Dengarkan Artikel
Oleh Nurkamari
Guru MTs Tastafi, Pidie Jaya, Alumnus Jabal Ghafur, Pidie
Aku tumbuh bukan dari cinta yang utuh, tapi dari luka yang dibiarkan terbuka.
Dan luka pertamaku… adalah kamu, Ayah.
Kau adalah alasan kenapa aku selalu merasa ada yang hilang, bahkan ketika semua orang bilang aku punya segalanya.
Kau adalah sosok yang seharusnya pertama kali mengajariku arti cinta dan perlindungan,
tapi kau justru menjadi orang pertama yang membuatku merasa ditinggalkan.
Ayah,
kau tahu betapa menyakitkannya menjadi anak perempuan yang tidak pernah tahu rasanya duduk di pangkuan ayahnya sendiri?
Yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya dicium keningnya dan dipanggil “sayang” oleh lelaki pertama yang seharusnya mencintainya tanpa syarat?
Kau tidak pernah tahu,
karena sejak awal…
kau memilih tidak hadir.
Bukan karena mati.
Bukan karena takdir.
Tapi karena kepergian yang kau pilih sendiri.
Dan aku, anak kecil yang bahkan belum tahu cara membenci, dipaksa menerima kenyataan bahwa sosok bernama ayah hanyalah bayangan dalam pikiranku.
Bayangan yang tidak pernah benar-benar ada.
📚 Artikel Terkait
Aku menunggu…
Dulu aku sering berdiri di depan jendela, menatap jalanan yang kosong.
Berharap kau muncul.
Berharap kau datang meski hanya untuk sekadar melihatku dari jauh.
Tapi yang datang hanya senyap.
Dan aku mulai menyadari…
kau tak pernah menganggapku cukup berharga untuk diperjuangkan.
Ayah,
kau tahu apa yang paling menyakitkan?
Bukan karena kau pergi.
Tapi karena kau pergi tanpa pernah menoleh.
Tanpa pernah menanyakan apakah aku baik-baik saja.
Tanpa pernah memastikan bahwa aku tumbuh dengan hati yang utuh.
Padahal aku tidak baik.
Aku patah sejak kecil.
Dan retaknya tidak pernah sembuh.
Setiap kali melihat teman sebayaku bermain dengan ayah mereka,
hatiku seperti disayat.
Aku ingin tertawa, tapi selalu ada air mata yang siap jatuh kapan saja.
Aku ingin kuat, tapi aku terlalu rapuh untuk terus berpura-pura.
Aku tidak tahu seperti apa pelukan seorang ayah.
Tapi aku tahu bagaimana rasanya iri.
Bagaimana rasanya menahan tangis sendirian.
Bagaimana rasanya mencoba tidur di malam hari dengan dada penuh pertanyaan:
“Kenapa bukan aku yang kau peluk? Kenapa bukan aku yang kau jaga?”
Kau adalah luka pertamaku, Ayah.
Luka yang tak bisa ditambal siapa pun.
Luka yang terus kubawa ke mana pun aku pergi.
Luka yang diam-diam membentuk siapa aku hari ini
seorang perempuan yang takut mencintai terlalu dalam,
karena takut ditinggalkan… seperti kau meninggalkanku.
Aku tidak membencimu.
Aku hanya kecewa.
Kecewa karena kau bahkan tidak memberi kesempatan untukku mengenalmu.
Kecewa karena aku tumbuh tanpa pernah punya kenangan tentangmu hanya rasa sakit yang tidak pernah selesai.
Ayah…
jika kau membaca ini suatu hari nanti,
ketahuilah bahwa anak perempuanmu pernah sangat merindukanmu.
Merindukan sesuatu yang bahkan tidak pernah ia miliki.
Dan sampai hari ini,
meski harapanku telah berkali-kali mati,
di dalam dada ini…
masih ada satu ruang kecil yang belum tertutup tempat luka itu tinggal dengan tenang.
Karena bagaimana pun aku mencoba melupakan,
kau tetap akan jadi nama pertama yang mengajarkanku,
bahwa cinta pertama tidak selalu indah.
Karena kadang…
cinta pertama bisa jadi luka terdalam.
Dan itu adalah kamu, Ayah.
Luka pertamaku.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini















