Dengarkan Artikel
Oleh: Siti Hajar
Tradisi merantau merupakan bagian penting dari sistem nilai dan struktur sosial masyarakat Aceh, khususnya di Kabupaten Pidie. Tidak jarang, laki-laki yang telah menikah juga merantau meninggalkan istrinya (bahkan dalam kondisi hamil) bukanlah hal yang dianggap aneh. Justru, praktik ini dipandang sebagai wujud tanggung jawab dan kematangan sosial.
Banyak laki-laki Pidie yang baru kembali ke kampung halaman setelah bertahun-tahun, bahkan saat anak mereka telah berusia antara tujuh hingga dua belas tahun. Tulisan ini mengkaji secara lebih dalam tradisi merantau bagi laki-laki di Pidie, dengan menelusuri latar belakang sosiokultural, alasan non-ekonomi, serta dampaknya terhadap ketahanan keluarga dan identitas kultural pada zaman dulu.
Sejarah dan Akar Tradisi Merantau di Pidie
Pidie merupakan salah satu kabupaten di Aceh yang memiliki sejarah panjang dalam aktivitas mobilitas penduduk. Berdasarkan temuan sejarah lokal dan studi antropologi (Ali, 2002), sejak masa kolonial hingga pasca kemerdekaan, banyak laki-laki dari Pidie melakukan migrasi ke daerah-daerah seperti Medan, Pekanbaru, Jakarta, bahkan Malaysia. Alasan utama memang bersifat ekonomi, yaitu untuk mencari penghidupan yang lebih layak.
Namun, merantau lambat laun menjadi sebuah norma sosial dan penanda kedewasaan laki-laki. Seseorang dianggap “laki-laki sejati” jika sudah merantau dan mampu mengirimkan nafkah dari tempat ia bekerja di luar daerah.
Dalam masyarakat Pidie, istilah “ureung buet” (orang pergi mengaji) melekat erat pada laki-laki yang pergi merantau. Sebaliknya, laki-laki yang tetap tinggal di kampung tanpa pekerjaan tetap sering dianggap kurang bertanggung jawab.
Oleh karena itu, dorongan untuk merantau tak hanya datang dari dalam diri individu, tetapi juga dari tekanan sosial dan budaya yang membentuk persepsi akan peran gender.
Harga Diri, Status, dan Harapan Sosial
Banyak laki-laki muda di Pidie yang menikah di usia relatif muda, namun belum memiliki pekerjaan mapan. Situasi ini menciptakan tekanan psikologis dan sosial. Dalam struktur sosial Aceh yang pasangan muda sering tinggal bersama keluarga istri, muncul semacam perasaan “tidak nyaman” bagi laki-laki yang tidak mampu membiayai kebutuhan keluarga sendiri.
“Ek na diwoe u rumoh meu-eungkot hana diteupeu tijik,” (Ada ya, pulang ke rumah ikan (lauk) pun tidak tahu bawa pulang). Kata-kata seperti ini terasa pedas di telinga linto baro (pengantin laki-laki).
Merantau kemudian menjadi jalan keluar, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi juga untuk membuktikan eksistensi diri. Dalam konteks ini, merantau adalah jalan untuk mendapatkan “wibawa sosial”. Seorang laki-laki yang berhasil di perantauan, kembali membawa hasil dan mampu membangun rumah sendiri, membeli sawah dan kebun. Jika mampu seperti ini akan mendapatkan posisi terhormat dalam komunitasnya.
Rina Maulidar (2017), dalam penelitiannya tentang perempuan Aceh yang ditinggal merantau suami, menyebut bahwa merantau dianggap sebagai proses yang wajar, bahkan dipandang positif oleh keluarga istri.
Perempuan yang suaminya merantau diposisikan sebagai wanita yang sabar dan kuat, menjaga amanah dan rumah tangga dalam ketiadaan suami. Ini menunjukkan bahwa bukan hanya laki-laki yang didorong oleh sistem nilai, tetapi juga perempuan yang berperan sebagai penjaga moral keluarga.
Keadaan ini tentu bukan ujian yang ringan. Namun, ini bukanlah suatu yang asing, karena banyak keluarga lain juga demikian. Para perempuan yang ditinggal suaminya merantau menjadi kuat karena keadaan. Padahal mereka notabenenya adalah perempuan muda yang baru saja beranjak dari remaja bahkan kadang usianya masih belasan menjadi perempuan dewasa, karena statusnya telah menikah.
Alasan Spiritualitas, Jejak Leluhur, dan Dampak Konflik
📚 Artikel Terkait
Selain ekonomi, terdapat pula faktor-faktor non-ekonomi yang mendorong tradisi merantau. Pertama, aspek spiritualitas. Dalam konteks Islam lokal di Aceh, mencari nafkah untuk keluarga dipandang sebagai bagian dari ibadah dan jihad. Laki-laki yang berani meninggalkan kenyamanan rumah demi masa depan keluarga dianggap sedang berjuang di jalan Allah. Narasi ini diperkuat oleh khotbah-khotbah agama dan petuah para tetua adat yang menekankan pentingnya nafkah halal dan keberanian hidup.
Kedua, jejak leluhur atau contoh dari generasi sebelumnya juga memainkan peran penting. Banyak anak muda yang tumbuh dengan cerita tentang ayah, paman, atau kakek yang sukses di perantauan. Cerita ini menjadi inspirasi sekaligus tekanan untuk mengikuti jejak tersebut. Dalam banyak keluarga, merantau bahkan telah menjadi semacam “inisiasi budaya” yang tidak tertulis.
Ketiga, faktor sejarah konflik. Pada masa-masa Darurat Militer(DOM) di Aceh antara tahun 1989–1998, banyak laki-laki muda memilih meninggalkan kampung untuk menghindari kekerasan dan kriminalisasi. Sebagian dari mereka merantau secara terpaksa, namun kemudian menetap dan membangun kehidupan baru di perantauan. Tradisi ini terus berlangsung bahkan setelah konflik mereda.
Beberapa keluarga hari ini yang saat konflik melarikan diri ke Malaysia, Thailand, Singapura, dan Canada, kemudian menetapdan tidak kembali lagi ke Aceh. Saat konflik mereda mereka bahkan memboyong keluarganya ke perantauan dan hidup di sana. Memiliki usaha dan akhirnya menjadi pebisnis sukses di negeri orang. Hanya pulang saat Hari Raya Idul Fitria tau Hari Raya Idul Adha.
Dinamika Keluarga dan Ketahanan Perempuan
Ketidakhadiran laki-laki dalam rumah tangga selama bertahun-tahun tentu membawa dampak terhadap dinamika keluarga. Namun, perempuan Aceh — khususnya di Pidie — telah terbiasa mengelola rumah tangga sendiri. Mereka memainkan peran sebagai ibu sekaligus kepala rumah tangga. Dalam banyak kasus, perempuan bahkan terlibat aktif dalam aktivitas ekonomiseperti berdagang di pasar, mengelola kebun, atau menjadi guru ngaji.
Nurhayati (2018) mencatat bahwa perempuan Aceh yang ditinggal merantau suaminya umumnya memiliki ketahanan mental dan spiritual yang tinggi. Mereka tetap menjalin komunikasi secara berkala (meski dulu terbatas pada surat atau kabar lisan), dan menjaga kehormatan rumah tangga dengan penuh kesabaran.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ada pula dampak negatif seperti lemahnya relasi emosional antara ayah dan anak, terutama jika masa perantauan berlangsung sangat lama. Anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah bisa merasa asing, ketika ayah kembali. Di sinilah muncul tantangan baru dalam proses reintegrasi keluarga.
Hal yang menurut penulis hebat adalah, bagaimana perempuan ini yang menyandang status istri perantau menjaga marwah diri, tetap setia menanti. Bahkan ada di antara mereka tidak mengetahui persis di mana posisi suaminya dan apa profesi– mencari rejeki yang mereka jalani. Namun, mereka tetap setia dan tidak pernah hilang harap menanti kepulangan sang suami.
Perubahan Zaman dan Arah Baru Tradisi Merantau
Dengan hadirnya teknologi komunikasi, media sosial, dan moda transportasi yang lebih mudah, tradisi merantau di Pidie mulai mengalami transformasi. Kini, banyak laki-laki tetap bisa terhubung secara emosional dengan keluarganya di kampung melalui video call, pesan instan, dan transfer bank digital.
Bahkan ada pula bentuk merantau baru — yaitu bekerja secara daring dari rumah (remote work) atau migrasi musiman yang memungkinkan laki-laki kembali lebih cepat dan rutin. Tradisi tetap hidup, namun dalam format yang lebih adaptif.
Tradisi merantau bagi laki-laki di Pidie merupakan sebuah mozaik kompleks yang terdiri dari harapan sosial, tekanan budaya, tanggung jawab spiritual, dan perjuangan ekonomi. Dalam banyak kasus, merantau bukan sekadar pergi — tetapi meninggalkan demi kembali dengan sesuatu yang lebih berarti. Perempuan dan anak-anak yang ditinggalkan pun bukan sekadar korban dari ketidakhadiran, tetapi aktor yang aktif menjaga stabilitas dan kehormatan rumah tangga.
Di tengah perubahan zaman, nilai-nilai di balik tradisi ini masih tetap hidup — hanya wajah dan caranya yang berubah. Pidie, dan Aceh secara umum, masih terus menyusun ulang narasi tentang keluarga, peran gender, dan keberanian menghadapi hidup, melalui cerita-cerita perantauan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain.
Daftar Pustaka:
Maulidar, Rina. (2017). Perempuan dalam Tradisi Merantau di Aceh: Studi Kasus di Pidie. Tesis, Universitas Syiah Kuala.
Nurhayati. (2018). Kehidupan Perempuan Pesisir di Aceh Timur yang Ditinggal Merantau Suami. Jurnal Sosiologi ISKI, Vol. 2(2).
Mukhlis & Zulfikar. (2020). Migrasi dan Ketahanan Keluarga di Aceh. Jurnal Aceh Anthropological Studies, Vol. 3(1).
Ali, Mukti. (2002). Aceh dalam Perspektif Sejarah dan Budaya. Banda Aceh: Ar-Raniry Press.
Naim, Mochtar. (1979). Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Gadjah Mada University Press.
Haris, Syahrul. (2019). Peran Media Sosial dalam MenjagaHubungan Suami-Istri Jarak Jauh. Jurnal Komunikasi dan Budaya, Vol. 7(1).
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini















