Dengarkan Artikel
Oleh Rosadi Jamani
Isu politik apa pun yang saya tulis, dua nama paling sering disebut, Jokowi dan Anies Baswedan. Soal 103 jenderal vs 1 Gibran, coba cek komentar, pasti ada menyalahkan Jokowi dan Anies. Coba, apa hubungannya? Menarik ya, wak! Mari kita ngopi lagi sambil menikmati untaian narasi ini.
Di tanah yang katanya subur karena tongkat kayu bisa jadi tanaman dan air mata rakyat bisa mengairi sawah kering, ada dua nama yang terpahat abadi dalam prasasti kekalutan nasional, Joko Widodo dan Anies Baswedan. Dua tokoh ini, seperti Yin dan Yang dalam siluet wayang modern, selalu muncul dalam tiap keributan.
Jokowi, pria kurus dengan senyum tipis yang bisa membuat satu kampung merasa adem padahal AC-nya rusak, lahir di Surakarta tahun 1961. Ia adalah legenda hidup dari dongeng modern yang sering dibacakan para buzzer sebelum tidur. Dari tukang mebel ke istana presiden. Sebuah perjalanan yang jika difilmkan, akan membuat Marvel merenung dan berkata, “Kita nggak sekeren itu.”
Namun, menjadi presiden di negeri 1001 demo ini bukan perkara ringan. Di bawah bayang-bayang rambut klimisnya, Jokowi menanggung beban maha berat, disalahkan untuk semua hal. Bahkan, hal yang belum terjadi. Harga telur naik? Jokowi. Hujan deras padahal prakiraan cerah? Jokowi. Sepeda motor tetangga hilang? Pasti salah Jokowi. Bahkan jika piring pecah di dapur karena kucing loncat panik, masih ada yang rela update status, “Duh Pakde, kenapa sih?!” Saking seringnya disalahkan, ada rumor kalau jam dinding di rumah Pak Jokowi muter mundur karena dia sendiri udah capek ngikutin waktu.
Sementara di sisi lain cermin kekacauan nasional, berdirilah Anies Baswedan, sang pujangga kota yang lebih pintar dari Google Translate dan lebih fasih berpidato dari loudspeaker masjid. Lahir tahun 1969, Anies adalah figur yang tak hanya menyusun kata indah, tapi juga mampu membalikkan logika hingga penonton geleng-geleng sambil tepuk tangan karena bingung tapi terkesan.
📚 Artikel Terkait
Dari dunia akademik ke dunia politik, Anies menjelma seperti tokoh utama dalam sinetron panjang yang tak pernah habis episodenya. Gubernur DKI Jakarta 2017–2022, ia mengukir prestasi dan polemik dengan ritme yang harmonis. Ada yang bilang dia visioner, ada juga yang bilang dia ilusionis. Ketika Jakarta banjir, dia dituduh tidak kerja. Ketika tidak banjir, dia tetap dituduh, “Pasti airnya disembunyikan!” Ketika bikin Formula E, sebagian orang bersorak, sebagian lagi menuduh itu balapan mobil dari anggaran ghaib. Jika Jakarta sempat macet, orang bisa bilang, “Wajar, mungkin Anies sedang menulis puisi di tengah jalan.”
Kedua nama ini, walau berlainan gaya dan jalur, selalu bertemu di titik akhir, disalahkan. Mereka seperti tiang listrik dan kabel kusut, tak terpisahkan dalam sistem kehebohan publik. Di setiap grup WhatsApp keluarga yang suka share hoaks, pasti ada foto mereka berdua, entah diedit jadi superhero, jadi penyihir, atau sekadar duduk berdampingan di warung kopi sambil menatap kosong ke masa depan.
Rakyat negeri ini begitu cinta pada drama. Mereka tak butuh jawaban, mereka butuh kambing hitam. Jokowi serta Anies, dengan lapang dada dan jas kebesaran masing-masing, siap tampil dalam setiap lakon sebagai protagonis dan antagonis sekaligus. Mereka bukan cuma tokoh politik, mereka adalah simbol. Simbol harapan yang dikecewakan dan kekecewaan yang diharapkan.
Ketika esok pagi nasi hangus karena lupa matikan rice cooker, jangan panik. Ambil napas panjang, lihat langit, dan ucapkan lirih: “Ini pasti salah Jokowi… atau Anies…” Lalu lanjutkan hidup, karena dua tokoh ini akan terus ada, bukan untuk menyelesaikan masalahmu, tapi untuk disalahkan atas semuanya.
Inilah Indonesia, tempat di mana dua nama cukup untuk menjelaskan seluruh kekalutan nasional. Sebuah negeri dengan satu juta persoalan dan dua tersangka abadi.
camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini

















