Dengarkan Artikel
Oleh Rosadi Jamani
Kadang merasa sedih, daerah sendiri kok gini, sih. Sebelumnya, ada pengaruh Ponpes yang “menggitukan” ya gitu deh, santriwatinya. Padahal, ia baru lulus P3K. Sekarang giliran pengelola Panti Asuhan, gitu lagi. Pelakunya oknum PNS lagi. Oknum ya, bulan semua. Duh, sang predator, tak bisa lihat bening dikit, main tancap. Ingat umur, anak bini di rumah, dan ingat Tuhan. Mari kita ungkap kasus yang lagi heboh di Pontianak ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak.
Pada Minggu malam, 29 Juni 2025, di saat langit Pontianak mulai beranjak gelap dan warga sibuk menikmati akhir pekan dengan mancing di tepian Sungai Kapuas, nonton Dracin, dan doa-doa sebelum tidur, satu operasi senyap dilakukan oleh Unit Jatanras Satreskrim Polresta Pontianak. Bukan operasi biasa. Bukan pula penggerebekan tikus-tikus berdasi. Ini tentang seorang laki-laki, berstatus Pegawai Negeri Sipil, penjaga panti sosial, yang seharusnya melindungi anak-anak terlantar, tapi justru menjelma menjadi predator paling menjijikkan yang pernah ada.
Dialah pagar makan tanaman. Bukan hanya makan, tapi mencabik-cabik, menyesap dengan rakus kepolosan anak-anak yang mempercayainya. “Ayap ye,” kata orang Sambas.
Bayangkan, wak! Di tempat yang mestinya menjadi pelukan terakhir dari dunia yang menelantarkan, seorang oknum malah menjadikan panti sosial sebagai panggung bejatnya. Ia tidak hanya mencederai fisik korban, ia menghancurkan kepercayaan anak-anak pada manusia.
Ia bukan tamu tak diundang. Ia adalah staf tetap di instansi pemerintahan, yang seharusnya mengabdi pada rakyat, pada bangsa, pada kemanusiaan. Tapi yang terjadi, ia malah mengabdi pada iblis di kepalanya. Seorang predator berseragam, yang mendekat bukan untuk menolong, tapi untuk memangsa.
Korban? Seorang anak di bawah umur. Anak yang semestinya bermain bola, belajar membaca, dan tertawa di sore hari. Kini, ia malah harus belajar tentang trauma, tentang ketakutan, tentang luka yang tidak bisa dijelaskan dengan kata. Luka yang mungkin akan dibawanya sampai dewasa, sampai usia pensiun, bahkan sampai liang kubur.
Perbuatan ini tidak hanya biadab, ia melampaui batas kata “jahat”. Ini bukan kejahatan biasa. Ini adalah pengkhianatan terhadap tanggung jawab, pengkhianatan terhadap manusia kecil yang tidak bisa melawan. Saat tindakan ini terendus dan mulai viral, pelaku tidak gentar. Ia malah berusaha membungkam. Mengintimidasi. Menutup mulut korban, agar aibnya terkubur bersama rasa takut.
Tapi tidak semudah itu, Ferguso.
Unit Jatanras dan Unit PPA Satreskrim Polresta Pontianak bekerja senyap, tapi tajam. Mereka bukan sekadar polisi, mereka pagar baja di tengah runtuhnya kepercayaan publik. Mereka melawan tekanan, menembus kabut intimidasi, dan akhirnya menangkap pelaku. Tidak dengan tepuk tangan, tapi dengan gigi gemeretak dan dada membara. Karena siapa pun yang tahu kasus ini, pasti ingin menggenggam keadilan dan menghantamkan palu hukum berkali-kali ke kepala pelaku.
Kini, kasus sedang didalami. Karena dugaan awal, ini bukan aksi pertama. Bukan kejahatan tunggal. Mungkin sudah ada korban-korban lain, yang lebih muda, lebih diam, lebih terluka.
Kita harus bertanya,
di mana sistem pengawasan?
Bagaimana bisa pelaku bergerak selama ini tanpa terendus?
Apa SOP panti sosial kita, bila seorang predator bisa bebas berkeliaran di dalamnya?
Peribahasa “pagar makan tanaman” kini bukan lagi sindiran lembut. Ia telah berubah menjadi jerit ngeri anak-anak yang dikhianati oleh orang dewasa. Sebuah tragedi kemanusiaan yang harus dicatat, disorot, dan dikutuk habis-habisan.
Tak ada alasan, tak ada pembenaran, tak ada ruang maaf.
Siapa pun yang menyentuh anak-anak dengan niat bejat, adalah musuh bersama umat manusia. Negara, bila masih punya nurani, wajib memvonis pelaku dengan hukuman paling berat yang bisa diakomodasi undang-undang, karena jika hukum gagal memberi rasa takut, maka bangsa ini hanya menunggu giliran berikutnya, ketika serigala berkaki dua kembali menyamar sebagai pelindung.
Semoga keadilan bukan hanya kata-kata. Semoga anak-anak, yang kini menangis dalam diam, tahu… bahwa dunia belum sepenuhnya gelap. Bahwa masih ada yang berdiri untuk mereka.
Meski terlambat. Meski tidak semua luka bisa sembuh.
Foto Ai, bukan yang sebenarnya.
camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini




