Dengarkan Artikel
Oleh ReO Fiksiwan
“Kita harus mengatasi, secara individu dan kolektif, masalah moral dan etika yang ditimbulkan oleh penelitian mutakhir dalam kecerdasan buatan(AI) dan bioteknologi, yang akan memungkinkan perpanjangan hidup yang signifikan, bayi yang dirancang, dan ekstraksi memori.” — Klaus Schwab(86), World Economic Forum(WEF).
Isu yang masih sukar dikonfirmasi, beberapa tembakan rudal-rudal Iran ke Israel sebagian memanfaatkan AI?
Itu di bidang militer dan pertahanan. Bidang lain seperti seni, kedokteran dan sastra, pemanfaatan AI nyaris tak terbendung.
Sebagai kemajuan sains dan teknologi, AI telah membawa kita ke ambang revolusi digital — vital sekaligus fatal dan tentu manfaat mudaratnya — untuk mengubah dengan drastis cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi.
Di balik janji kemajuan dan efisiensi pengguna high-tech-high-touch, AI mengincar bahaya laten di dalamnya: ilusi.
Sebuah ilusi nyaman dan buat nyenyak yang mengaburkan batas antara kemampuan digdayanya serta harapan atasnya yang tidak realistis.
Sebagai kemutakhiran sains dan teknologi, periksa lah AI dari pendekatan sains yang, salah satunya, dikemukakan oleh Richard Dawkins(84), biolog evolusi molekuler, dengan tiga bukunya:
/1/ The Selfish Gene(1976), mengulas pemahaman tentang kompleksitas sistem biologis yang dapat memberikan wawasan ihwal keterbatasan dan potensi sistem buatan.
Meskipun canggih, AI tetaplah hasil dari pemrograman dan data yang diasupkan kepadanya.
Ia pun tak dibekali kesadaran atau pemahaman mendalam seperti bagaimana manusia mengalaminya.
Meski sangat efisien dalam tugas dan kerja tertentu, AI beroperasi berdasarkan algoritma dan pengenalan pola.
Selain itu, perangkat tak bernyawa ini tak punya pemahaman intuitif dan kontekstual yang hanya dimiliki manusia.
Ungkapan Dawkins dalam gen egois terkait AI dikutip:
“Kita adalah mesin survival – robot yang diprogram secara membabi buta untuk melestarikan molekul egois yang dikenal sebagai gen.”
“Ketika kamu menanamkan meme yang subur di pikiranku, kamu secara harfiah memparasit otakku, mengubahnya menjadi kendaraan untuk penyebaran meme.”
/3/ The Magic of Reality(2011), mengungkap bagaimana sains membantu kita memahami dunia dengan cara yang lebih rasional dan berbasis bukti.
Dalam konteks Al, penting untuk membedakan
antara kemampuan nyata dari Al dan “magis” yang
sering kali dilekatkan padanya dalam fiksi ilmiah
atau pemasaran teknologi.
📚 Artikel Terkait
Al dapat melakukan banyak hal luar biasa, tetapi
masih jauh dari memiliki daya “magis” atau kemampuan supernatural yang sering ditebar dalam berbagai platform media.
Terkait AI dikutip lagi:
“Realitas adalah lebih ajaib daripada dongeng, lebih memuaskan daripada fantasi, lebih indah daripada imajinasi.”
“Sihir realitas adalah bahwa ada penjelasan yang indah dan mendalam untuk segala sesuatu yang kita lihat di sekitar kita.”
“Sains adalah cara untuk memahami dunia
nyata, bukan hanya menerima apa yang dikatakan orang lain.”
“Realitas memiliki cara untuk membuat hal-
hal yang tampaknya ajaib menjadi masuk akal.”
“Kita hidup di dunia yang penuh dengan misteri, tapi itu tidak berarti bahwa kita tidak dapat memahami apa pun.”
/3/ The God Delusion(2006), Dawkins mengkritik kepercayaan buta terhadap entitas supernatural yang dianggap sempurna dan serba tahu.
Demikian pula, kita sering kali memiliki harapan yang terlalu tinggi terhadap AI, menganggapnya sebagai solusi ajaib untuk semua masalah kompleks. Namun, AI bukanlah entitas yang sempurna atau serba tahu.
Ia memiliki keterbatasan yang ditentukan oleh data dan algoritma yang digunakan untuk melatihnya.
Berharap AI bisa mengatasi semua tantangan dengan cara yang “sempurna”, waspada, sebuah ilusi berbahaya dan tidak realistis.
The AI Delusion, membutuhkan kesadaran yang lebih baik tentang apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh AI.
Karena itu, melibatkan pendidikan yang lebih baik tentang teknologi, serta diskusi terbuka, AI dapat dikontrol etika dan batas-batas penggunaannya.
Seperti halnya sains, membantu dan memahami realitas tanpa ilusi supernatural agar pemahaman yang lebih baik tentang AI akan berlaku lebih efektif dan etis.
The AI Delusion, mengingatkan bahaya dari harapan yang tidak realistis dan kurangnya pemahaman dan penguasaan terhadap keterbatasan teknologi.
Dengan memahami AI dalam konteks yang lebih rasional dan berbasis bukti, kecanggihan teknologinya dimanfaatkan sembari menjauh dari jebakan ilusinya yang merugikan, baik individual maupun kolektif.
Jalan masa depan, sukarela atau terpaksa, bagi peran dan pengaruh AI, adanya kesadaran bahwa semua teknologi itu buatan manusia.
Bijak, etis dan biadab, manusialah penciptanya.
Dan AI, jika itu Tuhan, kata Dawkins:
“Tuhan adalah delusi, dan delusi adalah
sesuatu yang kita yakini tanpa bukti.”
“Sains telah membuktikan bahwa tidak ada
bukti untuk keberadaan Tuhan.”
Tapi, tambahnya:
“Kita harus skeptis terhadap klaim-klaim
yang tidak didukung oleh bukti.”
“Skeptisisme adalah kunci untuk memahami
dunia dengan lebih baik.”
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini














