Dengarkan Artikel
Oleh: Faisal Ali Bahagia
Prodi Ekonomi Syariah, Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
Mengemis, sering kali memicu perdebatan tentang apakah aktivitas ini merupakan profesi atau hanya cerminan kondisi yang memaksa atau terpaksa mengemis. Dalam banyak kasus, mengemis adalah hasil dari keadaan sulit seperti kemiskinan ekstrem, kehilangan pekerjaan, kurangnya pendidikan, atau keterbatasan fisik. Kondisi ini membuat seseorang terpaksa meminta-minta demi bertahan hidup.
Dalam konteks seperti ini, mengemis bukanlah pilihan, melainkan refleksi dari kegagalan sistem sosial dalam menyediakan jaring pengaman yang memadai. Di Aceh, dengan nilai-nilai syariah yang kuat, kewajiban membantu kaum dhuafa melalui zakat, infak, dan sedekah menjadi solusi ideal untuk mengurangi fenomena ini. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa ada pula individu yang menjadikan mengemis sebagai aktivitas berulang atau bahkan profesi.
Beberapa orang sengaja memilih untuk mengemis, karena melihatnya sebagai cara mudah untuk mendapatkan uang tanpa harus bekerja keras. Hal ini terkadang melibatkan sindikat yang memperkerjakan pengemis secara terorganisir, sehingga menciptakan tantangan moral dan sosial.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk bersikap bijak, dengan memberikan bantuan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan sambil mendorong upaya pemberdayaan ekonomi, seperti pelatihan keterampilan atau modal usaha mikro. Selain itu, pengawasan dan penegakan hukum yang tegas diperlukan untuk mencegah eksploitasi. Dengan pendekatan yang seimbang, fenomena mengemis dapat ditangani secara lebih manusiawi sekaligus mendorong kemandirian.
Ada juga fenomena saat ini pengemis yang berinovasi dalam mendapatkan pendapatan dengan menjual rasa iba dengan produk seperti “jambu biji” yang tidak memiliki kejelasan harga adalah sebuah fenomena yang terjadi saat ini di kota Banda Aceh. Pada satu sisi, pendekatan ini tampak seperti memanfaatkan empati konsumen sebagai daya tarik utama.
“Rasa iiba” di sini mungkin merujuk pada kisah emosional yang dikaitkan dengan produk tersebut. Hal ini terjadi beberapa tempat yang diobservasi, seperti warkop area Darussalam dan simpang lampu merah yang ada di kota Banda Aceh.
Seperti yang terjadi pada seorang anak yang berumur 9-14 tahun yang berjualan jambi biji di area tertentu, pada saat jualan anak tersebut tidak menyebutkan harganya. Sehingga setiap pembelimempunyai harga yang relatif berbeda. Ini adalah strategi yang sering digunakan untuk menumbuhkan rasa iba dan dukungan konsumen.
📚 Artikel Terkait
Fenomena pengemis yang menjual “rasa hiba” dengan menawarkan produk seperti jambu biji, tanpa kejelasan harga mengundang banyak pertanyaan menarik, baik dari sisi sosial maupun etis. Dalam konteks ini, “jualan” yang dilakukan bukan sekadar menjajakan barang, tetapi lebih banyak bermain pada emosi orang yang melintas rasa iba terhadap mereka yang terlihat membutuhkan.
Di satu sisi, langkah ini bisa dianggap sebagai bentuk kreatif dalam mencari rezeki. Dibandingkan hanya meminta-minta tanpa memberi imbalan apa pun, menawarkan barang, meskipun kecil seperti jambu biji menunjukkan usaha untuk memberi nilai tukar, meskipun harganya sering kali diabaikan oleh pembeli,karena didorong rasa iba. Model ini juga bisa dilihat sebagai upaya “pengemis modern” untuk tetap mempertahankan martabat mereka di tengah sulitnya kehidupan.
Namun, tanpa kejelasan harga, ada potensi manipulasi emosi. Rasa iba yang dibangun dapat dianggap sebagai cara eksploitasi psikologis. Apalagi jika barang yang dijual hanya menjadi simbolis, bukan nilai utama dari transaksi itu sendiri. Situasi ini memicu dilema: apakah kita benar-benar membantu atau justru mendukung budaya yang tidak transparan?
Jika dilihat dari sudut pandang sosial, penting bagi masyarakat untuk mendukung solusi yang lebih berkelanjutan, seperti pemberdayaan ekonomi dan edukasi, daripada hanya memberikan bantuan instan yang mungkin tidak menyelesaikan akar permasalahan. Memberi sedekah tentu baik, tapi memastikan bahwa bantuan tersebut memiliki dampak positif jangka panjang adalah tanggung jawab bersama.
Sebagai refleksi, pengemis dengan pendekatan ini seakan mengaburkan garis antara bekerja dan meminta-minta.
Masyarakat, sebagai bagian dari sistem sosial, perlu memikirkan cara agar bantuan yang diberikan lebih memberdayakan, bukan hanya mengobati rasa iba sesaat.
Pemerintah memiliki peran penting dalam menangani fenomena pengemis yang menjual “rasa iba” dengan menawarkan produk simbolis seperti jambu biji, tanpa kejelasan harga. Langkah pertama yang perlu diambil adalah memberdayakan kelompok rentan melalui program pelatihan keterampilan dan bantuan modal usaha mikro.
Dengan memberikan peluang untuk berwirausaha, mereka dapat beralih dari meminta-minta menjadi pelaku ekonomi yang lebih mandiri. Selain itu, pemerintah juga harus mengatur dan mengawasi aktivitas pengemis melalui regulasi yang jelas, termasuk mencegah eksploitasi oleh pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan mereka untuk keuntungan pribadi.
Tidak kalah penting, bantuan sosial yang tepat sasaran harus terus diperkuat, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) atau penyediaan rumah singgah yang tidak hanya memberikan tempat tinggal sementara, tetapi juga pembinaan dan dukungan psikologis. Di sisi lain, edukasi masyarakat juga menjadi kunci agar mereka lebih memilih mendukung program pemberdayaan dibandingkan sekadar memberikan uang kepada pengemis.
Melalui kampanye sosial dan kerja sama dengan lembaga swasta, serta organisasi non-pemerintah, pemerintah dapat menciptakan pendekatan terpadu untuk mengatasi masalah ini. Dengan langkah-langkah tersebut, fenomena ini tidak hanya dapat diminimalkan, tetapi juga dapat membuka jalan bagi kehidupan yang lebih bermartabat bagi para pengemis
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini


















