Oleh: Khairiah*
Setiap warga negara berhak berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik, begitu juga dengan kelompok rentan sebagai bagian dari warga negara Indonesia. Mereka harus turut berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik dan menjadi bagian penting untuk mengukur sukses tidaknya Pemilu. Kelompok rentan yang dimaksud meliputi penyandang disabilitas, kelompok masyarakat adat, pemilih perempuan, pengungsi, tahanan narapidana di lembaga pemasyarakatan maupun di rumah-rumah tahanan, hingga pasien-pasien yang berada di rumah sakit.
Namun, seringkali kelompok rentan merasa apatis terhadap proses demokrasi karena menjelang pesta demokrasi mereka sering dijadikan objek politik para elite politik untuk mendapatkan dukungan. Namun, setelah pesta demokrasi berakhir dan dukungan diberikan, para elite politik seolah lupa janji yang mereka berikan. Adapun janji yang sering digaungkan adalah pelayanan publik yang lebih baik bagi kelompok rentan seperti penyandang disabilitas. Kenyataannya dari masa ke masa, kelompok rentan ini masih mengalami hal serupa, yaitu fasilitas dan akses yang terbatas. Keluh kesah mereka tidak benar-benar ditindaklanjuti dan persoalan yang mereka hadapi masih sama seperti sebelumnya.
Dengan adanya pesta demokrasi 2024 diharapkan bisa mengubah sikap apatis yang ada. Momen ini adalah kesempatan bagi setiap warga Indonesia menjadi lebih positif dengan menyuarakan apa yang dirasakan dan memperjuangkan apa yang menjadi hak. Salah satunya akses yang mudah dan nyaman bagi penyandang disabilitas.
Pemerintah telah mengatur undang-undang terkait perlindungan hak politik terhadap kelompok rentan untuk ikut serta dalam menyalurkan hak politik melalui proses Pemilu, di antaranya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, serta lebih eksplisit lagi telah ditegaskan dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28dD ayat (3), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Demikian halnya dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Penyandang Disabilitas. Peraturan hukum tersebut menunjukan bahwa pemerintah telah memberikan perhatian serius dalam melindungi dan menjamin hak politik bagi seluruh warga negara Indonesia.
Penyandang Disabilitas
Seringkali kelompok rentan ini mendapatkan perlakuan yang tidak adil, karena kekurangan mereka, terutama bagi penyandang disabilitas. Mereka selalu memiliki permasalahan yang sama ketika pesta demokrasi berlangsung. Ironinya, Pemilu yang katanya dilangsungkan untuk memperjuangkan kepentingan orang banyak, nyatanya acap melupakan kebutuhan disabilitas.
Penyandang disabilitas sebagai warga negara Indonesia memiliki hak untuk berpartisipasi aktif dalam politik. Pemilih penyandang disabilitas memiliki peran penting dalam menentukan sukses tidaknya pelaksanaan Pemilu. Secara regulasi, hak untuk memilih dan dipilih bagi penyandang disabilitas perlu diakomodasi secara keseluruhan. Namun, landasan regulasi selama ini jelas tidak sejalan dengan aspek teknis pelaksanaannya.
Tiga prinsip utama agar penyandang disabilitas mau terlibat secara aktif dalam Pemilu, yaitu partisipasi, sikap tidak diskriminatif, dan aksesibilitas harus ditegakkan. Kendala-kendala yang dihadapi dari tahun ke tahun biasanya: tidak terdaftar dalam DPT, surat suara yang tidak ada huruf braile dan akses tempat pemungutan suara (TPS) yang tidak ramah disabilitas, edukasi pemilih tidak inklusi penyandang disabilitas, petugas tidak ramah disabilitas, kampanye tidak ramah disabilitas, kebingungan terhadap terminologi, referensi pemilihan tidak ramah disabilitas, diskriminasi dan penelantaran.
Data Penyandang Disabilitas
Pendataan untuk pemilih penyandang disabilitas dalam pemilihan umum sering menghadapi kendala. Misalnya, kondisi dari kebanyakan kelompok penyandang disabilitas yang hidup berpindah untuk bekerja dan tidak menetap di alamat yang tercantum dalam kartu tanda penduduk, atau keluarga yang menyembunyikan penyandang disabilitas karena malu dan sebagainya, membuat hak pilih kelompok penyandang disabilitas menjadi tidak terpenuhi.
Minimnya Referensi Pemilihan
Salah satu masalah yang dihadapi disabilitas menjelang Pemilu adalah referensi pemilihan. Sebagian besar penyandang disabilitas tidak memiliki referensi tentang pilihan yang tepat untuk mereka. Berbagai ragam model kampanye yang digunakan oleh para kandidat pemilu tidak banyak membantu disabilitas mengenal calon-calon yang akan dipilih.
Konsekuensinya, tidak ada gambaran bagaimana visi misi yang diusung dari para kandidat Pemilu di tim kampanye yang mempunyai tugas mengenalkan calon-calon dan visi misi yang diusung mereka, sehingga media kampanye yang mereka gunakan tidak dipahami oleh pemilih disabilitas. Mewujudkan model kampanye yang bisa diakses oleh seluruh kalangan menjadi penting karena ketika semua elemen mengetahui visi misi dan latar belakang dari calon akan membawa perubahan keyakinan untuk memilih saat pemilu.
Penyelenggara Pemilu perlu melakukan sosialisasi bagi penyandang disabilitas mental tidak hanya di hari H pemilu, tetapi harus ada simulasi yang dilakukan beberapa hari sebelumnya hingga mereka terbiasa melakukannya.
Aksesibilitas
Tidak ada TPS khusus penyandang disabilitas karena domisili mereka yang tersebar. TPS yang ada diharapkan ramah disabilitas, jangan di perbukitan, atau berada di lantai dua, jangan melewati parit, tempat yang berkerikil, ataupun berumput. Kotak suara harus terjangkau oleh pengguna kursi roda, harus ada Braille Template untuk tunanetra, dan juga harus ada informasi berupa teks untuk tunarungu, dan jangan lupa juga petugas KPPS harus diedukasi tentang bagaimana cara membantu teman-teman yang datang ke lokasi TPS (aksesibilitas sikap). Untuk teman-teman disabilitas mental dan tunagrahita harus mendapatkan pelayanan yang sama seperti juga para pemberi suara lainnya. Dalam DPT harus juga tertera ragam disabilitas, jadi kepala desa diharapkan bisa mendata teman-teman disabilitas agar mereka bisa menikmati pesta demokrasi.
Pada Pemilu tahun 2019, berdasarkan data dari Kompas, 19 Maret 2019, terdapat 1.247.730 pemilih penyandang disabilitas yang terdiri atas tunadaksa 83.182, tunetra sebanyak 166.364, tunarungu 249.546, dan tunagrahita 332.728 serta disabilitas yang masuk kategori lainnya sebanyak 415.910.
Di Aceh sendiri berdasarkan data yang dilansir KIP Aceh pada 2017, jumlah pemilih disabilitas di Aceh adalah 7.138 orang. Mereka terdiri atas tunanetra 1.044 pemilih, tunadaksa 2.561 pemilih, tunarungu 1.208 pemilih, tunagrahita 1.609 pemilih, dan disabilitas lainnya 716 pemilih. Pemilih berkebutuhan khusus ini tersebar di seluruh Aceh.
Satu suara sangat berharga untuk menentukan masa depan bangsa kita ke depannya, bayangkan jika harus kehilangan 1.247.730 suara, yaitu suara disabilitas serta suara kelompok rentan lainnya karena kendala yang mereka hadapi ketika proses pemilu, membuat mereka enggan berpartisipasi. Jikapun kelompok rentan berpartisipasi dalam pemilu, suara mereka bisa disalahgunakan, timbul kecurangan apabila pendamping pemilih tidak amanah, atau memaksakan pilihan mereka pada kelompok rentan, terutama bagi penyandang disabilitas mental. Ini merupakan permasalahan yang serius dan harus menjadi perhatian.
Jika ingin Pemilu 2024 menjadi pesta demokrasi terbesar bagi rakyat Indonesia, negara dan penyelenggara pemilu harus memastikan dan memaksimalkan potensi yang ada. Mulai dari regulasi, hingga implementasi teknis yang memungkinkan kelompok rentan menggunakan hak pilihnya.
Pengambilan kebijakan terkait penyandang disabilitas perlu melibatkan perwakilan langsung, agar solusi yang diambil bisa dimanfaatkan secara maksimal. Semoga ke depannya para kelompok rentan terutama disabilitas, mendapat fasilitas inklusif, mudah diakses dan terus menerus diterapkan atau berkelanjutan.[]