di Aceh Tamiang dan Aceh Utara kesulitan mengakses air bersih dan pangan selama berhari-hari. Infrastruktur pengendali banjir pun gagal fungsi. Jebolnya tanggul sungai dan tidak efektifnya kolam retensi mengindikasikan bahwa pembangunan fisik selama ini tidak dibarengi audit kelayakan dan pemeliharaan yang ketat. Kerusakan 299 jembatan dan 323 fasilitas pendidikan adalah indikasi kualitas infrastruktur yang tidak resilient.
Koordinasi penanganan bencana masih carut-marut. Distribusi bantuan logistik kerap menumpuk di posko induk kabupaten, namun gagal menembus kecamatan terisolasi akibat ketiadaan alat berat atau bahan bakar. Masalah penetapan “Status Bencana Nasional” juga kembali mencuat. Di tengah kehancuran yang melintasi tiga provinsi, pemerintah pusat terkesan ragu menetapkannya. Perdebatan administratif memakan waktu berharga, sementara kapasitas fiskal dan manajerial daerah sudah kolaps. Membiarkan daerah berjuang sendirian dengan dalih “prosedur” adalah bentuk pengabaian negara.
Bagaimana Solusinya?
Sudah saatnya kita menagih tanggung jawab negara dengan perubahan paradigma fundamental. Pertama, reformasi anggaran kebencanaan daerah harus dipaksakan. Pemerintah pusat perlu mewajibkan persentase minimal APBD untuk mitigasi dan kesiapsiagaan. Kedua, pangkas birokrasi penetapan status darurat. Berikan diskresi penuh dan perlindungan hukum bagi pejabat daerah untuk mengambil keputusan taktis saat krisis. Ketiga, integrasikan data risiko bencana ke dalam tata ruang secara mengikat. Izin pemanfaatan lahan yang melanggar peta risiko bencana harus dipidana tegas. Keempat, usut tuntas keterlibatan korporasi dan pejabat dalam deforestasi yang menjadi akar penyebab bencana ini. Jangan biarkan mereka lolos dari pertanggungjawaban hukum.
Bagi Aceh, bencana ini bukan hanya soal alam yang murka. Ini adalah ujian kesetiaan Indonesia kepada daerah yang pernah menyelamatkannya di masa-masa paling sulit. Jika negara terus abai, jangan salahkan jika kekecewaan masyarakat Aceh semakin dalam. Kita tidak butuh lebih banyak rapat koordinasi atau kunjungan seremonial. Kita butuh negara yang hadir dengan sistem yang bekerja cepat, transparan, dan berperikemanusiaan. Jangan biarkan rakyat terus menjadi korban karena kelalaian birokrasi dan keserakahan segelintir elite. Cukup sudah.
*Penulis adalah Guru Besar Manajemen Syariah UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini










