Dengarkan Artikel
Oleh Hamdani Mulya
Suara syair Didong Gayo yang bersenandung syahdu tiba-tiba menghilang perlahan tenggelam, dibawa suara arus gemuruh banjir bandang di tanah Gayo.
Gayo, Aceh Tengah, terpuruk dalam kesedihan. Hujan deras yang tak henti-hentinya selama beberapa hari membuat Sungai Peusangan meluap, membanjiri desa-desa di sekitarnya. Di tengah kesulitan itu, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Gayo menjadi pusat perhatian. Guru-guru dan murid-murid berusaha menyelamatkan diri dari terjangan banjir bandang.
Pak Wen, seorang guru sejarah yang penuh semangat, berlari ke kelas Ibu Munawariate, yang sedang mengajar matematika. “Ibu, air sudah mulai masuk ke sekolah! Kita harus evakuasi murid-murid!” teriak Pak Wen.
Ibu Munawariate, seorang guru yang bijak dan sabar, langsung menghentikan pelajaran dan memerintahkan murid-murid untuk berkumpul di lapangan. Mereka berlari keluar kelas, membawa tas dan buku-buku mereka.
Di lapangan, Pak Wen membagi murid-murid menjadi beberapa kelompok. “Kita harus pergi ke tempat yang lebih tinggi! Ikuti saya!” katanya, sambil memimpin kelompok pertama.
Rai dan Reu, dua murid yang akrab, berlari bersama-sama. Mereka memegang tangan erat, takut terpisah dalam kesibukan evakuasi. Ine, ibu Rai, berlari menolong mereka, membantunya berdiri dan melanjutkan perjalanan.
“Ama, lapangan pacuan kuda kita!” teriak Reu, sambil menunjuk lapangan pacuan kuda Gayo yang amblas, hancur diterjang banjir bandang.
Ama, ayah Reu, menatap lapangan pacuan kuda itu, mata basah oleh air mata. “Kita akan bangkit kembali, Reu. Gayo tidak boleh runtuh.”
Saat mereka mencapai tempat yang lebih tinggi, mereka melihat sekolah mereka, SMP Gayo, terendam air. Bangunan sekolah yang kokoh itu kini roboh, hancur diterjang banjir bandang.
Pak Wen dan Ibu Munawariate saling menatap, mata mereka basah oleh air mata. Mereka tahu, sekolah yang menjadi tempat mereka mengajar dan belajar selama ini, kini telah tiada.
“Murid-murid, kita harus kuat,” kata Pak Wen, suaranya bergetar. “Kita akan bangkit kembali, seperti Gayo yang selalu bangkit dari kesulitan.”
Murid-murid mengangguk, mata mereka juga basah oleh air mata. Mereka tahu, mereka harus kuat, untuk diri mereka sendiri, untuk keluarga mereka, dan untuk Gayo.
Hari-hari berikutnya, Gayo masih terisolasi. Warga kesulitan mendapatkan kebutuhan pokok, termasuk makanan dan air bersih. Pak Wen dan Ibu Munawariate berusaha membantu warga, membagikan makanan yang masih tersisa dan air yang mereka dapatkan.
Rai dan Reu membantu Ine, membagikan makanan kepada warga yang membutuhkan. Mereka tahu, mereka harus kuat, untuk diri mereka sendiri, untuk keluarga mereka, dan untuk Gayo.
📚 Artikel Terkait
Gayo, Aceh Tengah, masih terisolasi, tetapi warga masih memiliki harapan. Mereka tahu, mereka akan bangkit kembali, seperti Gayo yang selalu bangkit dari kesulitan.
Di tengah kesulitan, Ine mengajak Rai dan Reu untuk melakukan zikir dan doa bersama, sebagai tanda kesyukuran dan harapan.
“Ine, apa tujuan kegiatan ini?” tanya Rai.
“Zikir dan doa bersama ini adalah tanda kesyukuran kita, Rai. Kita berterima kasih kepada Allah atas apa yang kita miliki, dan kita berharap agar Gayo bangkit kembali,” jawab Ine.
Rai dan Reu mengangguk, mata mereka berbinar. Mereka tahu, mereka memiliki iman yang kuat dan mempunyai kesabaran yang tinggi. Sebagai orang Gayo yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam yang mereka anut.
Gayo, Aceh Tengah, masih terisolasi, tetapi warga masih memiliki harapan. Mereka tahu, mereka akan bangkit kembali, seperti Gayo yang selalu bangkit dari kesulitan.
Minggu berikutnya, warga Gayo mulai membersihkan puing-puing bangunan yang hancur. Pak Wen dan Ibu Munawariate memimpin gotong royong, membersihkan sekolah yang roboh.
Rai dan Reu membantu Ine, membersihkan rumah mereka yang rusak. Mereka tahu, mereka harus kuat, untuk diri mereka sendiri, untuk keluarga mereka, dan untuk Gayo.
Bulan berikutnya, warga Gayo mulai membangun kembali sekolah mereka. Pak Wen dan Ibu Munawariate memimpin proyek pembangunan, dengan bantuan warga sekitar.
Rai dan Reu membantu Ine, mengumpulkan bahan-bahan untuk pembangunan sekolah mereka.
Gayo, Aceh Tengah, masih terisolasi, tetapi warga masih memiliki kekuatan untuk bangkit berusaha.
Akhirnya, setelah berbulan-bulan, sekolah SMP Gayo selesai dibangun kembali. Pak Wen dan Ibu Munawariate memimpin upacara peresmian, dengan dihadiri warga sekitar.
Rai dan Reu berdiri di depan sekolah, melihat bangunan baru yang kokoh. Mereka tahu, mereka telah melalui kesulitan yang berat, tetapi mereka tidak menyerah.
“Ine, kita berhasil!” kata Rai, sambil memeluk Ine.
“Kita berhasil, Rai,” jawab Ine, sambil tersenyum. “Gayo akan selalu bangkit kembali.” sambung Ine penuh haru.
Tanah Gayo masih diselimuti kabut yang menggigil. Malam pun menyongsong embun di rintik-rintik daun kopi yang mulai menghijau. Warga lelap dalam mimpi, seperti mimpi orang Gayo yang selalu bangkit menggapai mimpi menjadi nyata.
Takengon-Aceh Utara, 22 Desember 2025
Riwayat Penulis
Hamdani Mulya adalah Guru SMAN 1 Lhokseumawe. Lahir di desa Paya Bili, Kec. Meurah Mulia, Kab. Aceh Utara 10 Mai 1979. Alumni Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Syiah Kuala (USK). Karya Hamdani Mulya dipublikasikan di harian Serambi Indonesia, Kutaradja, Waspada, Haba Rakyat, Majalah Fakta, Santunan Jadid, Seumangat BRR, Meutuah Diklat, dan Jurnal Al-Huda.
Puisinya juga terkumpul bersama penyair Indonesia dalam buku antologi puisi Dalam Beku Waktu (2003), Paru Dunia (2016), Yogja dalam Nafasku (2016), Aceh 5:03 6,4 SR (FAM 2017), dan Gempa Pidie Jaya (2017). Selain menulis puisi dan cerpen Hamdani juga menulis artikel pendidikan, sejarah, dan esai bertema lingkungan.
Hamdani Mulya telah berhasil menulis beberapa buku diantaranya berjudul Jejak Dakwah Sultan Malikussaleh dan Wajah Aceh dalam Puisi yang diterbitkan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh tahun 2020.
(Editor : LK. Ara)
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini










