Dengarkan Artikel
Oleh Feri Irawan
Bencana Hydrometeorologi meninggalkan luka yang tak bisa sembuh dalam sekejap. Infrastruktur rusak, alam menanti pemulihan, dan ekonomi warga berjuang mencari pijakan baru. Proses ini membutuhkan waktu, kesabaran, dan keberpihakan nyata.
Bencana tidak lahir hanya dari hujan. Hujan deras tidak otomatis menjadi petaka bila hutan masih lebat dan tanah masih kuat memeluk air. Di situlah simpul masalah mengeras: benteng alam di hulu sudah lama rapuh.
Ketika hujan jatuh tanpa jeda, air tak lagi punya cukup akar untuk disinggahi. Ia meluncur deras, menyeret tanah yang ringkih, menjadikannya longsor dan banjir bandang. Cuaca memberi tekanan; tata kelola lahan memberi jalan.
Lalu, siapa yang tanggung mata pencaharian pasca bencana ini? Siapa yang tanggung ratusan rumah yang hancur? Siapa yang mau bersihkan rumah tertimbun? Siapa yang tanggung rusak dan putusnya jalan? Siapa yang perbaiki sawah? Siapa yang perbaiki kebun? Siapa yang perbaiki tambak-tambak ikan? Siapa yang perbaiki peternakan dan lain-lain yang sudah tertimbun lumpur yang tinggi? Siapa yang tanggung jembatan-jembatan yang rusak dan putus? Siapa yang tanggung sekolah yang kini halamannya menjadi sungai? Siapa?
📚 Artikel Terkait
Lumpur masih menggunung di permukiman, sungai masih disesaki jutaan batang kayu. Ke mana mereka harus pulang?
Negara harus sadar, mereka bukan hanya korban air dan tanah, tetapi korban dari kegagalan sistem dalam menjaga keseimbangan alam.
Bencana kali ini adalah akumulasi dosa ekologis. Ia buah kebijakan yang lama abai dan terlalu permisif terhadap perusakan alam.
Sampai kapan kita menormalisasi bencana ini sebagai takdir? Di tangan-tangan “merekalah” yang merusak keseimbangannya sehingga membuat jeritan lebih dari 1.400 keluarga hancur dalam semalam.
Orang-orang menyebut frasa: “tsunami kedua”. Ini cara sederhana menamai duka yang terasa serupa dalamnya dengan 2004.
Jika negara tak mau berkata jujur, maka alam akan terus mengingatkan kita.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini










