Dengarkan Artikel
Oleh: @Frida.Pigny | https://superschool.ing
Kita hidup di kota yang menyembunyikan sejarahnya di bawah rumput taman, dan menyimpan akalnya di balik kisi-kisi ujian. Seperti makam seorang Sultan yang terlupakan di jantung kota, demikian pula akal budi yang terbaring sunyi di ruang kelas, dikalahkan bukan oleh kebodohan, tapi oleh ketundukan.
Wajah saya tidak seperti umumnya anak Aceh. Ayah saya orang Aceh, ibu saya keturunan Tionghoa. Kombinasi ini membuat saya sering dipanggil “Cina” sejak kecil. Tidak ada yang berniat menyakiti, tapi cukup untuk menanamkan rasa berbeda yang perlahan tumbuh jadi kesadaran sosial. Tapi saya tidak sering jadi anak yang suka bertanya di kelas karena takut dijauhi teman-teman.
Anak-anak yang bertanya dan aktif di kelas akan dikucilkan karena dianggap ‘anak pintar’. Seperti banyak teman lainnya, saya belajar diam di kelas. Saya merasa kaku kalau ada guru yang menganak-emaskan saya. Lebih baik banyak diam walau selalu duduk dibangku paling depan. Diam bukan karena tidak tahu, tapi karena itu yang dianggap aman. Tidak bertanya membuat saya masih tampak pintar. Tidak bersuara membuat saya mudah diterima.
Meski demikian, saya beberapa kali dipercaya menjadi ketua kelas sejak kelas empat hingga kelas enam SD. Itu memberi saya posisi istimewa. Saya punya akses ke dunia orang dewasa lebih awal, dan saya tahu bagaimana bertingkah supaya dianggap pintar. Bahkan saya merasa sangat istimewa saat guru saya sering meminta saya dan seorang teman pilihan saya keluar kelas di jam pelajarannya. Bukan karena dihukum, tapi seolah diberi bonus kepercayaan.
Kami disuruh ke pasar tradisional untuk membeli kebutuhan pribadi guru tersebut. Kami jalan kaki, masih mengenakan seragam sekolah, melewati jam pelajaran tanpa teguran. Bahagianya! Beberapa teman perempuan bahkan mencoba menarik perhatian saya agar saya memilih mereka sebagai teman ‘cabut’ dalam misi kecil itu. Rasanya seperti jadi orang terpilih. Saya bangga.
Menjelang ujian akhir nasional waktu itu, EBTANAS namanya, saya dan seorang teman lainnya yang dianggap mampu diminta oleh wali kelas untuk menyalin jawaban kami lalu membagikannya kepada seluruh teman sekelas. Tujuannya jelas agar semua anak lulus dan peringkat sekolah terjaga. Saya tidak merasa bersalah. Justru saya merasa itu pengakuan. Saya anak yang pintar dan bisa diandalkan.
Saat itu saya menganggap ini semua adalah pencapaian. Baru bertahun-tahun kemudian saya menyadari betapa sistem pendidikan kita dibentuk bukan untuk memberdayakan anak, tetapi untuk mempertahankan struktur.
Saya tidak sendiri. Banyak anak-anak yang dianggap ‘berprestasi’ di Aceh mengalami hal yang sama. Mereka diajari bagaimana menyenangkan guru, bukan bagaimana menyampaikan kebenaran. Mereka terbiasa menjadi baik menurut definisi orang dewasa.
Tidak mengganggu, tidak bertanya, tidak aneh-aneh. Kita semua menjadi cermin sistem yang lebih peduli pada stabilitas daripada pertumbuhan. Sekolah jadi tempat yang nyaman bagi anak-anak yang bisa menyesuaikan diri, tapi menantang untuk mereka yang ingin menjadi diri sendiri.
Laporan UNESCO tahun 2022 mencatat lebih dari enam puluh persen siswa di Asia Tenggara merasa tidak aman untuk mengutarakan pendapat mereka di ruang kelas. Di Indonesia sendiri, survei KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) mengungkap bahwa lebih dari separuh anak-anak merasa sekolah adalah tempat yang penuh tekanan.
📚 Artikel Terkait
Dalam konteks Aceh, di mana agama dan adat istiadat sangat kuat mewarnai ruang publik, pendekatan pendidikan seringkali masih dari atas ke bawah. Murid mendengar, guru bicara. Murid mengikuti, guru mengatur. Kreativitas dianggap kekacauan. Pertanyaan dianggap pembangkangan. Anak-anak bukan subjek pendidikan, melainkan objek kebijakan.
Saya menyadari bahwa saya tumbuh dalam sistem yang menghargai kesesuaian, bukan keunikan. Saya pintar karena saya tahu bagaimana menyesuaikan diri, bukan karena saya tahu bagaimana memecahkan masalah. Saya lulus ujian dengan nilai baik, tapi tidak terbiasa mengeluarkan buah pikiran saya yang kritis. Saya bisa menjawab soal pilihan ganda, tapi tidak terbiasa menyampaikan gagasan.
Tidak apa-apa, yang penting saya masih dianggap pintar. Demikian pola pikir yang akhirnya terbentuk pada saya waktu itu. Dan ini terjadi pada generasi demi generasi. Anak-anak Aceh dibesarkan dalam sistem yang memuja ketundukan dan mengecilkan suara yang berbeda.
Padahal Aceh memiliki sejarah besar dalam pendidikan. Dari masa Sultan Iskandar Muda hingga jejak para ulama besar, daerah ini seharusnya menjadi pelopor dalam membangun generasi pembelajar. Tapi, dari niatan awal yang ingin melahirkan anak-anak yang siap menantang zaman, kita malah menciptakan lulusan yang ragu mengambil keputusan dan takut untuk gagal. Sistem yang kita jalankan lebih sibuk menjaga peringkat sekolah daripada membuka ruang eksplorasi. Lebih sibuk menata barisan daripada menumbuhkan keberanian.
Saya percaya pendidikan yang ideal bukan yang membuat anak pintar di atas kertas, tapi yang membuat mereka hidup sebagai manusia utuh. Yang berani berpikir, yang tahu cara bertanya, yang mampu berkata tidak, yang sanggup berkata benar walau hanya didukung oleh diri sendiri.
Tapi realitanya jauh dari itu. Hari ini, sistem pendidikan lebih sering membungkam daripada membebaskan. Kalau ‘penderitaan itu pedih (jenderal)’, maka sistem yang membesarkan generasi tanpa kemampuan mempertanyakan dunia adalah cara halus untuk mengulangi sejarah paling gelap, tanpa perlu senapan, apalagi rencong.
Ini bukan hanya soal orang tua dan anak-anak. Ini soal kita semua: guru, sekolah, dinas pendidikan, dan siapa pun yang mengaku peduli pada masa depan Aceh. Kalau kita sungguh ingin perubahan, maka kita harus jujur: sistem yang sekarang tidak mendidik. Ia hanya melatih anak menyesuaikan diri, bukan membebaskan pikirannya. Padahal, kemerdekaan berpikir harus diasah sejak dini, sebelum hilang ditelan rutinitas dan ketakutan.
Saya menulis ini bukan karena ingin menyalahkan siapa pun. Saya tahu para guru saya, seperti banyak guru di Aceh, bekerja dalam keterbatasan. Mereka sendiri adalah produk dari sistem yang sama. Mereka mengajar dengan cinta, tapi tanpa cukup ruang untuk bereksperimen. Kita hidup dalam lingkaran besar di mana semua pihak saling menyesuaikan diri demi harmoni semu.
Tidak ada yang berani mengguncang, karena perubahan dianggap ancaman. Tapi saya percaya bahwa generasi sekarang tidak ditakdirkan untuk mewarisi sistem yang sama dan meneruskannya tanpa bertanya. Kita bisa mensketsa ulang wajah pendidikan bukan sebagai ruang penghafalan, tapi sebagai tempat membangun keberanian, nilai, dan arah hidup.
Setiap anak seharusnya punya hak untuk menemukan suara dan caranya sendiri dalam memahami dunia. Dan jika kita cukup berani untuk mendengarkan cerita-cerita kecil seperti milik saya, mungkin kita akan mulai melihat benih perubahan yang selama ini tumbuh diam-diam dalam diam banyak anak.
Kini saya tidak ingin lagi jadi orang pintar yang patuh. Saya ingin menjadi bagian dari sistem yang mendengar suara anak. Dan saya ingin mengajak semua pihak untuk mulai bertanya, bukan hanya mengajar. Karena perubahan besar tidak dimulai dari ruang seminar atau gedung pemerintah. Ia dimulai saat seorang anak berani bertanya dan tidak dibungkam.
Aceh tidak butuh lebih banyak anak pintar yang diam. Kita butuh lebih banyak anak yang berani berpikir dan mencintai kebenaran, bahkan ketika itu berarti berbeda. Dan saya ingin jadi bagian dari gerakan ini, sekecil apapun langkahnya. Karena saya percaya, satu suara yang jujur bisa jadi awal bagi banyak pintu yang terbuka.
Anak-anak tidak lahir untuk menyesuaikan diri dengan sistem, mereka lahir untuk mengubah dunia, asal kita cukup berani untuk mendengarkan mereka.
Karena satu anak yang berani bertanya lebih berharga daripada seribu anak yang hanya bisa menjawab. Dan barangkali, satu pertanyaan kecil dari seorang murid hari ini, bisa jadi pintu bagi masa depan yang tak lagi diam.
“Kita mencap kesalahan sebagai sesuatu yang buruk. Dan sekarang, kita menjalankan sistem pendidikan nasional yang menganggap kesalahan sebagai hal terburuk yang bisa dilakukan. Akibatnya, kita justru mendidik anak-anak untuk meninggalkan kapasitas kreatif mereka.” – Sir Ken Robinson
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini

















