Dengarkan Artikel
Oleh Gunawan Trihantoro
Pelaku pencurian ayam berinisial T (37) tewas dikeroyok warga di Desa Rancamanggung, Kecamatan Tanjungsiang, Subang, Jawa Barat, Selasa (1/4/2025) malam sekitar pukul 23.30 WIB. [1]
Malam itu bersuara seperti gerimis yang jatuh di atas genting,
sepi, tapi berisik.
Lalu ada langkah-langkah tergesa,
bayangan yang merangkak di antara kandang ayam,
dan tangan-tangan yang menggapgap dalam kegelapan.
“Siapa?!” teriak seseorang dari dalam rumah.
Tapi maling itu sudah lari,
membawa dua ekor ayam yang terjaga,
kaki mereka diikat, paruh mereka ternganga.
Tapi desa ini bukan tempat untuk lari.
Desa ini punya mata di setiap pojok,
punya telinga di balik jendela,
punya pentungan dan bambu runcing
yang sudah lama tak dipakai.
-000-
Mereka kejar dia seperti kejar tikus yang masuk lumbung.
“Tangkap! Maling!”
Suara itu bergulung-gulung di jalan tanah,
menggulung lehernya seperti tali.
Dia lari,
ke kiri, ke kanan,
ke dalam selokan,
ke bawah jembatan.
Tapi desa ini terlalu sempit untuk dosa.
Sampai akhirnya dia terjatuh,
dan kerumunan itu datang:
“Ini dia! Hajar!”
-000-
Pentung pertama mengenai punggungnya.
Pentung kedua pecahkan kepalanya.
Pentung ketiga, keempat, kelima,
tidak ada yang berhenti menghitung.
Dia berteriak,
tapi suaranya tenggelam dalam dengus nafas massa.
Dia merangkak,
tapi kakinya patah seperti ranting kering.
“Bunuh saja! Maling!”
“Dia sudah maling sejak lama!”
“Kasihan? Dia tidak kasihan waktu mengambil ayam kita!”
Dan darahnya mengalir ke selokan,
bercampur dengan air kotor dan bulu ayam yang rontok.
-000-
Polisi datang ketika tubuhnya sudah dingin.
Delapan orang mereka tangkap,
bukan delapan pentung,
bukan delapan amarah,
tapi delapan nama yang kebetulan ada di tempat salah,
di waktu yang salah.
“Kami hanya warga,” kata mereka.
“Kami hanya membela hak.”
“Dia maling, Pak. Sudah sering.”
Tapi siapa yang menghitung ayam-ayam yang hilang
sebelum darah ini tumpah?
Siapa yang menimbang:
berapa nilai nyawa
untuk dua ekor ayam?
-000-
Kini kandang ayam itu kosong lagi.
Tidak ada yang berani mencuri,
tidak ada yang berani berteriak.
Hanya ada bau anyir yang menempel di tanah,
dan daftar nama delapan orang
yang harus menjawab di pengadilan.
Di sudut desa, seorang ibu menggumam:
“Dia memang maling, tapi anaknya masih kecil…”
Rumah Kayu Cepu, 4 April 2025
CATATAN KAKI:
[1] Puisi esai ini terinspirasi dari peristiwa penangkapan delapan warga Subang atas dugaan penganiayaan hingga tewas terhadap pencuri ayam,
https://lampung.tribunnews.com/2025/04/04/maling-ayam-di-subang-tewas-dikeroyok-warga-polisi-tangkap-8-orang?page=2 dan Polres Subang menangkap pelaku penganiayaan setelah viralnya video kejadian tersebut https://www.tintahijau.com/megapolitan/aniaya-maling-ayam-hingga-tewas-polres-subang-tangkap-8-orang-pelaku/