Dengarkan Artikel
Oleh: Dr. (Cand) Kaipal Wahyudi, S.j., S.Hum., M.Ag.
Mahasiswa Program Doktor Studi Islam, Pascasarjana , UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Aceh dalam catatan Sejarah Republik
Dalam catatan sejarah, Aceh telah melewati rangkaian peristiwa yang panjang. Sejak abad ke-16 hingga hari ini. Berbagai macam peristiwa tersebut sudah dilalui masyarakatnya dengan kekuatan iman dan spiritualitas yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Dimulai dari perlawanan terhadap Portugis, kolonial Belanda (1873–1904), kependudukan Jepang (1942–1945), hingga terus berlangsung pascakemerdekaan dengan pemerintah Republik Indonesia melalui gerakan DI/TII di bawah komando Teungku Daud Beureueh. Kemudian berlanjut sampai Gerakan Aceh Merdeka (1976–2005), hingga tragedi tsunami 2004 yang mengguncang seluruh sendi kehidupan masyarakat dan terakhir peristiwa Bencana Hidrometeorologi yang baru-baru ini yang melanda Aceh.
Dalam perjalanan sejarahnya, Aceh menempati posisi strategis dalam wilayah republik ini. Wilayahnya bukan hanya sekadar bagian paling ujung barat Sumatera, tetapi juga menjadi benteng terakhir dan penopang utama kelangsungan negara. Peran strategis Aceh terlihat jelas pada akhir 1948, ketika Belanda mengumumkan runtuhnya Republik Indonesia setelah menduduki Yogyakarta dan penangkapan para pemimpin nasional.
Eksistensi republik ini justru dipertahankan dari pedalaman Aceh, melalui Radio Rimba Raya yang mengudara pada 20 Desember 1948 di Bener Meriah. Radio tersebut menyampaikan kepada dunia bahwa Indonesia masih berdiri serta masih ada dan berhasil menembus propaganda kolonial Belanda.
Dari perspektif diplomasi internasional, Radio Rimba Raya bukan hanya sekadar sarana komunikasi, melainkan instrumen politik yang menjaga legitimasi Indonesia di mata dunia. Siaran ini memberi tekanan kepada Belanda untuk kembali ke meja perundingan, yang akhirnya berujung pada Konferensi Meja Bundar dan pengakuan terhadap kedaulatan Indonesia. Fakta ini menegaskan bahwa Aceh bukan sekadar wilayah paling barat, tetapi fondasi utama dan penyangga kelangsungan negara pada momen-momen krusial dalam sejarah Indonesia.
Pengorbanan Aceh dan Akumulasi Kekecewaan Historis
Peran penting Aceh selanjutnya berlanjut tiga tahun pasca kemerdekaan. Ketika itu Republik Indonesia yang baru berdiri menghadapi kondisi ekonomi yang sangat rapuh. Dalam situasi tersebut, Presiden Soekarno datang ke Aceh untuk meminta dukungan, yang disambut dengan empati dan solidaritas kuat dari masyarakat Aceh. Solidaritas ini sejalan dengan nilai budaya Aceh yang sangat menjunjung tinggi penghormatan kepada tamu, sebagaimana yang tercermin dalam ungkapan Aceh “adat geutanyoe pemulia jamè”, Atau (adat Aceh sangatlah memuliakan tamu).
Pada masa itu, para saudagar, warga, hingga kaum ibu secara sukarela menyerahkan emas dan harta bendanya sebagai wujud kesetiaan kepada republik ini. Sekitar 50 kilogram emas berhasil dikumpulkan, yang kemudian menjadi bagian dari pada emas Monumen Nasional dan cikal bakal pesawat pertama Indonesia, Seulawah RI-001 dan RI-002. Pengorbanan ini tidak hanya bernilai material, tetapi juga merepresentasikan komitmen kebangsaan masyarakat Aceh dalam menopang dan menyelamatkan republik yang baru lahir.
Namun, kontribusi tersebut tidak selalu diikuti oleh kebijakan negara yang konsisten dan berkeadilan. Berbagai tuntutan Aceh mulai dari status provinsi, penerapan syariat Islam, hingga otonomi khusus sering menghadapi praktik sentralisme kekuasaan. Dalam perjalanannya, ketegangan antara pusat dan daerah menimbulkan dinamika politik di Aceh pada saat itu, hingga munculnya gerakan DI/TII di bawah kepemimpinan Teungku Daud Beureueh pada 1953. Hal ini sebagai bentuk rasa kekecewaan berat kepada pusat, atas janji-janji yang belum terealisasi dan ketidakadilan yang dirasakan.
