Oleh Ahmad Rizali
Berdomisili di Depok
Pleasure itu ujar kamus adalah rasa senang dan puas. Jadi Reading for Pleasure itu adalah membaca sesuatu yang berakhir dengan rasa senang dan puas.
Jadi, bisa dibayangkanlah bagaimana rasa senang dan puasnya generasi muda jaman suheng saya cak Satria Dharma ketika khatam membaca karya EA yang ketika membacanya wajah memerah dan badan panas dingin. Untunglah es teh manis mampu mendinginkan perasaan dan otak mereka.
Demikian juga saat kami sedang kecanduan berkelana di dunia kangouw, ribuan halaman kami baca dengan rasa senang dan puas ketika seakan akan menjadi Kwee Ceng, atau Yo Ko atau Suma Han Super Sakti atau bahkan menjadi Bu Pun Su Lu Kwan Cu. Atau menyeberang membaca cergam dan menjadi Asterix, koboi Lucky Luke, pilot Tanguy, wartawan Tin Tin atau malah pendekar Panji Tengkorak, Barda Si Buta dari Goa Hantu. Atau menjadi Agung Sedayu atau Mahesa Jenar bahkan Kyai Gringsing.
Kisah kisah kepahlawanan itu, baik fakta sejarah atau rekaan (fiksi), eks Impor atau ciptaan lokal, mendera para pembaca pemula menjadi pembaca yang keranjingan. Di situlah bibit “Reading for Pleasure” itu disemaikan dan bertumbuh kembang. Jadi, tidak usah heran jika umumnya pencinta baca (Readers for Pleasure) adalah para pembaca Cersil sejenis itu.
Fakta saat ini, 53 % murid SMP kelas 2, mampu membaca, namun tak faham akan makna. Artinya, seperti hanya mereka yang berharap mendapat pahala besar yang mau membaca kitab suci berulang kali tanpa faham artinya. Lantas, ketika dalam bahasa Indonesia dan tak faham artinya akan diharapkan menjadi Readers for Pleasure ?
Saya tak faham, mengapa hingga saat ini, bacaan yang sangat disukai para pemula seperti cergam dan cersil masih banyak yang tabu masuk rak perpustakaan sekolah. Saya menjadi saksi bahwa beberapa sekolah berbasis agama melarang muridnya membaca komik cerita wayang karena akan mengganggu keimanan mereka.
Membaca itu selain ada tekniknya sejak mengenal simbol huruf, juga memerlukan pelatihan. Sama dengan mendaki gunung. Ketika tanpa aba aba langsung diajak mendaki gunung seharian, responnya mayoritas akan membenci mendaki gunung, meski sisanya kecanduan. Demikian pula dengan membaca.
Saya skeptik pelatihan membaca untuk menikmati akan terjadi jika tidak dilaksanakan pembacaan terus menerus, dan menemukan kebahagiaan dan kepuasan akan terjadi. Alih alih puas, para pembaca ini akan merasa pusing dan membuang buang waktu, karena mirip otot juga, otak akan “kram” jika dipaksa membaca padahal tidak memiliki “passion” dan tidak terlatih.