Dengarkan Artikel
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
Setiap Galungan, Bali kembali memancarkan cahaya tuanya: penjor-penjor melengkung di pintu gerbang rumah, bagaikan doa yang menjulur ke langit.
Bagi umat Hindu, penjor bukan sekadar hiasan musiman. Ia adalah tanda kemenangan dharma melawan adharma, pengingat bahwa hidup selalu bergerak di antara terang dan gelap. Ia bagian dari upakara, satu tarikan napas dengan banten, satu tubuh dengan lebuh tempat persembahan.
Penjor tak bisa dipindah-pindah semaunya, karena posisinya bukan barang teknis—ia sakral, ia simbol jalan pulang.
Namun di dunia paradoks Bali hari ini, bahkan sesuatu yang sesakral itu pun bisa berjumpa dengan logika kabel dan tiang listrik.
PLN, melalui seorang pejabatnya, mengimbau agar penjor dipasang 2,5 meter dari kabel listrik. Maksudnya jelas: keselamatan, keamanan, dan kelancaran aliran listrik.
Tetapi kebaikan, bila tak diantar dengan bahasa yang tepat, bisa tiba sebagai tamu yang salah kamar. Imbauan itu sontak menjadi riuh, bukan karena umat menolak keselamatan, melainkan karena letak penjor bukanlah keputusan teknis yang bisa digeser demi jarak aman.
Seolah PLN mengira penjor adalah layangan yang bisa dilarang terbang di zona tertentu, padahal penjor justru adalah akar yang ditancapkan pada pemeson rumah—tempat yang tak bisa dipindahkan hanya karena kabel melintas di atasnya.
Di sinilah paradoks itu menari: antara sakral dan teknis, antara upakara dan utilitas, antara tradisi yang mengakar ribuan tahun dan kabel yang baru beberapa dekade membentang di langit Bali.
Memang, umat Hindu selama ini bukan tak tahu risiko. Bila penjor kebetulan berada dekat dengan kabel, mereka menyesuaikan dengan cara mereka sendiri—tingginya ditakar, ronce janurnya dirapikan—tanpa menggeser makna dan tanpa menodai tata letak.
📚 Artikel Terkait
Tradisi punya cara bertahan tanpa perlu diceramahi, asal didekati dengan bahasa yang mengerti roh zaman dan roh keyakinan.
Yang disayangkan adalah mereka yang memanfaatkan imbauan ini menjadi panggung politik murahan. Mereka yang dengan gesit menunggangi isu sensitif, seolah keberingasan itu adalah tugas sucinya.
Padahal, tak semua perselisihan layak dijadikan komoditas emosional. Tidak semua kabar perlu dibakar agar tampak menyala.
Kadang-kadang, yang dibutuhkan hanya satu hal: jeda untuk memahami sebelum menghakimi.
Saya yakin PLN punya niat baik. Hampir setiap Galungan, imbauan sejenis selalu muncul. Yang kurang hanyalah komunikasi yang mampu menembus nalar sekaligus nurani. Karena Bali bukan hanya soal efisiensi teknis, tetapi juga tentang rasa, tata, dan adat yang sudah lama mengisi ruang hidup warganya.
Mungkin yang lebih mendesak untuk dipikirkan adalah ini: Bali tanpa kabel semrawut. Kabel PLN, kabel Telkom, kabel dari berbagai operator yang bersilangan seperti jaring raksasa—menangkap langit bukan untuk kebaikan, melainkan untuk menghalangi.
Berapa kali ngaben harus berhenti di tengah jalan agar wadah bisa lewat? Berapa kali mapepada tertahan oleh kabel yang menggantung rendah? Berapa banyak layang-layang yang putus karena tersangkut, berapa kali petugas harus memotong sementara jaringan demi memberi jalan bagi upacara adat?
Paradoksnya: Bali yang menjunjung langit justru dihalangi oleh kabel-kabel yang menjerat horizon.
Sudah saatnya Bali membayangkan ruang udara yang bersih, bukan hanya demi estetika, tetapi demi keharmonisan antara tradisi dan modernitas.
Teknologi bisa berbaikan dengan adat bila keduanya mau saling merunduk, saling memberi tempat.
Dan semua itu bermula dari satu hal yang sederhana: bahasa yang mengerti tempatnya, bahasa yang tahu kapan harus lembut, kapan harus tegas, dan kapan harus berhenti sebelum melukai.
Di Bali, kata-kata pun adalah upakara. Dan seperti penjor, ia tak boleh dipasang sembarangan.
Denpasar, 16 Nopember 2025

🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini
















