https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1 https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1 https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
Saturday, November 8, 2025
No Result
View All Result
POTRET Online
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
POTRET Online
No Result
View All Result
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
Pariwara
Beranda Analisis

Analisis Perang Iran-Israel Melalui Lensa Teori Identitas Fukuyama

Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si Oleh Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si
5 months ago
in Analisis, Artikel, Iran, Israel
Reading Time: 3 mins read
A A
0
16
Bagikan
155
Melihat
🔊

Dengarkan Artikel

Oleh Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si


Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh

Dalam bukunya, Francis Fukuyama (2018) berargumen bahwa politik modern tidak hanya digerakkan oleh kepentingan ekonomi, tetapi oleh sesuatu yang lebih dalam dan mendasar: tuntutan akan pengakuan dan martabat (recognition and dignity). Fukuyama meminjam konsep thymos dari Plato, yaitu bagian dari jiwa yang mendambakan pengakuan atas nilai atau martabat diri.

Thymos memiliki dua manifestasi utama: (1) Isothymia: Keinginan untuk diakui setara dengan orang lain. Ini adalah dorongan di balik gerakan demokrasi dan hak asasi manusia, sebuah tuntutan, “Saya sama berharganya dengan Anda.” (2) Megalothymia: Keinginan untuk diakui lebih unggul dari orang lain. Ini adalah ambisi para tiran, imperialis, atau nasionalis yang ingin bangsanya mendominasi.


Ketika martabat sebuah kelompok terasa diinjak-injak atau tidak diakui, muncullah politik kebencian (politics of resentment), sebuah kekuatan dahsyat yang dapat memicu konflik. Perang antara Iran dan Israel dapat dianalisis sebagai benturan dua identitas nasional yang sama-sama merasa martabatnya terancam dan sama-sama didorong oleh tuntutan kuat akan pengakuan.


Identitas nasional Iran pasca-revolusi 1979 secara fundamental dibangun di atas penolakan terhadap penghinaan di masa lalu. Selama puluhan tahun di bawah Dinasti Pahlavi, Iran dipersepsikan oleh kaum revolusioner sebagai “boneka” Barat, khususnya Amerika Serikat. Martabat nasional mereka terasa direndahkan oleh intervensi asing, seperti kudeta 1953 yang didukung CIA.


Revolusi Islam adalah sebuah proklamasi thymos. Ayatollah Khomeini tidak hanya ingin mengubah pemerintahan, tetapi ingin mengembalikan martabat Iran sebagai peradaban besar yang mandiri dan tidak tunduk pada kekuatan eksternal. Fukuyama menulis: “The desire for recognition, particularly of a group’s identity, is a more powerful and politically consequential passion than the desire for wealth accumulation in a market economy.”
—Francis Fukuyama. Identity: The demand for dignity and the politics of resentment. Farrar, Straus and Giroux, 2018.

Dalam kerangka ini, sikap Iran terhadap Israel dan AS adalah manifestasi dari tuntutan akan pengakuan ini. Penolakan Iran terhadap eksistensi Israel adalah cara untuk menantang tatanan regional yang mereka anggap didominasi dan dirancang oleh Barat.
Mengakui Israel berarti menerima sebuah tatanan di mana martabat Iran sebagai pemimpin regional tidak diakui.


Bagi rezim Iran, Israel bukan hanya sebuah negara; ia adalah simbol “penghinaan” Barat yang ditanamkan di jantung Timur Tengah. Dengan menyerang Israel, Iran secara simbolis sedang memukul balik kekuatan-kekuatan yang pernah merendahkan martabatnya. Ini adalah politics of resentment yang dipentaskan dalam skala geopolitik.

📚 Artikel Terkait

Bangga Menjadi Santri Di Penjara Suci

BESOK: MAJALAH POTRET BERUSIA 22 TAHUN MENGAWAL PENCERDASAN ANAK BANGSA

Puisi-Puisi Mimpi S. Sigit Prasojo

Dampak Globalisasi Pada Kondisi Psikologis Masyarakat Aceh

Ambisi Iran untuk menjadi kekuatan nuklir dan hegemon regional dapat dilihat sebagai ekspresi megalothymia. Ini bukan hanya soal keamanan, tetapi soal keinginan untuk diakui sebagai kekuatan yang “lebih unggul” dan penentu nasib kawasan, sebuah status yang mereka yakini layak didapatkan sebagai pewaris peradaban Persia yang agung.

Serangan langsung ke Israel, sebuah tindakan yang belum pernah dilakukan negara lain dalam beberapa dekade, adalah klaim atas superioritas dan keberanian tersebut.
Identitas nasional Israel juga sangat kental dengan thymos, namun lahir dari sumber yang berbeda: trauma Holokaus dan sejarah persekusi orang Yahudi. Negara Israel didirikan sebagai jawaban atas penolakan martabat orang Yahudi selama berabad-abad, yang berpuncak pada genosida.

Zionisme, dalam pandangan ini, adalah gerakan isothymia paling fundamental: tuntutan agar orang Yahudi diakui memiliki hak yang setara untuk menentukan nasib sendiri di tanah air mereka.


Fukuyama mencatat bahwa tuntutan akan pengakuan bisa menjadi eksklusif, di mana martabat satu kelompok dibangun dengan meniadakan martabat kelompok lain. Di sinilah letak tragedi konflik ini. Bagi Israel, keamanan eksistensial tidak dapat dipisahkan dari martabat nasional. Ancaman dari Iran yang secara terbuka menyerukan penghapusan Israel adalah serangan langsung terhadap inti martabat mereka—hak untuk eksis.

Oleh karena itu, respons militer Israel bukan hanya kalkulasi strategis, tetapi juga penegasan kembali martabat dan penolakan untuk kembali menjadi korban yang tidak berdaya.


Retorika Iran yang menyangkal legitimasi Israel memicu politics of resentment yang kuat di kalangan masyarakat Israel. Setiap rudal yang diluncurkan Iran tidak hanya dilihat sebagai ancaman fisik, tetapi sebagai tindakan delegitimasi yang mengingatkan mereka pada sejarah kelam ketika eksistensi mereka sebagai manusia dinafikan.


Keunggulan militer dan teknologi Israel di kawasan dapat diinterpretasikan sebagai bentuk megalothymia. Keinginan untuk menjadi kekuatan militer yang tak tertandingi (Qualitative Military Edge) adalah cara untuk memastikan bahwa martabat mereka tidak akan pernah bisa diinjak-injak lagi. Ini adalah dorongan untuk menjadi “lebih unggul” dalam hal kekuatan sebagai jaminan utama bagi pengakuan dan kelangsungan hidup.


Perang Iran-Israel, jika dibedah dengan pisau analisis Fukuyama, bukanlah sekadar bentrokan kepentingan geopolitik atas wilayah atau sumber daya. Ini adalah benturan thymos—sebuah perjuangan sengit antara dua identitas nasional yang masing-masing merasa martabatnya berada di bawah ancaman eksistensial.


Iran didorong oleh politik kebencian terhadap penghinaan historis dan tuntutan akan pengakuan sebagai kekuatan regional yang setara (bahkan superior) dengan menantang tatanan yang didominasi Barat. Israel didorong oleh tuntutan akan pengakuan atas hak eksistensinya yang lahir dari trauma sejarah holocaust, dan memandang setiap ancaman sebagai serangan terhadap martabat dasarnya untuk hidup.


Keduanya terjebak dalam siklus di mana penegasan martabat satu pihak dirasakan sebagai ancaman langsung bagi martabat pihak lain. Dalam tragedi ini, seperti yang diisyaratkan Fukuyama, perjuangan untuk mendapatkan pengakuan justru menjadi sumber konflik yang paling sulit diselesaikan, karena menyangkut sesuatu yang jauh lebih primordial daripada sekadar materi: harga diri.[]

🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini

Ketika Kemampuan Memahami Bacaan Masih Rendah
Ketika Kemampuan Memahami Bacaan Masih Rendah
27 Feb 2025 • 118x dibaca (7 hari)
Kala Anak Negeri, Tak Mengenal Negerinya
Kala Anak Negeri, Tak Mengenal Negerinya
13 Mar 2025 • 111x dibaca (7 hari)
Mengenal Cryptocurrency: Mata Uang Digital yang Semakin Popular
Mengenal Cryptocurrency: Mata Uang Digital yang Semakin Popular
15 Mar 2025 • 97x dibaca (7 hari)
Pria Yang Merindukan Prostatnya
Pria Yang Merindukan Prostatnya
28 Feb 2025 • 86x dibaca (7 hari)
Perempuan Penggenggam Pasir
Perempuan Penggenggam Pasir
5 Mar 2025 • 66x dibaca (7 hari)
📝
Tanggung Jawab Konten
Seluruh isi dan opini dalam artikel ini merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi bertugas menyunting tulisan tanpa mengubah subtansi dan maksud yang ingin disampaikan.
Share6SendShareScanShare
Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si

Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si

Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si., adalah seorang akademisi dan peneliti yang memiliki keahlian di bidang antropologi, dengan fokus utama pada antropologi politik dan agama. Beliau saat ini aktif sebagai dosen di Universitas Malikussaleh, yang berlokasi di Lhokseumawe, Aceh. Selain mengajar, Dr. Al Chaidar juga aktif melakukan penelitian dan seringkali diundang sebagai narasumber atau pengamat untuk berbagai isu sosial, politik, dan keagamaan, terutama yang berkaitan dengan konteks Aceh dan Indonesia secara luas. Kontribusinya dalam pengembangan ilmu antropologi dan pemahaman isu-isu kontemporer di Indonesia sangat signifikan melalui karya-karya ilmiah dan keterlibatannya dalam diskusi publik.

Related Postingan

Aceh

Kebangkitan Gayo: Mungkinkah?

Oleh Redaksi
2025/09/30
0
63

Oleh Amdy Hamdani* Dalam rentang perjalanan hidupnya, Urang Gayo, demikian masyarakat Gayo menurut antropolog M. Yunus Melalatoa menyebut dirinya secara...

Baca SelengkapnyaDetails

Jangan Biarkan Luka Ini Membusuk

BERAGAMA SEPERTI UMAR

Postingan Selanjutnya
Empat Pulau yang Dikhianati

HABA Si PATok

Doa Seorang Ayah yang Tenggelam di Balik Dinding Pesantren

Doa Seorang Ayah yang Tenggelam di Balik Dinding Pesantren

Puisi Tabrani Yunis - Review Puisi

Memaknai Kekhususan Hari Jum’at

Abu Kruet Lintang; Ulama Kharismatik Aceh yang Istiqamah dan Prinsipil

What is Scholasticide?

Benarkah Teungku Muhammad Daud Beureueh yang “Menyerahkan” Aceh Kepada Republik Indonesia?

POTRET Online

Copyright@potret2025

Media Perempuan Aceh

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Program 1000 Sepeda dan Kursi roda
  • Kirim Tulisan

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini

Copyright@potret2025

-
00:00
00:00

Queue

Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00