Rintih
Oleh : Ayumi
Aku pulang pada-Mu, ya Rabbi,
Tapi, bukan sebagai hamba yang suci,
Melainkan debu hina nan pekat.
Aku terlalu rendah dari sekadar pemaksiat.
Langkahku berat, bukan karena rentang,
Tapi, karena cela yang menggunung,
Bahkan bentala pun enggan menanggung.
Kau jadikan Ramadhan bagai derai hujan,
Membasuh dosa relung pelukan,
Tapi apakah aku layak disiram?
Sedang hatiku telah karam,
Kering, tandus, tak berirama.
Aku berpuasa, tapi akankah itu diterima?
Aku bersujud, tapi benarkah bumi tak muak menadahnya?
Lembayung pekat bersimbah cahaya,
Sedang aku hanyalah bayang lara,
Bersembunyi di balik gelap, takut menatap-Mu.
Tuturku serak, tangisku tak menderu,
Bahkan air mataku pun tak jatuh sebab malu,
Seakan ia tahu betapa hinanya aku di hadapan-Mu.
Jikalau Ramadhan ialah pintu yang Kau kuak,
Biarkan kumengetuknya walau dada kusesak.
Jika ampunan-Mu seluas segara,
Biarkan aku melebur di lekuknya,
Hingga aku tak lagi menemukan bayangku,
Melainkan hanya Engkau… hanya Engkau…
Ya Qayyumu…
Sunyi nan Bertasbih
Antariksa menggelar dalam semburat temaram,
Purnama tergelayut bak lentera kesabaran,
Samara malam sapa lirih,
Menyampaikan doa-doa yang mengalir tiada suara.
Setapak redup, langkah-langkah kecil bergegas,
Mengarungi mahligai suci yang mendambakan sujud.
Tiada riuh metropolis nan membahana,
Hanya lantunan ayat yang meluruhkan sedu.
Di meja sederhana, lengan-lengan menengadah,
Bukanlah karena mewahnya sajian nirwana,
Melainkan karena syukur yang tak terbendung,
Atas seteguk air, dan sebutir kurma,
Serta kasih dan sayang yang tak terkira.
Lapar ini tak sekadar lambung nan hampa,
Tetapi, jiwa yang belajar merunduk,
Menelusuri makna dalam kian detik yang berlalu,
Di sela silau fajar serta remang senja.
Lalu rembulan singgah dalam keagungan,
Membuka tirai langit dengan jutaan bintang.
Insan berdiri dalam rakaat tak bertepi,
Membiarkan jiwa tenggelam dalam takbir.
*Penulis adalah peserta kelas menulis Sigupai Mambaco dan ikut dalam tantangan menulis puisi ramadan. Penulis siswa MAN Inovasi Aceh Barat Daya