968 T dan Mencemburui Neraka
Aku melihat mereka dengan 968 T,
mereka tertawa,
sementara aku mengunyah kehampaan
Aku berpuasa, aku bersujud,
tapi cemburu ini lebih digdaya
Lebih panas dari dahaga.
Lebih pekat dari malam-malamku yang hampa doa.
Mereka mencuri, tapi tak dihukum.
Mereka menipu, tapi tetap suci
mereka menukar dosa dengan sedekah,
Sementara aku menahan diri,
perutku melilit, kerongkonganku kering,
dan hatiku membusuk dalam dengki
karena aku hanya menghitung receh di kantong lusuh
menakar iman yang semakin hambar.
Tuhan, katakan padaku,
Apakah surga hanya untuk mereka yang bisa membelinya,
dengan uang yang didapat semudah air liur?
Tuhan, mengapa mereka tetap tersenyum?
tertawa di meja-meja megah,
sementara aku menunggu magrib
dengan perut yang mengutuk langit?
Malam ini aku sujud lebih lama,
bukan untuk meminta ampun,
tapi untuk bertanya,
apakah aku boleh mencemburui neraka?
Montasik, 5 Ramadhan 1446
Puasa Tanpa Cahaya
Terhuyung dalam lapar dan haus,
Bersama matahari dan palu pemecah batu
Aku tahankan lapar ini, tapi aku kenyang oleh iri,
hausku bukan air, tapi dendam yang tak terpuaskan.
menghanguskan setiap ibadah,
menjadikannya abu tanpa cahaya.
Aku duduk merunduk di sajadah lusuh,
tapi hatiku penuh letusan keluh,
Tuhanku tetap terasa jauh,
lidahku hanya mengulang,
tanpa jiwa yang berserah.
Orang-orang bersujud, menangis dalam syukur,
aku bersujud, menangis dalam kehampaan.
Malam-malamku penuh doa,
tapi tak lebih gema kosong,
memantul di dinding langit yang tak jua terbuka.
Aku berpuasa, aku shalat, aku membaca firman-Nya,
tapi di dalam dadaku,
amarah masih menggeram, dengki masih berakar,
tak bisa menyelamatkan hati yang menolak tunduk.
Maka katakan padaku, Tuhanku
apakah puasaku ini suci,
ataukah hanya kelaparan, kepura-puraan?
Aku takut jawabannya sudah lama kutahu,
tapi tak pernah berani kuakui.
Montasik, 5 Ramadhan 1446
Lapar Itu Pahit
Lapar itu pahit, sepahit dengki
lebih dari perut yang merengek dalam diam.
Ia menggerogoti,
seperti api yang menyusup ke tulang,
dalam aliran darah,
tak memberi ruang untuk kedamaian.
Waktu melambat,
sujud menjadi pertanyaan
dan doa-doa menjadi ejekan.
Aku duduk di sudut yang dingin,
menghitung detik dengan perut yang berontak.
Tangan gemetar, mata nanar,
tapi tak bisa mengeluh.
Hati pun retak,
menggigil di tengah panasnya sunyi,
dan mulut hanya bisa mencium udara,
tak ada yang dapat kuambil,
hanya kelaparan yang mengisi.
Lapar ini sepahit dendam, cemooh dunia.
Iri ini membusukkan diri,
Lebih pahit dari dahaga, lebih pedih dari luka terbuka,
dan api kecil yang tak pernah padam
menempel di dinding-dinding dada,
menyisakan kehampaan yang tak bisa ditelan
Lapar ini
adalah tentang kehilangan harapan,
selain hampa yang mencekam.
lapar ini lebih dari sekadar rasa.
Ia adalah teman yang tak pernah pergi,
dalam keheningan yang mencekik.
Aku melihat mereka yang kenyang,
Aku tersenyum kecut, menelan air liur,
berpikir, mungkin besok juga masih begini.
Mungkin besok, pahit ini masih ada.
Montasik, 5 Ramadhan 1446