Dalam hal ini, Konflik DI/TII tersebut, tidak hanya semata-mata dapat dipahami sebagai pemberontakan ideologis, melainkan sebagai ekspresi tuntutan politik dan identitas, termasuk penerapan syariat Islam dan pengakuan atas keistimewaan Aceh. Hingga penyelesaiannya kemudian ditempuh melalui jalur diplomasi, yaitu Ikrar Lamteh, yang menandai pengakuan negara terhadap kekhususan Aceh dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Konflik Bersenjata dan Jalan Panjang Perdamaian
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang muncul pada 1976 dan berakhir pada 2005, berakar pada konteks historis dan struktural yang kompleks. Selain persoalan identitas dan sejarah, GAM pada masa itu, menuntut kemerdekaan politik, keadilan ekonomi, perlindungan identitas budaya dan keagamaan, serta kritik terhadap pengelolaan sumber daya alam Aceh yang dianggap tidak adil. Pola relasi pusat-daerah yang sentralistis memperburuk situasi, karena negara lebih hadir melalui eksploitasi sumber daya alam, sementara pembangunan manusia, kesejahteraan sosial, dan penguatan kapasitas daerah Aceh masih tertinggal jauh.
📚 Artikel Terkait
Selama hampir tiga dekade konflik bersenjata, Aceh mengalami dampak sosial yang mendalam, mulai dari trauma berkepanjangan, ketertinggalan ekonomi, hingga hambatan pada kualitas sumber daya manusia. Konflik ini tidak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga merusak jaringan sosial, melemahkan kepercayaan publik, dan menghambat fondasi pembangunan di Aceh. Sehingga tragedi tsunami 2004 kemudian menjadi titik terang, karena bencana besar ini membuka kesadaran bersama antara pemerintah Indonesia dan GAM bahwa konflik ini harus diakhiri, serta misi kemanusiaan dan pemulihan kehidupan masyarakat Aceh menjadi prioritas utama.
Kesadaran ini berujung dengan penandatanganan Nota Kesepahaman di Helsinki pada Agustus 2005, yang menandai berakhirnya konflik dan membuka babak baru bagi Aceh dalam kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perjanjian ini tidak hanya menghadirkan otonomi khusus dan ruang politik yang lebih terbuka, tetapi juga menjadi fondasi rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi pascakonflik. Dari perspektif komparatif, perdamaian Aceh menunjukkan tingkat keberlanjutan yang lebih stabil dan lama dibandingkan sejumlah wilayah konflik lain, ini menegaskan bahwa perdamaian yang bertahan bergantung pada komitmen politik yang dijalankan, pengakuan aspirasi masyarakat, serta institusionalisasi keadilan, kesejahteraan, dan partisipasi masyarakat dalam tata kelola pascakonflik.
Perdamaian dan Refleksi Kekuasaan Lokal
Dua dekade pascaperdamaian, Aceh masih menghadapi persoalan struktural yang signifikan. Stabilitas politik yang relatif terjaga belum sepenuhnya berdampak pada keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan. Ketimpangan ekonomi masih terasa, proses industrialisasi berjalan lambat, dan ketergantungan fiskal terhadap dana transfer pemerintah pusat pun tetap tinggi. Sementara itu, pemerataan mutu pendidikan dan layanan kesehatan belum semua terwujudkan, dan pengangguran serta kemiskinan struktural masih menjadi persoalan serius di Aceh.
Dalam peringatan dua dekade Perdamaian Aceh pada 15 Agustus di Balee Meuseraya, Banda Aceh, Gubernur Aceh sekaligus mantan panglima Gerakan Aceh Merdeka. Menekankan bahwa perdamaian Aceh relatif lebih lama dibandingkan sejumlah wilayah konflik di Asia, seperti Filipina, Thailand Selatan, maupun Palestina.
Perdamaian tersebut dijaga dengan sikap ikhlas, disertai komitmen politik bahwa sejak penandatanganan MoU Helsinki tidak ada lagi tuntutan kemerdekaan. Namun, Gubernur juga menyoroti bahwa implementasi kesepakatan damai belum sepenuhnya terealisasi, sehingga pemerintah pusat diharapkan memahami dan mengerti kondisi Aceh hari ini dan mewujudkan seluruh poin kesepakatan. Ia juga menekankan pentingnya konsistensi dan keseriusan seluruh institusi negara dalam menunaikan komitmen perdamaian.
Dalam perspektif akademik, perdamaian Aceh tidak dapat dipahami sebagai capaian instan, melainkan sebagai proses historis yang panjang dan kompleks. Pernyataan Gubernur dapat dibaca sebagai pengingat normatif sekaligus kritik konstruktif terhadap negara, bahwa perdamaian tidak hanya berarti ketiadaan konflik bersenjata, tetapi harus diwujudkan melalui keadilan sosial, peningkatan kesejahteraan, serta perlindungan nyata terhadap martabat dan hak-hak warga Aceh.
Kerentanan Ekologis dan Lambannya Respons rNegara
Di luar persoalan politik dan ekonomi, Aceh kini menghadapi kerentanan ekologis yang kian parah. Banjir dan longsor yang berulang hampir setiap tahun, dengan dampak paling parah pada 26–27 November yang lalu. Hal ini, menunjukkan bahwa persoalan ini tidak hanya sekadar bencana alam, melainkan juga akibat lemahnya tata kelola lingkungan dan menjaga alam.Deforestasi, alih fungsi lahan yang masif, serta pembangunan yang mengabaikan prinsip mitigasi dan keberlanjutan, secara nyata meningkatkan risiko bencana bagi masyarakat Aceh.
Respons negara terhadap bencana tersebut sangatlah lamban dan tidak sebanding dengan skala penderitaan warga yang dirasakan. Lebih dari satu bulan pascabencana, proses pemulihan belum berjalan optimal, sementara masyarakat masih menghadapi keterbatasan pangan, aksesibilitas, dan layanan dasar. Kondisi ini menjadi semakin mendesak menjelang bulan suci Ramadan, yang menuntut kehadiran negara secara cepat, serius, nyata, dan berkeadilan agar beban kemanusiaan yang ditanggung masyarakat tidak bertambah berat dari hari ke hari.
Dari Bencana ke Bendera: Bahasa Simbolik Rakyat
Dalam situasi darurat pascabencana yang sudah satu bulan, masyarakat Aceh mengekspresikan kegelisahan tersebut melalui simbol-simbol publik. Pengibaran bendera putih di rumah-rumah yang rusak dan di wilayah terdampak banjir serta longsor menjadi representasi kondisi darurat kemanusiaan sekaligus bahasa mendalam bagi warga yang terdampak dan membutuhkan pertolongan segera.
Sementara itu, kemunculan bendera bulan bintang kerap ditafsirkan secara keliru pemahaman di lapangan. Dalam hal ini, terlihat aksi kemanusiaan di jalur Medan–Banda Aceh pada 25 Desember yang lalu, maupun orasi di halaman Kantor Bupati Aceh Utara, sehingga memicu ketegangan dengan aparat. Padahal, di tengah krisis yang telah berlangsung lebih dari sebulan, simbol tersebut bertujuan untuk menuntut penetapan status bencana nasional agar pemulihan dipercepat, mobilisasi sumber daya negara diperluas, dan akses bantuan, termasuk internasional, dapat dilakukan secara lebih luas dan terkoordinasi.
Secara sosiologis, simbol publik ini muncul ketika saluran formal tidak lagi efektif menyampaikan penderitaan dan aspirasi warga. Oleh karena itu, simbol-simbol ini sebaiknya dipahami sebagai ekspresi kekecewaan kolektif sekaligus alarm sosial atas lambannya respons negara. Jika ditanggapi dengan kebijakan cepat, adil, dan berpihak pada keselamatan warga, simbol-simbol ini justru dapat menjadi titik balik untuk memulihkan kepercayaan antara negara dan masyarakat.
Penutup: Sejarah, Bencana, dan Tanggung Jawab Negara
Makna “Dari Sejarah ke Bencana, dari Bencana ke Bendera” menyiratkan pesan moral dan politik kepada negara agar memahami kembali keadaan Aceh secara serius, penuh kepedulian, dan diikuti dengan tindakan nyata. Sejarah mencatat bahwa Aceh sebagai salah satu penopang dan paling berjasa bagi republik ini. Bencana yang terjadi kali ini, menunjukkan kerentanan ekologis dan sosial yang masih dihadapi masyarakat, sementara pengibaran bendera berfungsi sebagai penanda darurat kemanusiaan ketika penderitaan warga belum mendapat tindakan serius dari negara.
Dalam konteks ini, bendera bukan tujuan simbol konfrontasi politik, melainkan bahasa terakhir masyarakat untuk menuntut kehadiran negara yang cepat, serius, dan bertanggung jawab. Tuntutan utama masyarakat adalah penetapan status bencana nasional agar pemulihan dapat dipercepat dan keselamatan masyarakat terjamin. Maka, suara masyarakat yang di sampaikan baik secara lisan, tulisan maupun simbol–simbol tertentu, yakni sebagai tujuan untuk mengingatkan negara agar tidak mengabaikan wilayah yang telah berperan dan berkontribusi besar bagi bangsa ini.
Refleksi ini menegaskan harapan masyarakat Aceh, baik dari kalangan umum, akademisi, ulama, dan tokoh masyarakat agar status bencana nasional segera ditetapkan dan keterlibatan organisasi non pemerintah NGO di buka seluas-luasnya. Penetapan dan langkah ini sangat penting untuk mempercepat pemulihan, terutama menjelang bulan Ramadan, sehingga kebutuhan dasar, seperti sandan pangan, hunian tempat tinggal, pemulihan ladang ekonomi dan perlindungan terhadap warga dapat terwujudkan dengan segera.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini









