Oleh Ayu Shalihah
Mahasiswi Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, UIN Ar-raniry, Banda Aceh
Dari judul di atas, pasti kita punya rasa ingin tahu tentang jawabannya bukan? Rasa ingin tahu ini makin mewabah di kalangan masyarakat semenjak adanya kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang rencananya akan mulai menambah jam belajar siswa pada tahun ajaran mendatang. Tentu hal ini melahirkan banyak spekulasi dan bahkan tak jarang oknum atau masyarakat menentang perencanaan kebijakan ini, karena dinilai akan banyak kerugian yang ditimbulkan jika jam belajar siswa ditambah. Adapun kerugian-kerugian yang tidak diharapkan akan timbul seperti kelelahan, kurangnya waktu bersama keluarga, interaksi sosial yang terbatas, kekurangan waktu bermain dan juga bisa membuat anak menjadi depresi. Sebaiknya kita ulas satu per satu.
Pertama adalah kelelahan. Jika waktu sekolah terlalu lama, istirahat pasti berkurang. Bahkan tak jarang anak-anak ke sekolah dalam keadaan kelelahan. Hal ini pernah saya alami ketika duduk bangku SMA. Jadwal sekolah yang panjang dan ditambah dengan jarak yang jauh, saya diharuskan untuk siap dengan segala konsekuensi yang ada. Mengingat jarak yang harus ditempuh antara sekolah saya dengan tempat tinggal saya, kurang lebih memakan waktu 30 menit. Ditambah dengan jadwal sekolah dari pagi hingga sore hari, mengharuskan saya untuk bersiap dari jam 06.00 pagi dan tiba kembali di rumah jam 18.00 sore. Alat transportasi yang saya gunakan adalah bus sekolah yang tentunya membutuhkan waktu lebih lama diakibatkan karena bus yang saya tumpangi harus mengangkut murid-murid lainnya dari berbagai sekolah. Belum lagi waktu malam yang seharusnya digunakan untuk beristirahat menjadi berkurang untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Hal ini tak jarang menimbulkan beberapa efek buruk bagi si anak seperti mudah jatuh sakit, terganggunya pola makan, pola tidur yang tidak sehat, kurang konsentrasi atau susah fokus. Ini juga menjadikan suasana hati anak mudah terganggu.
Kedua, kurangnya waktu bersama keluarga. Hal ini juga dapat mengecilkan dan mengganggu peran keluarga. Padahal anak-anak sangat membutuhkan waktu bersama keluarga. Akibatnya si anak jadi kurang perhatian ke orang tua atau keluarganya sendiri. Hal ini dikarenakan si anak memiliki target sendiri atau punya tanggung jawab sendiri atas tugas sekolah yang harus diselesaikan. Akibat terlalu diharuskan untuk menyelesaikan tugasnya, anak menjadi tidak peduli lagi pada keluarga. Sehingga waktu senggang pun hanya sedikit bersama keluarga. Padahal hal-hal kecil saja dalam ruang lingkup keluarga sangatlah berdampak besar terhadap emosional si anak. Misalnya seperti makan malam bersama, saling berbagi cerita ataupun menonton bersama. Meskipun hal kecil seperti makan bersama, menurut sebuah penelitian terbaru di Journal of American Dietetic Association menyatakan bahwa anak yang makan bersama keluarga, cenderung lebih banyak mengonsumsi buah dan sayuran hijau. Anak yang tidak makan bersama keluarga cenderung memilih makanan yang disukainya serta minum minuman manis. Kebiasaan yang buruk tersebut dapat menempatkan anak pada risiko obesitas. Hal-hal seperti inilah yang ditakutkan akan berkurang apabila waktu si anak dihabiskan lebih banyak untuk sekolah.
Ketiga, interaksi sosial yang terbatas. Dikerenakan waktu si anak lebih banyak dihabiskan atau fokus ke ruang lingkup sekolah, maka jelas interaksi social di luar sekolah mereka pun menjadi terbatas. Dengan kurangnya waktu yang mereka miliki di luar sekolah menjadikan si anak pasif dalam berinteraksi dengan orang di sekitar tempat tinggalnya dan bahkan pergaulan yang lebih luas. Padahal, hal ini sangat berguna bagi pengembangan kepribadian si anak dalam menjalin hubungan dengan masyarakat luas sepeti meningkatkan rasa kepercayaan dirinya, mengasah sikap kepemimpinannya dan membentuk karakter si anak.
Keempat, kekurangan waktu bermain. Masa kanak-kanak merupakan tahap pertumbuhan yang sangat memerlukan hal-hal yang tidak terikat, sehingga mampu mengurangi tingkat kejenuhan dan tekanan. Masa perkembangan dan pertumbuhan jiwa anak secara alami membutuhkan kegiatan bermain. Menurut beberapa ahli, aktivitas bermain bukan hanya untuk kesenangan semata, namun untuk merangsang respon anak terhadap sesuatu. Respon tersebut yang nantinya akan berakibat pada perkembangan anak. bermain merupakan suatu aktivitas yang menyenangkan bagi semua orang. Bermain akan memuaskan tuntutan perkembangan motorik, kognitif, bahasa, sosial, nilai-nilai dan sikap hidup. Bermain adalah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa pertimbangan hasil akhir. Bermain dilakukan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan atau tekanan dari luar atau kewajiban. Dengan demikian, aktivitas bermain dan perkembangan anak saling mempengaruhi terutama dalam perkembangan fisik motorik, bahasa, sosial, kognitif, dan emosional. Selain itu, kegiatan bermain pada anak-anak juga bermanfaat untuk mengembangkan kreativitasnya yang mana di pembelajaran sekolah lebih fokus dalam mengembangkan kemampuan otak kiri dan untuk mengembangkan kemampuan otak kanan dilakukan dengan cara bermain. Sehingga ada keimbangan yang didapatkan oleh si anak.
Kelima, membuat anak-anak menjadi depresi. Dikarenakan waktu sekolah yang lama, durasi waktu pengerjaan tugas yang relatif kurang, waktu istirahat dan hiburan yang juga kurang, si anak mudah tertekan dan depresi. Ketua Presidium Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Guntur Ismail juga melontarkan ketidaksetujuannya akan hal ini, ia takut akan ada kontraproduktif terhadap metode pembelajaran, sehingga justru mengekang emosi siswa yang suatu waktu bisa meledak keluar. Selain itu beliau berpendapat bahwa rencana ini tak ubahnya seperti upaya pengurungan. Maka tak ayal jika rencana kebijakan ini diberlakukan akan membuat anak-anak semakin tertekan dan depresi. Hal lain yang ditakutkan adalah si anak mengatasi hal ini sendiri dengan cara yang salah seperti merokok, menggunakan obat-obatan terlarang atau minum minuman beralkohol.
Jadi kebijakan yang akan diberlakukan ini akan menyebabkan banyak kerugian karena dinilai kurang efektif terlebih pada kesiapan si anak. Ini bukan hanya sekedar masalah “kuantitas” tambahan jam pelajaran sekolah, tapi yang perlu diperhatikan adalah “kualitas” si anak dalam menjalaninya, karena yang dinamakan dengan pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu membuat para murid nyaman dalam menuntut ilmu, tidak bersifat mengekang apalagi membuat para murid merasa tertekan.