Dengarkan Artikel
Oleh Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si
Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Dalam bukunya, Francis Fukuyama (2018) berargumen bahwa politik modern tidak hanya digerakkan oleh kepentingan ekonomi, tetapi oleh sesuatu yang lebih dalam dan mendasar: tuntutan akan pengakuan dan martabat (recognition and dignity). Fukuyama meminjam konsep thymos dari Plato, yaitu bagian dari jiwa yang mendambakan pengakuan atas nilai atau martabat diri.
Thymos memiliki dua manifestasi utama: (1) Isothymia: Keinginan untuk diakui setara dengan orang lain. Ini adalah dorongan di balik gerakan demokrasi dan hak asasi manusia, sebuah tuntutan, “Saya sama berharganya dengan Anda.” (2) Megalothymia: Keinginan untuk diakui lebih unggul dari orang lain. Ini adalah ambisi para tiran, imperialis, atau nasionalis yang ingin bangsanya mendominasi.
Ketika martabat sebuah kelompok terasa diinjak-injak atau tidak diakui, muncullah politik kebencian (politics of resentment), sebuah kekuatan dahsyat yang dapat memicu konflik. Perang antara Iran dan Israel dapat dianalisis sebagai benturan dua identitas nasional yang sama-sama merasa martabatnya terancam dan sama-sama didorong oleh tuntutan kuat akan pengakuan.
Identitas nasional Iran pasca-revolusi 1979 secara fundamental dibangun di atas penolakan terhadap penghinaan di masa lalu. Selama puluhan tahun di bawah Dinasti Pahlavi, Iran dipersepsikan oleh kaum revolusioner sebagai “boneka” Barat, khususnya Amerika Serikat. Martabat nasional mereka terasa direndahkan oleh intervensi asing, seperti kudeta 1953 yang didukung CIA.
Revolusi Islam adalah sebuah proklamasi thymos. Ayatollah Khomeini tidak hanya ingin mengubah pemerintahan, tetapi ingin mengembalikan martabat Iran sebagai peradaban besar yang mandiri dan tidak tunduk pada kekuatan eksternal. Fukuyama menulis: “The desire for recognition, particularly of a group’s identity, is a more powerful and politically consequential passion than the desire for wealth accumulation in a market economy.”
—Francis Fukuyama. Identity: The demand for dignity and the politics of resentment. Farrar, Straus and Giroux, 2018.
Dalam kerangka ini, sikap Iran terhadap Israel dan AS adalah manifestasi dari tuntutan akan pengakuan ini. Penolakan Iran terhadap eksistensi Israel adalah cara untuk menantang tatanan regional yang mereka anggap didominasi dan dirancang oleh Barat.
Mengakui Israel berarti menerima sebuah tatanan di mana martabat Iran sebagai pemimpin regional tidak diakui.
Bagi rezim Iran, Israel bukan hanya sebuah negara; ia adalah simbol “penghinaan” Barat yang ditanamkan di jantung Timur Tengah. Dengan menyerang Israel, Iran secara simbolis sedang memukul balik kekuatan-kekuatan yang pernah merendahkan martabatnya. Ini adalah politics of resentment yang dipentaskan dalam skala geopolitik.
Ambisi Iran untuk menjadi kekuatan nuklir dan hegemon regional dapat dilihat sebagai ekspresi megalothymia. Ini bukan hanya soal keamanan, tetapi soal keinginan untuk diakui sebagai kekuatan yang “lebih unggul” dan penentu nasib kawasan, sebuah status yang mereka yakini layak didapatkan sebagai pewaris peradaban Persia yang agung.
Serangan langsung ke Israel, sebuah tindakan yang belum pernah dilakukan negara lain dalam beberapa dekade, adalah klaim atas superioritas dan keberanian tersebut.
Identitas nasional Israel juga sangat kental dengan thymos, namun lahir dari sumber yang berbeda: trauma Holokaus dan sejarah persekusi orang Yahudi. Negara Israel didirikan sebagai jawaban atas penolakan martabat orang Yahudi selama berabad-abad, yang berpuncak pada genosida.
Zionisme, dalam pandangan ini, adalah gerakan isothymia paling fundamental: tuntutan agar orang Yahudi diakui memiliki hak yang setara untuk menentukan nasib sendiri di tanah air mereka.
Fukuyama mencatat bahwa tuntutan akan pengakuan bisa menjadi eksklusif, di mana martabat satu kelompok dibangun dengan meniadakan martabat kelompok lain. Di sinilah letak tragedi konflik ini. Bagi Israel, keamanan eksistensial tidak dapat dipisahkan dari martabat nasional. Ancaman dari Iran yang secara terbuka menyerukan penghapusan Israel adalah serangan langsung terhadap inti martabat mereka—hak untuk eksis.
Oleh karena itu, respons militer Israel bukan hanya kalkulasi strategis, tetapi juga penegasan kembali martabat dan penolakan untuk kembali menjadi korban yang tidak berdaya.
Retorika Iran yang menyangkal legitimasi Israel memicu politics of resentment yang kuat di kalangan masyarakat Israel. Setiap rudal yang diluncurkan Iran tidak hanya dilihat sebagai ancaman fisik, tetapi sebagai tindakan delegitimasi yang mengingatkan mereka pada sejarah kelam ketika eksistensi mereka sebagai manusia dinafikan.
Keunggulan militer dan teknologi Israel di kawasan dapat diinterpretasikan sebagai bentuk megalothymia. Keinginan untuk menjadi kekuatan militer yang tak tertandingi (Qualitative Military Edge) adalah cara untuk memastikan bahwa martabat mereka tidak akan pernah bisa diinjak-injak lagi. Ini adalah dorongan untuk menjadi “lebih unggul” dalam hal kekuatan sebagai jaminan utama bagi pengakuan dan kelangsungan hidup.
Perang Iran-Israel, jika dibedah dengan pisau analisis Fukuyama, bukanlah sekadar bentrokan kepentingan geopolitik atas wilayah atau sumber daya. Ini adalah benturan thymos—sebuah perjuangan sengit antara dua identitas nasional yang masing-masing merasa martabatnya berada di bawah ancaman eksistensial.
Iran didorong oleh politik kebencian terhadap penghinaan historis dan tuntutan akan pengakuan sebagai kekuatan regional yang setara (bahkan superior) dengan menantang tatanan yang didominasi Barat. Israel didorong oleh tuntutan akan pengakuan atas hak eksistensinya yang lahir dari trauma sejarah holocaust, dan memandang setiap ancaman sebagai serangan terhadap martabat dasarnya untuk hidup.
Keduanya terjebak dalam siklus di mana penegasan martabat satu pihak dirasakan sebagai ancaman langsung bagi martabat pihak lain. Dalam tragedi ini, seperti yang diisyaratkan Fukuyama, perjuangan untuk mendapatkan pengakuan justru menjadi sumber konflik yang paling sulit diselesaikan, karena menyangkut sesuatu yang jauh lebih primordial daripada sekadar materi: harga diri.[]
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini





