Dengarkan Artikel
:
Oleh : Dr. (Cand) Kaipal Wahyudi, S.j., S.Hum., M.Ag.
Mahasiswa Program Doktor Studi Islam, Pascasarjana, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Bencana alam merupakan bagian dari realitas sejarah yang terus hadir dalam perjalanan peradaban manusia. Peristiwa seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan berbagai bentuk kerusakan lingkungan tidak dapat dipahami semata-mata sebagai kejadian alamiah yang berdiri sendiri. Bencana selalu berkaitan dengan relasi yang kompleks antara manusia, lingkungan, dan sistem sosial yang mengatur kehidupan bersama.
Dalam konteks Aceh kontemporer, bencana berkaitan erat dengan sejarah hubungan manusia dan alam, arah kebijakan pembangunan, serta kualitas etika sosial yang berkembang di masyarakat. Islam, sebagai sistem nilai yang menyeluruh, memandang bencana bukan hanya sebagai peristiwa fisik, tetapi sebagai peristiwa bermakna yang memiliki dimensi teologis, moral, sosial, dan ekologis secara bersamaan.
Al-Qur’an menegaskan bahwa seluruh peristiwa di alam semesta berada dalam pengetahuan dan kehendak Allah SWT. Namun kehendak ilahi dalam Islam tidak dipahami secara umum yang meniadakan peran manusia. Kehendak Tuhan selalu berjalan dalam kerangka keadilan dan hikmah.
Oleh karena itu, bencana dalam perspektif Islam lebih tepat dipahami sebagai ibtilā’, yaitu ujian dan peringatan, daripada sekadar hukuman ‘iqāb. Ujian tersebut bertujuan membangkitkan kesadaran manusia agar mampu membaca tanda-tanda kekuasaan Tuhan di alam āyāt kawniyyah sekaligus melakukan evaluasi terhadap pola hidup yang menjauh dari prinsip keseimbangan mīzān dan keadilan.
Konsep khalīfah fī al-arḍ menempatkan manusia sebagai pemegang amanah untuk menjaga dan mengelola bumi secara bertanggung jawab. Amanah ini tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga struktural, karena berkaitan dengan relasi manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan hidup.
Dalam konteks Aceh, berbagai pengalaman empirik dari wilayah terdampak bencana menunjukkan bahwa kegagalan menjalankan amanah tersebut berujung pada meningkatnya kerentanan ekologis dan sosial.
Di Aceh Tengah, misalnya, Triyanda sebagai rekan semasa studi sarjana dan ia juga warga setempat menceritakan bahwa bencana longsor yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari perubahan fungsi lahan di kawasan perbukitan sekitar kampung.
Wilayah yang sebelumnya berfungsi sebagai penyangga ekologis mengalami degradasi akibat aktivitas ekonomi yang tidak disertai dengan upaya konservasi. Dalam kondisi tersebut, hujan lebat hanya berperan sebagai pemicu, sementara akar kerentanan bencana telah terbentuk melalui akumulasi kebijakan dan praktik sosial yang mengabaikan daya dukung lingkungan.
Pengalaman tersebut memperlihatkan bahwa bencana tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari proses panjang yang melibatkan pilihan-pilihan manusia. Pandangan ini sejalan dengan peringatan Al-Qur’an bahwa kerusakan di darat dan di laut terjadi akibat perbuatan tangan manusia sendiri.
Ayat tersebut bukan hanya menyampaikan pesan teologis, tetapi juga mengandung kritik etis terhadap model pembangunan yang berorientasi jangka pendek dan mengabaikan prinsip keberlanjutan.
📚 Artikel Terkait
Kejadian serupa juga terjadi di Aceh Utara, wilayah yang menjadi tempat tinggal kawan semasa menempuh studi magister. Maulana, rekan seperjuangan di jenjang pascasarjana, menggambarkan bahwa banjir yang berulang setiap musim hujan mencerminkan lemahnya tata kelola lingkungan dan perencanaan wilayah.
Pendangkalan sungai, menyempitnya kawasan resapan air, serta pembangunan yang tidak berbasis kajian ekologis membuat masyarakat terus berada dalam kondisi rentan. Dalam pandangannya, banjir tidak lagi dipahami sebagai musibah alam semata, tetapi sebagai konsekuensi dari kebijakan dan praktik sosial yang mengabaikan prinsip keberlanjutan. Kesadaran ini menunjukkan tumbuhnya muḥāsabah kolektif, yaitu refleksi sosial yang lahir dari pengalaman langsung menghadapi bencana.
Dimensi penderitaan yang lebih luas tampak dirasakan masyarakat Aceh Timur. Informasi yang disampaikan oleh saudara angkat dan sepupu di sana, yaitu Roji dan Akbar. Mereka yang menetap di wilayah tersebut, menggambarkan bahwa banjir yang berulang tidak hanya merusak rumah dan lahan pertanian, tetapi juga memutus mata pencaharian, prasarana sekolah hancur, serta melemahkan ketahanan ekonomi keluarga.
Dalam situasi ini, bencana menyingkap ketimpangan sosial yang nyata, di mana kelompok masyarakat dengan sumber daya terbatas menanggung beban paling berat, sementara akses terhadap perlindungan dan pemulihan sering kali tidak merata.
Kondisi yang tidak kalah memprihatinkan juga dialami masyarakat Aceh Tamiang. Melalui komunikasi telepon, Pak Zainal yaitu saudara yang bermukim di wilayah tersebut menyampaikan kondisi pascabencana banjir yang melumpuhkan hampir seluruh aktivitas kehidupan. Akses jalan terputus, kegiatan ekonomi terhenti, usahanya terpaksa ditutup sementara, dan berbagai aset keluarga hanyut terbawa banjir.
Curahan perasaan sedih dan kelelahan yang disampaikannya memperlihatkan dimensi kemanusiaan bencana yang luar biasa. Dalam situasi tersebut, penulis hanya dapat memberikan penguatan moral dan mengingatkan bahwa setiap musibah mengandung hikmah serta akan di ganti yang lebih banyak dari dari Allah SWT.
Keyakinan tersebut berangkat dari pengalaman empirik penulis sendiri. Pada tahun 2009, daerah asal penulis pernah mengalami kebakaran besar yang menghanguskan harta dan sumber penghidupan. Namun melalui kesabaran dan ikhtiar yang berkelanjutan, Allah SWT memberikan penggantian yang jauh lebih baik.
Pengalaman ini menegaskan bahwa dalam perspektif Islam, musibah bukanlah akhir dari segalanya, melainkan fase ujian yang membuka peluang transformasi kehidupan yang lebih luas.
Pengalaman dari Aceh Tengah, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang menunjukkan bahwa bencana alam tersebut sebagai pengingat bagi kita semua. Musibah yang terjadi tidak berdiri sebagai peristiwa alam yang netral, melainkan dipengaruhi oleh kerusakan ekosistem, alih fungsi hutan, deforestasi, serta berbagai bentuk intervensi manusia yang mengabaikan kepedulian terhadap lingkungan.
Demikian juga Ketidakadilan struktural, lemahnya perlindungan sosial, dan praktik pembangunan yang tidak berorientasi pada keberlanjutan. Serta memperbesar dampak bencana. terutama bagi kelompok masyarakat yang secara ekonomi dan sosial berada dalam posisi rentan. Dalam kondisi demikian, bencana menjadi cermin dari kegagalan manusia dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan pembangunan dan kelestarian alam.
Oleh karena itu, Islam tidak memisahkan respons spiritual dari tanggung jawab sosial dan ekologis. Kesalehan individual yang diekspresikan melalui doa dan kesabaran harus berjalan seiring dengan komitmen menjaga lingkungan bentuk dukungan kepada korban bencana. Instrumen-instrumen sosial Islam seperti zakat, infak, dan wakaf tidak semata berfungsi sebagai bantuan yang bersifat sementara, tetapi sebagai mekanisme dan struktural untuk memulihkan kekuatan mental dan martabat manusia pascabencana, memperkuat ketahanan sosial, serta mendukung upaya rehabilitasi lingkungan agar kerusakan serupa tidak terus berulang di masa depan.
Dalam konteks ini, Islam mengajarkan kehati-hatian dalam menilai penderitaan orang lain. Penafsiran bencana secara moralistik dan individualistik yang secara tergesa-gesa mengaitkan musibah dengan dosa personal berpotensi melukai korban dan mengaburkan faktor struktural yang berperan besar.
Nabi Muhammad SAW mencontohkan empati, solidaritas, dan kehadiran nyata sebagai respons utama terhadap musibah, bukan penghakiman moral yang secara individual.
Lebih jauh, bencana juga menjadi ujian terhadap kualitas kepemimpinan dan tata kelola pemerintahan. Dalam perspektif Islam, kepemimpinan adalah amanah untuk melindungi jiwa, harta, dan lingkungan. Berbagai pengalaman di Aceh menunjukkan bahwa lemahnya perencanaan, minimnya mitigasi, serta pengawasan lingkungan yang tidak optimal turut memperparah dampak bencana. Dengan demikian, bencana sering kali membuka krisis etika dalam praktik pembangunan dan pemerintahan.
Meski demikian, bencana juga menyimpan potensi transformasi sosial. Solidaritas yang tumbuh di tengah penderitaan dapat menjadi modal sosial untuk membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga lingkungan dan memperkuat keadilan sosial. Islam mendorong agar solidaritas tersebut tidak berhenti pada respons darurat, tetapi dilanjutkan dengan rekonstruksi sosial yang berorientasi pada keberlanjutan dan pemulihan martabat manusia.
Dengan demikian, bencana dalam perspektif Islam merupakan peristiwa yang sarat makna. Ia menjadi ujian iman, cermin krisis etika manusia, sekaligus peluang untuk melakukan koreksi mendasar terhadap arah pembangunan dan relasi manusia dengan alam. Pengalaman konkret dari berbagai wilayah Aceh menunjukkan bahwa ajaran Islam memiliki relevansi yang kuat dalam membaca realitas sosial. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk larut dalam kesedihan atau menyalahkan takdir, melainkan mengajak untuk berpikir kritis, bertindak etis, dan meneguhkan kembali amanah kekhalifahan di muka bumi.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini










