• Terbaru

Skill is the Real Degree: Saat Dunia Tak Lagi Butuh Gelar, Tapi Bukti Kemampuan Nyat

November 8, 2025

Penjor vs Kabel PLN

November 17, 2025

Kebugaran dan Kebersamaan di Bawah Langit Paya Kareung

November 17, 2025

Otsus Aceh di Persimpangan Jalan

November 16, 2025

Pendapat Prof Jimly Soal Ijazah Jokowi

November 16, 2025

Korupsi di Sektor Kesehatan: Dari Nasionalisme STOVIA hingga Penjara KPK

November 16, 2025

Malam Layar Puisi Anak Muda 2025

November 16, 2025

Prasasti Kebon Kopi

November 15, 2025

Bullying, Feodalisme, dan Ekstremisme

November 16, 2025

Dari Sumber Daya ke Sumber Daya Damai

November 15, 2025

Catatan Ringkas Sejarawan dan Fiksiwan Dari NDC Manado

November 15, 2025

Ketika Tsunami Aceh

November 14, 2025

‎Lukisan Sepasang Bangau, Cerita Pendek dan Puisi Dua Larik di Warung Kopi

November 14, 2025
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat
Monday, November 17, 2025
POTRET Online
  • Login
  • Register
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat
No Result
View All Result
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat
No Result
View All Result
POTRET Online
No Result
View All Result
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat

Skill is the Real Degree: Saat Dunia Tak Lagi Butuh Gelar, Tapi Bukti Kemampuan Nyat

Dayan AbdurrahmanOleh Dayan Abdurrahman
November 8, 2025
0
Reading Time: 5 mins read
🔊

Dengarkan Artikel

Oleh Dayan Abdurrahman

  1. Dunia yang Berubah, Manusia yang Tertinggal

Dunia hari ini bergerak lebih cepat dari sistem pendidikan kita. Di tengah revolusi digital dan otomatisasi industri, manusia kini dinilai bukan dari gelar yang tertera di kertas, tetapi dari real skill — kemampuan nyata yang dapat memecahkan masalah, mencipta solusi, dan memberi nilai bagi masyarakat. Namun ironisnya, di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, sistem pendidikan masih sibuk menilai nilai ujian dan akreditasi, bukan kemampuan berpikir, bekerja sama, dan berinovasi.

Berdasarkan data UNESCO (2023), hanya 37% lulusan perguruan tinggi di Asia Tenggara yang memiliki kompetensi kerja sesuai kebutuhan industri. Di Indonesia sendiri, lebih dari 60% perusahaan mengaku kesulitan mencari tenaga kerja yang benar-benar siap kerja (World Bank, 2022). Artinya, kita sedang mencetak lebih banyak pemegang ijazah daripada pemecah masalah.


  1. Gelar Tak Lagi Menjadi Jaminan

Di banyak negara maju, seperti Jerman, Finlandia, dan Korea Selatan, gelar akademik tidak lagi menjadi ukuran utama. Mereka membangun sistem pendidikan berbasis dual system, di mana pelajar tidak hanya belajar teori di kelas tetapi juga magang langsung di industri. Misalnya, di Jerman, sekitar 52% siswa SMA memilih jalur vokasional yang terhubung langsung dengan dunia kerja. Hasilnya? Tingkat pengangguran muda mereka hanya 5,4%, jauh di bawah rata-rata global (ILO, 2022).

Sebaliknya, di Indonesia, tingkat pengangguran sarjana justru meningkat menjadi 6,2% pada 2023, lebih tinggi dari lulusan SMA (BPS). Fenomena ini menunjukkan paradoks: semakin tinggi pendidikan formal seseorang, belum tentu semakin tinggi pula kemampuan praktisnya. Banyak mahasiswa menghabiskan waktu mengejar gelar, bukan keterampilan.


  1. Kearifan Lokal dan Realitas Sosial Aceh

Aceh memiliki akar pendidikan Islam yang kuat dan budaya belajar yang luhur. Di masa lalu, dayah menjadi pusat ilmu dan keterampilan sosial. Ulama bukan hanya mengajar kitab, tapi juga mengajarkan hikmah hidup — bagaimana manusia menjadi berguna bagi lingkungan. Namun modernisasi pendidikan telah menggeser nilai itu. Kita mulai mengukur kesuksesan dari ijazah, bukan manfaat.

Padahal, masyarakat Aceh memiliki filosofi: “ilmu keu pang, amal keu nyang” — ilmu harus disertai amal nyata. Spirit ini sejalan dengan semangat skill-based education yang kini diterapkan di negara maju. Di Jepang misalnya, pelajar SD sudah diajarkan life skills: cara bekerja sama, menjaga kebersihan, dan menghormati waktu. Hasilnya terlihat nyata — masyarakat disiplin, produktif, dan rendah konflik sosial.

Aceh bisa menghidupkan kembali semangat itu: membangun sistem pendidikan yang berpijak pada nilai-nilai lokal tapi berorientasi global — di mana iman dan skill berjalan seimbang.


  1. Data Sosial dan Tantangan Nyata

Menurut survei Katadata Insight (2024), hanya 29% mahasiswa Indonesia yang merasa kuliahnya relevan dengan pekerjaan yang mereka jalani. Sementara itu, 41% perusahaan menyatakan bahwa lulusan baru belum memiliki soft skill seperti komunikasi, kepemimpinan, dan manajemen waktu.

📚 Artikel Terkait

 Menelusuri Jejak Ulama Nusantara Rentang Waktu 1800-1850 M. 

Bulan Rajab Sebagai Momentum Refleksi Diri dan Tingkatkan Kualitas Diri

BENGKEL OPINI RAKyat

SPPI Tandatangani Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Perlindungan Awak Kapal Perikanan di Taiwan

Kondisi ini diperparah oleh kebijakan birokratis yang masih mengutamakan gelar untuk promosi jabatan. Padahal, negara-negara seperti Singapura telah menghapus syarat ijazah untuk sebagian besar posisi di sektor publik sejak 2021. Pemerintah di sana lebih menilai portfolio of experience dan hasil kerja.

Indonesia masih perlu waktu untuk sampai ke tahap itu, tetapi langkah awalnya adalah reorientasi pendidikan: dari berorientasi pada dokumen ke berorientasi pada kemampuan.


  1. Perspektif Global dan Pembelajaran dari Dunia Nyata

Kita hidup di masa ketika Google, Apple, IBM, dan Tesla sudah tidak lagi mensyaratkan gelar sarjana untuk melamar kerja. Mereka mencari orang dengan problem-solving mindset dan creative execution. Bahkan, laporan LinkedIn (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 70% rekruter global kini lebih menilai skill portfolio daripada pendidikan formal.

Sementara itu, di Finlandia, teacher training difokuskan pada kemampuan mendidik anak berpikir kritis dan adaptif. Hasilnya, negara itu menjadi salah satu dengan sistem pendidikan terbaik dunia tanpa ujian nasional yang kaku. Di Korea Selatan, pendidikan vokasi diformulasikan bersama industri kreatif dan teknologi, menghasilkan tenaga muda yang siap kerja dan inovatif.

Bandingkan dengan realita kita: pelajar seringkali terjebak dalam hafalan, bukan analisa; mengejar nilai, bukan makna. Padahal, dunia kerja tidak menanyakan nilai IPK, tapi bagaimana seseorang menyelesaikan masalah nyata di lapangan.


  1. Pembaharuan: Dari Kelas ke Kehidupan

Sudah saatnya pendidikan tidak hanya mengajarkan pelajaran, tetapi menghidupkan pelajaran. Dunia tidak butuh lebih banyak lulusan yang pandai bicara teori tapi bingung ketika dihadapkan pada kenyataan. Kita butuh generasi yang hands-on, yang belajar dari lapangan, dari masyarakat, dari alam.

Sebagaimana Aceh kaya dengan sumber daya alam dan budaya kerja gotong royong, pembelajaran berbasis proyek sosial dan alam bisa menjadi fondasi pendidikan masa depan. Mahasiswa pertanian, misalnya, seharusnya tidak hanya menulis skripsi, tetapi juga menciptakan model tanam yang efisien di lahan kering Aceh. Mahasiswa ekonomi harus mampu memecahkan persoalan UMKM lokal, bukan sekadar mempresentasikan teori pasar.


  1. Menuju Pendidikan yang Membebaskan

Kita harus berani menepi dari kebanggaan lama — bahwa gelar adalah simbol harga diri. Paradigma baru harus menempatkan manusia sebagai pembelajar sejati (lifelong learner), bukan pemburu ijazah. Pendidikan tidak boleh berhenti di ruang kelas, tapi harus menjadi jalan hidup yang membangun nilai, bukan hanya nama.

Dengan demikian, masa depan pendidikan bukan lagi gelar akademik di dinding, tapi kompetensi di tangan dan karakter di dada.

Sebagaimana kata bijak Aceh, “Lôn hana keu ureueng meu ilmeu, keu ureueng meu akal nyan ban mandum ilmeu” — orang berakal, dialah yang sejatinya berilmu.


  1. Penutup

Jika negara ingin maju, ia harus mengubah cara menilai manusia. Gelar boleh tetap penting, tapi bukan satu-satunya ukuran. Dunia kerja, masyarakat, dan masa depan menuntut sesuatu yang lebih nyata — kemampuan, kejujuran, kreativitas, dan kepedulian sosial.

Pendidikan sejati bukanlah tentang mencetak manusia untuk bekerja, tapi membangun manusia untuk berkarya. Dunia tidak menunggu mereka yang berijazah, tetapi mereka yang berdaya, berkarya, dan berkontribusi nyata.

🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini

Pria Yang Merindukan Prostatnya
Pria Yang Merindukan Prostatnya
28 Feb 2025 • 153x dibaca (7 hari)
Oposisi Itu Terhormat
Oposisi Itu Terhormat
3 Mar 2025 • 134x dibaca (7 hari)
Keriuhan Media Sosial atas Kasus Keracunan Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Keriuhan Media Sosial atas Kasus Keracunan Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
2 Oct 2025 • 117x dibaca (7 hari)
Hancurnya Sebuah Kemewahan
Hancurnya Sebuah Kemewahan
28 Feb 2025 • 115x dibaca (7 hari)
Hari Ampunan
Hari Ampunan
1 Mar 2025 • 99x dibaca (7 hari)
📝
Tanggung Jawab Konten
Seluruh isi dan opini dalam artikel ini merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi bertugas menyunting tulisan tanpa mengubah subtansi dan maksud yang ingin disampaikan.
Dayan Abdurrahman

Dayan Abdurrahman

Bio narasi Saya adalah lulusan pendidikan Bahasa Inggris dengan pengalaman sebagai pendidik, penulis akademik, dan pengembang konten literasi. Saya menyelesaikan studi magister di salah satu universitas ternama di Australia, dan aktif menulis di bidang filsafat pendidikan Islam, pengembangan SDM, serta studi sosial. Saya juga terlibat dalam riset dan penulisan terkait Skill Development Framework dari Australia. Berpengalaman sebagai dosen dan pelatih pendidik, saya memiliki keahlian dalam penulisan ilmiah, editing, serta pendampingan riset. Saat ini, saya terus mengembangkan karya dan membangun jejaring profesional lintas bidang, generasi, serta komunitas akademik global.

Artikel

Menulis Dengan Jujur

Oleh Tabrani YunisSeptember 9, 2025
#Gerakan Menulis

Tak Sempat Menulis

Oleh Tabrani YunisJuly 12, 2025
#Sumatera Utara

Sengketa Terpelihara

Oleh Tabrani YunisJune 5, 2025
Puisi

Eleği Negeriku  Yang Gelap Gulita

Oleh Tabrani YunisJune 3, 2025
Puisi

Kegalauan Bapak

Oleh Tabrani YunisMay 29, 2025

Populer

  • Gemerlap Aceh, Menelusuri Emperom dan Menyibak Goheng

    Gemerlap Aceh, Menelusuri Emperom dan Menyibak Goheng

    162 shares
    Share 65 Tweet 41
  • Inilah Situs Menulis Artikel dibayar

    153 shares
    Share 61 Tweet 38
  • Peran Coaching Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan

    145 shares
    Share 58 Tweet 36
  • Korupsi Sebagai Jalur Karier di Konoha?

    57 shares
    Share 23 Tweet 14
  • Lomba Menulis Agustus 2025

    51 shares
    Share 20 Tweet 13

HABA MANGAT

Haba Mangat

Tema Lomba Menulis November 2025

Oleh Redaksi
November 10, 2025
Haba Mangat

Tema Lomba Menulis Bulan Oktober 2025

Oleh Redaksi
October 7, 2025
Haba Mangat

Pemenang Lomba Menulis – Edisi Agustus 2025

Oleh Redaksi
September 10, 2025
Postingan Selanjutnya

Puisi -Puisi ASMUI MUSTAPA

  • Kirim Tulisan
  • Program 1000 Sepeda dan Kursi roda
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Tentang Kami
  • Kirim Tulisan
  • Program 1000 Sepeda dan Kursi roda
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Tentang Kami

INFO REDAKSI

Tema Lomba Menulis November 2025

November 10, 2025

Tema Lomba Menulis Bulan Oktober 2025

October 7, 2025

Pemenang Lomba Menulis – Edisi Agustus 2025

September 10, 2025

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
Sign Up with Google
OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat

© 2025 Potret Online - Semua Hak Cipta Dilindungi

-
00:00
00:00

Queue

Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00