Oleh Ir. Fikar W.Eda , M.Sn
Penyair dan Jurnalis
Saya ingin memaknai event besar Pekan Kebudayaan Aceh, event budaya yang digerakkan sejak 1958. Saya tertarik menelusuri pemikiran di balik gagasan penyelenggaraan Pekan Kebudayaan Aceh yang kemudian disingkat PKA, yang menurut saya perlu kita jadikan acuan, bahwa kebudayaan memiliki peran besar dalam mendorong kemajuan masyarakat, menjaga harkat dan martabat, serta memperkuat jalinan sosiologis masyarakat.
Saya menelusuri semua ini dengan membongkar sejumlah dokumen di Arsip dan Pepurstakaan Aceh, dokumen surat kabar, dan wawancara dengan pihak yang mengetahui betul jalan PKA karena yang bersangkutan terlibat langsung dalam perhelatan budaya tersebut.
##
Inilah catatan saya.
Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) kembali diselenggarakan untuk yang ke tujuh kalinya, pada 5-15 Agustus 2018, dan dijadwalkan PKA 8 pada 2023.
Kegiatan budaya ini pertama kali dilaksanakan pada 1958, dilanjutkan PKA 2 Tahun 1972, PKA 3 1988, PKA 4 2004, PKA 5 2009, dan PKA 6 pada 2013, PKA 7 2018.
Pekan Kebudayaan adalah ruang ekspresi masyarakat seluruh Aceh, bukan saja untuk tujuan pembangunan bidang kebudayaan, melainkan juga tujuan ekonomi dan jembatan pemulihan luka sosial Aceh.
Gubernur Aceh periode 1957-1964, Prof. A. Hasjmy menilai PKA telah berhasil mengembalikan harga diri dan martabat orang Aceh. Ia merujuk pada kenyataan yang terjadi pada 1953, ketika pecah peristiwa Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Gerakan tersebut oleh Pemerintah masa itu dan golongan-golongan yang mendukungnya, dianggap sebagai gerakan pengkhianatan terhadap Indonesia. Akibatnya, tulis Hasjmy, martabat dan harga diri orang Aceh, dicabik-cabik oleh gelombang cemoohan, yang berkesudahan orang-orang Aceh merasa malu menjadi “orang Aceh.”
Luka Aceh itulah yang kemudian dipulihkan melalui jalan budaya dengan menggelar PKA pada 1958, menyusul ditingkatkannya status Aceh menjadi daerah istimewa yang memberikan hak-hak otonomi khusus dalam bidang agama, pendidikan, dan adat budaya.
“Adalah satu kenyataan bahwa PKA telah berjasa dalam usaha mengembalikan harga diri orang Aceh,” tulis Hasjmy lagi, selaku Ketua Umum Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) dalam buku “Menjenguk Masa Lampau, Menjangkau Masa Depan Kebudayaan” terbitan 1991.
Guru Besar universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Prof. DR. Darwis A Soelaiman, MA, menyebut jalan budaya sebagai pilihan paling manusiawi dan memiliki harkat tinggi untuk memulihkan “luka” Aceh yang terlanjur menganga akibat kecamuk perang dan konflik masa DI/TII.
“Melalui jalan budaya, masyarakat memperlihatkan eksistensinya, menjangkau masa depannya, dan menghibur dirinya,” kata Prof Darwis dalam satu percakapan menjelang tengah malam di kediamannya Sektor Timur, Kopelma Darussalam, Banda Aceh. Dalam pepatah Aceh dirumuskan sebagai “ubat sosah piyasan beu na.”
Menurutnya, jalan budaya selain “pemulih luka” sekaligus perekat antarmasyarakat, memperlihatkan keberagaman, dan merancang masa depan. “Di dalamnya tertera martabat dan harga diri. Jalan kebudayaan bukan semata soal kesenian, melainkan jauh lebih luas lagi, yakni peradaban, termasuk ilmu pengetahuan, teknologi, pandangan dan sikap hidup,” demikian Prof Darwis. Alasan itulah, menurut Darwis., sehingga ide penyelenggaraan Pekan Kebudayaan mendapat respon dan dukungan luas.
Masyarakat, mahasiswa dan kalangan terpelajar Aceh di perantauan kala itu, menyumbangkan berbagai gagasan mengisi kebangkitan Aceh pasca konflik DI/TII.
A. Hasjmy, Sjamaun Gaharu, dan Teuku Hamzah adalah “tokoh tiga serangkai” di balik penyelenggaraan PKA 1 1958. Waktu itu Hasjmy menjabat Gubernur Aceh, Letkol Sjamaun Gaharu Panglima Kodam Daerah Aceh, dan Mayor T. Hamzah Kepala Staf Kodam Daerah Militer Aceh dan Ketua Umum PKA 1. Ketiganya berhasil meletakkan jembatan budaya yang merekatkan cita-cita Aceh bermartabat sejak era itu sampai era digitalisasi terkini.
Setahun setelah itu, pada 1959, Presiden Soekarno datang ke Aceh, meresmikan Kota Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darussalam, yang kelak menjadi tonggak terpenting dalam pendidikan generasi Aceh.
Semangat memilih jalan budaya kembali menjalar dalam dada dan kepala kaum terpelajar Aceh pada periode berikutnya. Era Orde Lama (Orla) berlalu, digantikan Orde Baru (Orba).
Orde Lama di bawah ke kepemimpinan Soekarno dengan jargon “politik sebagai panglima” ditinggalkan. Beralih ke orde pembangunan dinakhodai Jenderal Soeharto.
Menyahuti napas baru itu, di Aceh juga mulai terjadi perubahan. Aceh tak tinggal diam. Aktivitas sosial budaya menggeliat lagi. Rentang waktu sejak 1958 sampai 1966 dengan segala peristiwa sosial dan politik, membuat Aceh tak leluasa mengembangkan diri, meski telah diberi status istimewa di bidang pendidikan, adat, dan agama. Keadaan Aceh masa itu sungguh sulit, seolah terisolasi dari perkembangan dunia luar. Selain memang kondisi sosial dan politik nasional juga tidak stabil.
Darwis A Soelaiman melukiskan masa itu sebagai sebuah keadaan yang mengungkung. Dengan perubahan rezim, seolah ada harapan baru untuk mengisi pembangunan. Memberi makna baru dalam derap kehidupan masyarakat Aceh.
“Kegiatan seni budaya kembali tumbuh dengan semangat berbeda,” kenang Prof. Darwis. Sebuah organisasi kesenian pun didirikan, namanya Lembaga Pembina Seni Budaya Aceh atau LPSBA pada 1967. Di dalamnya terdapat banyak nama yang memiliki semangat menyala membangun negeri, selain Darwis ada Sahlan Saidi, Sofyan Ras Burhani, Anwar Zeats, Mohd Junaidi, Rusli Mahaday, Muchtar A Iskandar, dan banyak nama lain.
Nurdin Sufie, tokoh Gayo, orang tua dari Wagub Aceh sekarang, Nova Iriansyah, ketika itu memimpin organisasi Himpunan Seni Budaya Islam atau HSBI dan beberapa organisasi kesenian lainnya, kembali bergiat dengan semangat baru. Di Unsyiah hadir Pusat Kesenian Syiah Kuala atau PKS. Kegiatan kesenian marak, terpusat di Balai Teuku Umar.
“Jalan budaya kembali menjadi menjadi pilihan cemerlang untuk membuka isolasi Aceh,” kata Darwis mengenai gagasan menyelenggarakan kembali PKA pada 1972.
T Hamzah yang sudah menjadi Brigjen dan menjabat Panglima Kodam Aceh menyampaikan kembali idenya untuk menggelar PKA 2. Itu dia sampaikan dalam satu pertemuan dengan pengurus LPSBA saat memberi sambutan dalam acara Ceramah Sastra di Bioskop Garuda Banda Aceh. Ide ini tentu disambut antusias. Tapi Teuku Hamzah sendiri tak lama setelah itu pindah ke Jakarta. Namun ide itu terus bergaung. Gubernur Aceh Muzakir Walad, Rektor Unsyiah A. Madjid Ibrahim, dan Dekan Fakultas Ekonomi Unsyiah Ibrahim Hasan sepakat gagasan “menempuh jalan budaya” mulai dijalankan.
Sebagai “jalan pembuka” didatangkan penyair dan dramawan WS Rendra dengan kelompok Bengkel Teater Rendra ke Aceh. Mementaskan “Kasidah Barzanji” di depan Masjid Raya Baiturrahman dan drama Sophocles “Oedipus Rex” di Perbasi Peunayong Banda Aceh pada Oktober 1971. Itulah untuk pertama sekali depan Masjid Raya dijadikan tempat pentas teater. Bengkel Teater Rendra juga diajak mentas keliling Aceh, Sabang, Bireuen, dan Langsa. Rendra juga ceramah di Universitas Syiah Kuala serta latihan teater bersama di Lhok Nga bersama sejumlah seniman Aceh. Rendra sendiri kemudian menulis syair “Universitas Syiah Guru Kami” yang dijadikan hymne Unsyiah diarranseme Mochtar Embut.
“Kedatangan Rendra dan Bengkel Teater mengubah banyak hal di Aceh. Seolah sebagai angin segar. Mengingat Aceh ketika itu sangat terisolir,” kenang Darwis Soelaiman, yang menjadi salah seorang panitia inti kedatangan Rendra.
Pilihan mendatangkan Rendra, sebab dia dianggap tokoh yang mampu membawa perubahan. Tokoh pendobrak. Ia sedang top di Indonesia sebagai seniman yang kritis dan humanis.
Tak lama berselang, setelah kedatangan Rendra bersama 28 orang anggota kelompoknya, PKA 2 digelar pada 20 Agustus sampai 2 September 1972. Seluruh kegiatan dipusatkan di Blang Padang.
Adalah Darwis A. Soelaiman yang ketika itu memimpin LPSBA diminta oleh Gubernur Muzakir Walad menyiapkan bahan PKA 2 dan diangkat sebagai Sekretaris Umum PKA 2 dan PKA 3 tahun 1988. “LPSBA semacam ‘think thank’ PKA 2,” ujar Darwis. Sedangkan pada PKA 1 persiapan dilakukan oleh Lembaga Kebudayaan Aceh (LKA) dibentuk 1957, diketuai Mayor T. Hamzah.
Melihat urgensinya jalan budaya, Pekan Kebudayaan Aceh lalu ditetapkan sebagai agenda lima tahunan dan merupakan mata rantai kebudayaan yang saling terikat sejak PKA 1 sampai PKA 3. “Pengikatnya adalah menegakkan harkat dan martabat Aceh di nasional dan dunia,” kata Darwis Soelaiman.
Pekan Kebudayaan Aceh Sejak PKA 1, PKA 2,PKA 3, dan seterusnya sampai PKA 7, menurut Darwis S Soelaiman terletak pada benang merah “menegakkan harkat dan martabat Aceh” di panggung nasional dan dunia. Tugas ini memang berat, di tengah gelombang hipokrisi, korupsi, narkoba, intrik politik yang menyeruak secara nasional. Menjalar kemana-mana, termasuk Aceh. “Tapi harus kita lalui,” kata Darwis lagi.
Dalam bahasa yang lain, Wakil Gubernur Aceh Nova Iriansyah ingin mengandalkan jalan budaya dalam menyelesaikan beragam persoalan dan mendorong laju pembangunan di Aceh. “Melalui jalan budaya akan menciptakan perdamaian dan kebersamaan. Ini yang akan kita tumbuhkan,” kata Nova Iriansyah yang kemudian dilantik sebagai Plt Gubernur Aceh. Persoalan-persoalan yang didekati dengan jalan budaya memberi ruang penghargaan dan kesetaraan. “Beda dengan pendekatan politik,” kata Nova yang memilih menyelenggarakan touring Pra PKA menggunakan Ikatan Motor Besar Indonesia (IMBI) Aceh. Sesuatu yang tidak biasa.
Nova Iriansyah juga menyadari bahwa Aceh berada dalam lalu lintas pergaulan antarbangsa. Dan karenanya Aceh harus mampu mengembalikan kekuatan budayanya. “Dalam PKA kali ini akan mengundang delegasi asing secara khusus, beberapa negara Islam di seluruh dunia. Mereka diberi ruang berekspresi. Apabila dalam PKA yang lalu-lalu lebih menampilkan Khasanah lokal, kali ini kita beri ruang kepada delegasi kesenian asing,” katanya, selain juga mengundang seluruh provinsi di Indonesia. Ia ingin memberi penekanan khusus bahwa, PKA 7 ini bukan hanya mengemban misi budaya, melainkan juga membopong misi ekonomi dan penguatan masyarakat. Selamat datang para tetamu budaya yang mulia.()