Artikel

Kami Tidak Sekadar Bicara dan Berjalan: Perempuan Indonesia dan Pertarungan Akal Sehat di Ruang Publik

Oleh Novita Sari Yahya
December 28, 2025
0

Oleh: Novita Sari Yahya *"We do not just talk or walk; we use our brains, because we are Indonesian women."*...

Baca SelengkapnyaDetails
Aceh, Dua Puluh Satu Tahun Setelah Air Itu Pergi
POTRET Budaya

Aceh, Dua Puluh Satu Tahun Setelah Air Itu Pergi

Oleh Juni Ahyar
December 28, 2025
0

Oleh Juni Ahyar Dua puluh satu tahun telah berlalu,namun laut masih menyimpan suara jeritannya.Di antara pasir dan nisan tanpa nama,waktu...

Baca SelengkapnyaDetails
Apa yang Dilakukan KH Zulfa Mustofa 16 Hari Menjadi Pj Ketua PBNU?
#Ulama Nusantara

Apa yang Dilakukan KH Zulfa Mustofa 16 Hari Menjadi Pj Ketua PBNU?

Oleh Rosadi Jamani
December 28, 2025
0

Oleh Rosadi Jamani KH Zulfa Mustofa menjabat sebagai Penjabat Ketua Umum PBNU hanya selama 16 hari, dari 9 hingga 25...

Baca SelengkapnyaDetails
Moral Masyarakat dalam Bencana
#Sumbangan Aceh

Dari Sejarah ke Bencana, dari Bencana ke Bendera: Aceh dan Suara Rakyat yang Tak Pernah Diam.

Oleh Redaksi
December 28, 2025
0

Oleh: Dr. (Cand) Kaipal Wahyudi, S.j., S.Hum., M.Ag. Mahasiswa Program Doktor Studi Islam, Pascasarjana , UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Aceh...

Baca SelengkapnyaDetails
  • Gemerlap Aceh, Menelusuri Emperom dan Menyibak Goheng

    Gemerlap Aceh, Menelusuri Emperom dan Menyibak Goheng

    166 shares
    Share 66 Tweet 42
  • Inilah Situs Menulis Artikel dibayar

    157 shares
    Share 63 Tweet 39
  • Peran Coaching Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan

    146 shares
    Share 58 Tweet 37
  • Korupsi Sebagai Jalur Karier di Konoha?

    58 shares
    Share 23 Tweet 15
  • Lomba Menulis Agustus 2025

    52 shares
    Share 21 Tweet 13
POTRET Online
  • Home
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat
  • Kirim Tulisan
No Result
View All Result
  • Home
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat
  • Kirim Tulisan
No Result
View All Result
POTRET Online
No Result
View All Result
  • Home
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat
  • Kirim Tulisan

Dari Sejarah ke Bencana, dari Bencana ke Bendera: Aceh dan Suara Rakyat yang Tak Pernah Diam.

RedaksiOleh Redaksi
December 28, 2025
Moral Masyarakat dalam Bencana
🔊

Dengarkan Artikel

Oleh: Dr. (Cand) Kaipal Wahyudi, S.j., S.Hum., M.Ag.

Mahasiswa Program Doktor Studi Islam, Pascasarjana , UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Aceh dalam catatan Sejarah Republik

Dalam catatan sejarah, Aceh telah melewati rangkaian peristiwa yang panjang. Sejak abad ke-16 hingga hari ini. Berbagai macam peristiwa tersebut sudah dilalui masyarakatnya dengan kekuatan iman dan spiritualitas yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Dimulai dari perlawanan terhadap Portugis, kolonial Belanda (1873–1904), kependudukan Jepang (1942–1945), hingga terus berlangsung pascakemerdekaan dengan pemerintah Republik Indonesia melalui gerakan DI/TII di bawah komando Teungku Daud Beureueh. Kemudian berlanjut sampai Gerakan Aceh Merdeka (1976–2005), hingga tragedi tsunami 2004 yang mengguncang seluruh sendi kehidupan masyarakat dan terakhir peristiwa Bencana Hidrometeorologi yang baru-baru ini yang melanda Aceh.

Dalam perjalanan sejarahnya, Aceh menempati posisi strategis dalam wilayah republik ini. Wilayahnya bukan hanya sekadar bagian paling ujung barat Sumatera, tetapi juga menjadi benteng terakhir dan penopang utama kelangsungan negara. Peran strategis Aceh terlihat jelas pada akhir 1948, ketika Belanda mengumumkan runtuhnya Republik Indonesia setelah menduduki Yogyakarta dan penangkapan para pemimpin nasional.

Eksistensi republik ini justru dipertahankan dari pedalaman Aceh, melalui Radio Rimba Raya yang mengudara pada 20 Desember 1948 di Bener Meriah. Radio tersebut menyampaikan kepada dunia bahwa Indonesia masih berdiri serta masih ada dan berhasil menembus propaganda kolonial Belanda.

Dari perspektif diplomasi internasional, Radio Rimba Raya bukan hanya sekadar sarana komunikasi, melainkan instrumen politik yang menjaga legitimasi Indonesia di mata dunia. Siaran ini memberi tekanan kepada Belanda untuk kembali ke meja perundingan, yang akhirnya berujung pada Konferensi Meja Bundar dan pengakuan terhadap kedaulatan Indonesia. Fakta ini menegaskan bahwa Aceh bukan sekadar wilayah paling barat, tetapi fondasi utama dan penyangga kelangsungan negara pada momen-momen krusial dalam sejarah Indonesia.

Pengorbanan Aceh dan Akumulasi Kekecewaan Historis

Peran penting Aceh selanjutnya berlanjut tiga tahun pasca kemerdekaan. Ketika itu Republik Indonesia yang baru berdiri menghadapi kondisi ekonomi yang sangat rapuh. Dalam situasi tersebut, Presiden Soekarno datang ke Aceh untuk meminta dukungan, yang disambut dengan empati dan solidaritas kuat dari masyarakat Aceh. Solidaritas ini sejalan dengan nilai budaya Aceh yang sangat menjunjung tinggi penghormatan kepada tamu, sebagaimana yang tercermin dalam ungkapan Aceh “adat geutanyoe pemulia jamè”, Atau (adat Aceh sangatlah memuliakan tamu).

Pada masa itu, para saudagar, warga, hingga kaum ibu secara sukarela menyerahkan emas dan harta bendanya sebagai wujud kesetiaan kepada republik ini. Sekitar 50 kilogram emas berhasil dikumpulkan, yang kemudian menjadi bagian dari pada emas Monumen Nasional dan cikal bakal pesawat pertama Indonesia, Seulawah RI-001 dan RI-002. Pengorbanan ini tidak hanya bernilai material, tetapi juga merepresentasikan komitmen kebangsaan masyarakat Aceh dalam menopang dan menyelamatkan republik yang baru lahir.

Namun, kontribusi tersebut tidak selalu diikuti oleh kebijakan negara yang konsisten dan berkeadilan. Berbagai tuntutan Aceh mulai dari status provinsi, penerapan syariat Islam, hingga otonomi khusus sering menghadapi praktik sentralisme kekuasaan. Dalam perjalanannya, ketegangan antara pusat dan daerah menimbulkan dinamika politik di Aceh pada saat itu, hingga munculnya gerakan DI/TII di bawah kepemimpinan Teungku Daud Beureueh pada 1953. Hal ini sebagai bentuk rasa kekecewaan berat kepada pusat, atas janji-janji yang belum terealisasi dan ketidakadilan yang dirasakan.

Dalam hal ini, Konflik DI/TII tersebut, tidak hanya semata-mata dapat dipahami sebagai pemberontakan ideologis, melainkan sebagai ekspresi tuntutan politik dan identitas, termasuk penerapan syariat Islam dan pengakuan atas keistimewaan Aceh. Hingga penyelesaiannya kemudian ditempuh melalui jalur diplomasi, yaitu Ikrar Lamteh, yang menandai pengakuan negara terhadap kekhususan Aceh dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Konflik Bersenjata dan Jalan Panjang Perdamaian

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang muncul pada 1976 dan berakhir pada 2005, berakar pada konteks historis dan struktural yang kompleks. Selain persoalan identitas dan sejarah, GAM pada masa itu, menuntut kemerdekaan politik, keadilan ekonomi, perlindungan identitas budaya dan keagamaan, serta kritik terhadap pengelolaan sumber daya alam Aceh yang dianggap tidak adil. Pola relasi pusat-daerah yang sentralistis memperburuk situasi, karena negara lebih hadir melalui eksploitasi sumber daya alam, sementara pembangunan manusia, kesejahteraan sosial, dan penguatan kapasitas daerah Aceh masih tertinggal jauh.

📚 Artikel Terkait

SENJA DI PULAU PENYENGAT

Cara Prabowo Melawan Tarif Donald Trump

DPRA: Inovasi Samsat Warung Kopi Jadi Contoh!

INDONESIA GLOWING

Selama hampir tiga dekade konflik bersenjata, Aceh mengalami dampak sosial yang mendalam, mulai dari trauma berkepanjangan, ketertinggalan ekonomi, hingga hambatan pada kualitas sumber daya manusia. Konflik ini tidak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga merusak jaringan sosial, melemahkan kepercayaan publik, dan menghambat fondasi pembangunan di Aceh. Sehingga tragedi tsunami 2004 kemudian menjadi titik terang, karena bencana besar ini membuka kesadaran bersama antara pemerintah Indonesia dan GAM bahwa konflik ini harus diakhiri, serta misi kemanusiaan dan pemulihan kehidupan masyarakat Aceh menjadi prioritas utama.

Kesadaran ini berujung dengan penandatanganan Nota Kesepahaman di Helsinki pada Agustus 2005, yang menandai berakhirnya konflik dan membuka babak baru bagi Aceh dalam kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perjanjian ini tidak hanya menghadirkan otonomi khusus dan ruang politik yang lebih terbuka, tetapi juga menjadi fondasi rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi pascakonflik. Dari perspektif komparatif, perdamaian Aceh menunjukkan tingkat keberlanjutan yang lebih stabil dan lama dibandingkan sejumlah wilayah konflik lain, ini menegaskan bahwa perdamaian yang bertahan bergantung pada komitmen politik yang dijalankan, pengakuan aspirasi masyarakat, serta institusionalisasi keadilan, kesejahteraan, dan partisipasi masyarakat dalam tata kelola pascakonflik.

Perdamaian dan Refleksi Kekuasaan Lokal

Dua dekade pascaperdamaian, Aceh masih menghadapi persoalan struktural yang signifikan. Stabilitas politik yang relatif terjaga belum sepenuhnya berdampak pada keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan. Ketimpangan ekonomi masih terasa, proses industrialisasi berjalan lambat, dan ketergantungan fiskal terhadap dana transfer pemerintah pusat pun tetap tinggi. Sementara itu, pemerataan mutu pendidikan dan layanan kesehatan belum semua terwujudkan, dan pengangguran serta kemiskinan struktural masih menjadi persoalan serius di Aceh.

Dalam peringatan dua dekade Perdamaian Aceh pada 15 Agustus di Balee Meuseraya, Banda Aceh, Gubernur Aceh sekaligus mantan panglima Gerakan Aceh Merdeka. Menekankan bahwa perdamaian Aceh relatif lebih lama dibandingkan sejumlah wilayah konflik di Asia, seperti Filipina, Thailand Selatan, maupun Palestina.

Perdamaian tersebut dijaga dengan sikap ikhlas, disertai komitmen politik bahwa sejak penandatanganan MoU Helsinki tidak ada lagi tuntutan kemerdekaan. Namun, Gubernur juga menyoroti bahwa implementasi kesepakatan damai belum sepenuhnya terealisasi, sehingga pemerintah pusat diharapkan memahami dan mengerti kondisi Aceh hari ini dan mewujudkan seluruh poin kesepakatan. Ia juga menekankan pentingnya konsistensi dan keseriusan seluruh institusi negara dalam menunaikan komitmen perdamaian.

Dalam perspektif akademik, perdamaian Aceh tidak dapat dipahami sebagai capaian instan, melainkan sebagai proses historis yang panjang dan kompleks. Pernyataan Gubernur dapat dibaca sebagai pengingat normatif sekaligus kritik konstruktif terhadap negara, bahwa perdamaian tidak hanya berarti ketiadaan konflik bersenjata, tetapi harus diwujudkan melalui keadilan sosial, peningkatan kesejahteraan, serta perlindungan nyata terhadap martabat dan hak-hak warga Aceh.

Kerentanan Ekologis dan Lambannya Respons rNegara

Di luar persoalan politik dan ekonomi, Aceh kini menghadapi kerentanan ekologis yang kian parah. Banjir dan longsor yang berulang hampir setiap tahun, dengan dampak paling parah pada 26–27 November yang lalu. Hal ini, menunjukkan bahwa persoalan ini tidak hanya sekadar bencana alam, melainkan juga akibat lemahnya tata kelola lingkungan dan menjaga alam.Deforestasi, alih fungsi lahan yang masif, serta pembangunan yang mengabaikan prinsip mitigasi dan keberlanjutan, secara nyata meningkatkan risiko bencana bagi masyarakat Aceh.

Respons negara terhadap bencana tersebut sangatlah lamban dan tidak sebanding dengan skala penderitaan warga yang dirasakan. Lebih dari satu bulan pascabencana, proses pemulihan belum berjalan optimal, sementara masyarakat masih menghadapi keterbatasan pangan, aksesibilitas, dan layanan dasar. Kondisi ini menjadi semakin mendesak menjelang bulan suci Ramadan, yang menuntut kehadiran negara secara cepat, serius, nyata, dan berkeadilan agar beban kemanusiaan yang ditanggung masyarakat tidak bertambah berat dari hari ke hari.

Dari Bencana ke Bendera: Bahasa Simbolik Rakyat

Dalam situasi darurat pascabencana yang sudah satu bulan, masyarakat Aceh mengekspresikan kegelisahan tersebut melalui simbol-simbol publik. Pengibaran bendera putih di rumah-rumah yang rusak dan di wilayah terdampak banjir serta longsor menjadi representasi kondisi darurat kemanusiaan sekaligus bahasa mendalam bagi warga yang terdampak dan membutuhkan pertolongan segera.

Sementara itu, kemunculan bendera bulan bintang kerap ditafsirkan secara keliru pemahaman di lapangan. Dalam hal ini, terlihat aksi kemanusiaan di jalur Medan–Banda Aceh pada 25 Desember yang lalu, maupun orasi di halaman Kantor Bupati Aceh Utara, sehingga memicu ketegangan dengan aparat. Padahal, di tengah krisis yang telah berlangsung lebih dari sebulan, simbol tersebut bertujuan untuk menuntut penetapan status bencana nasional agar pemulihan dipercepat, mobilisasi sumber daya negara diperluas, dan akses bantuan, termasuk internasional, dapat dilakukan secara lebih luas dan terkoordinasi.

Secara sosiologis, simbol publik ini muncul ketika saluran formal tidak lagi efektif menyampaikan penderitaan dan aspirasi warga. Oleh karena itu, simbol-simbol ini sebaiknya dipahami sebagai ekspresi kekecewaan kolektif sekaligus alarm sosial atas lambannya respons negara. Jika ditanggapi dengan kebijakan cepat, adil, dan berpihak pada keselamatan warga, simbol-simbol ini justru dapat menjadi titik balik untuk memulihkan kepercayaan antara negara dan masyarakat.

Penutup: Sejarah, Bencana, dan Tanggung Jawab Negara

Makna “Dari Sejarah ke Bencana, dari Bencana ke Bendera” menyiratkan pesan moral dan politik kepada negara agar memahami kembali keadaan Aceh secara serius, penuh kepedulian, dan diikuti dengan tindakan nyata. Sejarah mencatat bahwa Aceh sebagai salah satu penopang dan paling berjasa bagi republik ini. Bencana yang terjadi kali ini, menunjukkan kerentanan ekologis dan sosial yang masih dihadapi masyarakat, sementara pengibaran bendera berfungsi sebagai penanda darurat kemanusiaan ketika penderitaan warga belum mendapat tindakan serius dari negara.

Dalam konteks ini, bendera bukan tujuan simbol konfrontasi politik, melainkan bahasa terakhir masyarakat untuk menuntut kehadiran negara yang cepat, serius, dan bertanggung jawab. Tuntutan utama masyarakat adalah penetapan status bencana nasional agar pemulihan dapat dipercepat dan keselamatan masyarakat terjamin. Maka, suara masyarakat yang di sampaikan baik secara lisan, tulisan maupun simbol–simbol tertentu, yakni sebagai tujuan untuk mengingatkan negara agar tidak mengabaikan wilayah yang telah berperan dan berkontribusi besar bagi bangsa ini.

Refleksi ini menegaskan harapan masyarakat Aceh, baik dari kalangan umum, akademisi, ulama, dan tokoh masyarakat agar status bencana nasional segera ditetapkan dan keterlibatan organisasi non pemerintah NGO di buka seluas-luasnya. Penetapan dan langkah ini sangat penting untuk mempercepat pemulihan, terutama menjelang bulan Ramadan, sehingga kebutuhan dasar, seperti sandan pangan, hunian tempat tinggal, pemulihan ladang ekonomi dan perlindungan terhadap warga dapat terwujudkan dengan segera.

🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini

Keriuhan Media Sosial atas Kasus Keracunan Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Keriuhan Media Sosial atas Kasus Keracunan Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
2 Oct 2025 • 93x dibaca (7 hari)
Gemerlap Aceh, Menelusuri Emperom dan Menyibak Goheng
Gemerlap Aceh, Menelusuri Emperom dan Menyibak Goheng
18 Jun 2025 • 83x dibaca (7 hari)
Bencana dalam Perspektif Islam
Bencana dalam Perspektif Islam
15 Dec 2025 • 64x dibaca (7 hari)
Bencana Alam atau Pembiaraan Negara?
Bencana Alam atau Pembiaraan Negara?
11 Dec 2025 • 63x dibaca (7 hari)
Hancurnya Sebuah Kemewahan
Hancurnya Sebuah Kemewahan
28 Feb 2025 • 62x dibaca (7 hari)
📝
Tanggung Jawab Konten
Seluruh isi dan opini dalam artikel ini merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi bertugas menyunting tulisan tanpa mengubah subtansi dan maksud yang ingin disampaikan.
Share3SendShareScanShare
Redaksi

Redaksi

Majalah Perempuan Aceh

Please login to join discussion
#Sumatera Utara

Kala Belantara Bicara

Oleh Tabrani YunisDecember 23, 2025
Puisi Bencana

Kampung- Kampung Menelan Maut

Oleh Tabrani YunisNovember 28, 2025
Artikel

Menulis Dengan Jujur

Oleh Tabrani YunisSeptember 9, 2025
#Gerakan Menulis

Tak Sempat Menulis

Oleh Tabrani YunisJuly 12, 2025
#Sumatera Utara

Sengketa Terpelihara

Oleh Tabrani YunisJune 5, 2025

Populer

  • Gemerlap Aceh, Menelusuri Emperom dan Menyibak Goheng

    Gemerlap Aceh, Menelusuri Emperom dan Menyibak Goheng

    166 shares
    Share 66 Tweet 42
  • Inilah Situs Menulis Artikel dibayar

    157 shares
    Share 63 Tweet 39
  • Peran Coaching Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan

    146 shares
    Share 58 Tweet 37
  • Korupsi Sebagai Jalur Karier di Konoha?

    58 shares
    Share 23 Tweet 15
  • Lomba Menulis Agustus 2025

    52 shares
    Share 21 Tweet 13

HABA MANGAT

Haba Mangat

Tema Lomba Menulis Edisi Desember 2025

Oleh Redaksi
December 5, 2025
Haba Mangat

Tema Lomba Menulis November 2025

Oleh Redaksi
November 10, 2025
Haba Mangat

Tema Lomba Menulis Bulan Oktober 2025

Oleh Redaksi
October 7, 2025
Postingan Selanjutnya
Apa yang Dilakukan KH Zulfa Mustofa 16 Hari Menjadi Pj Ketua PBNU?

Apa yang Dilakukan KH Zulfa Mustofa 16 Hari Menjadi Pj Ketua PBNU?

  • Kirim Tulisan
  • Program 1000 Sepeda dan Kursi roda
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Tentang Kami

© 2025 potretonline.com

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
Sign Up with Google
OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat
  • Kirim Tulisan

© 2025 potretonline.com

-
00:00
00:00

Queue

Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00