Oleh Gunawan Trihantoro
Puisi esai “Ketika Kuputari Ka’bah” karya Denny JA menghadirkan refleksi spiritual yang dalam mengenai pengalaman thawaf di sekitar Ka’bah. Di balik rangkaian kata yang puitis, tulisan ini menggugah kesadaran akan makna perjalanan manusia menuju Tuhan. Jika kita melihatnya dari perspektif pendidikan agama Islam dan filsafat Islam, ada beberapa poin utama yang dapat dikaji lebih lanjut.
- Pendidikan Agama Islam: Transformasi Spiritual dan Kesadaran Diri
Dalam pendidikan Islam, ibadah tidak sekadar serangkaian ritual, tetapi juga sarana untuk mendidik jiwa. Ibadah haji dan umrah, khususnya thawaf, merupakan simbol perjalanan spiritual manusia. Dalam puisi ini, thawaf diibaratkan sebagai perjalanan ke dalam diri sendiri:
“Ketika kukitari Ka’bah, aku tak hanya thawaf di bumi, aku mengitari pusaran kesadaranku.”
Dalam pendidikan Islam, tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) menjadi salah satu aspek utama. Sebagaimana dalam ayat:
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا
“Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya” (QS. Asy-Syams: 9).
Puisi ini mengajarkan bahwa ibadah bukan hanya rutinitas fisik, tetapi juga latihan menyucikan hati dari berbagai penyakit batin seperti kesombongan, keakuan, dan keterikatan duniawi.
Lebih lanjut, pendidikan agama Islam juga menekankan kesetaraan manusia di hadapan Allah, yang tergambar dalam pemakaian ihram:
“Baju ihram ini, putih bersih, bukan sekadar kain, tetapi penghapus ego dan identitas.”
Ini mengingatkan kita pada ajaran Rasulullah SAW dalam khutbah Haji Wada’:
“Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu dan bapak kalian satu. Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang non-Arab, atau bagi orang non-Arab atas orang Arab, kecuali dengan ketakwaan.”
Dengan demikian, puisi ini mencerminkan nilai pendidikan Islam yang menekankan kesadaran spiritual, introspeksi, serta nilai persaudaraan universal.
- Filsafat Islam: Eksistensi, Waktu, dan Kesadaran Ketuhanan
Dari perspektif filsafat Islam, puisi ini menggambarkan konsep eksistensialisme spiritual. Dalam pemikiran filsafat Islam, manusia terus mencari hakikat dirinya, dan pencarian ini berpuncak pada pertemuan dengan Tuhan. Ini selaras dengan pandangan Ibnu Arabi, yang mengatakan bahwa perjalanan manusia adalah perjalanan menuju kesadaran akan Tuhan yang selalu hadir.
“Semakin aku menelusuri diriku, semakin aku menjumpai-Mu.”
Pernyataan ini menggambarkan konsep “wahdatul wujud” atau kesatuan wujud, di mana Tuhan bukan sesuatu yang terpisah dari pencariannya, tetapi justru ditemukan dalam setiap perjalanan menuju diri sendiri.
Selain itu, puisi ini juga menyentuh konsep waktu dalam filsafat Islam. Dalam thawaf, waktu terasa berhenti:
“Mengelilingi pusat kerinduan, tempat waktu tak lagi bergerak.”
Ini mengingatkan kita pada gagasan waktu absolut dan waktu relatif dalam pemikiran filsafat Islam. Dalam pemikiran Al-Farabi dan Mulla Sadra, waktu duniawi bersifat linier, sementara waktu dalam dimensi spiritual bisa menjadi siklikal atau bahkan berhenti ketika seseorang mencapai kesadaran tertinggi.
Kesimpulan
Puisi ini bukan sekadar refleksi personal, tetapi juga bisa menjadi bahan kajian dalam pendidikan agama Islam dan filsafat Islam. Ia mengajarkan bagaimana ibadah dapat menjadi sarana pembersihan jiwa, kesadaran akan kesetaraan, serta perjalanan menemukan Tuhan dalam diri sendiri.
Dari sisi filsafat Islam, puisi ini mengandung gagasan tentang eksistensi, waktu, dan kesadaran ketuhanan, yang berakar dalam pemikiran para sufi dan filsuf Muslim klasik.
Dengan demikian, Ketika Kuputari Ka’bah tidak hanya mengajak pembaca untuk memahami pengalaman thawaf, tetapi juga menyelami kedalaman makna spiritual dan filsafat dalam Islam.
Rumah Kayu Cepu, 28 Maret 2025.