Oleh :Hasbi Yusuf
Ketika masa kecil, kami tinggal bersama orang tua di sebuah desa yang agak jauh dari keramaian kota. Kehidupan di desa saat itu sungguh menyenangkan. Suasana kehidupan masyarakat sangatlah akrab, antara satu warga dengan warga yang lainnya terasa seperti bersaudara. Hampir semua kegiatan besar dilakukan bersama-sama secara gotong royong. Gotong royong merupakan energi dan potensi terbesar yang dimiliki masyarakat desa, tidak terkecuali dalam menyambut dan mengisi kegiatan bulan Ramadan.
Sebulan sebelum masuk bulan Ramadan, Peutuwa Meunasah (imam Meunasah) bersama tokoh masyarakat mengadakan rapat menyambut bulan suci Ramadan. Rapat ini dilaksanakan untuk memastikan segala sesuatu yang berkaitan dengan persiapan kegiatan desa dalam menyambut dan mengisi kegiatan bulan Ramadan. Agenda rapat biasanya terkait penujukan personil kegiatan, petugas masak ie bu lada, petugas kebersihan dan cuci piring, dengan termasuk pembahasan tentang penentuan besar insentif yang perlu diberikan kepada petugas tertentu. Di samping itu seperti desa-desa lain juga dilakukan pembahasan penunjukan imam shalat, muazzin, penceramah dan dst.
Agenda rapat yang tergolong penting dan menarik adalah menyangkut metoda penentuan jadwal giliran penyediaan bahan berbuka puasa yang disumbangkan secara suka rela oleh masing-masing keluarga untuk berbuka puasa bersama di meunasah pada setiap magrib di bulan Ramadan. Adapun metode itu sudah diterapkan atau berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya (sejak tahun 60-an) atas inisiatif seorang teungku Peutua Meunasah yang sangat kharismatik bagi kami. Sebelum tahun 60-an belum ada pengaturan jadwal giliran menyumbang bahan bukaan ke meunasah.
Dari pengalaman sering terjadi persamaan waktu dari sejumlah keluarga mengantarkan bahan berbuka puasa, sehingga pada hari tersebut jumlah makanan terlalu banyak, sehingga menjadi mubazir, sementara pada hari yang lain mungkin tidak ada satupun warga yang mengantarkan makanan, sehingga tidak ada bahan berbuka, kecuali iebu lada saja yang setiap hari dimasak di meunasah oleh petugas.
Dari pengalaman bertahun-tahun pula, maka atas ide Peutuwa Meunasah (Imum Meunasah), dengan tujuan agar semua penduduk, terutama kaum bapak selalu dapat salat magrib, isya dan Taraweh/ Witir di Meunasah, maka saat itu dibuatlah rapat khusus untuk pengaturan sumbangan bahan berbuka puasa dari masyarakat dan berbagai kegiatan lain dalam bulan Ramadan.
Adapun agenda rapat biasanya sebagai berikut: Pemimpin rapat (peutuwa meunasah) menawarkan kepada peserta rapat, kira-kira sebagai berikut. “Apakah masyarakat setuju jika diatur saja waktu untuk menyumbangkan bahan bukaan dijadwalkan saja agar tertib dan tidak mubazir pada hari-hari tertentu, tetapi tidak ada sama sekali pada hari-hari yang lain, dan demi kemaslalatan semua pihak. Begitu sekilas tercetus ide terjadwalnya waktu untuk menyumbang bahan bukaan bagi masyarakat.
Sedangkan tahun-tahun berikutnya agenda rapat yaitu pertama adalah Peutuwa Meunasah menanyakan kepada peserta rapat yaitu : “Apakah kita masih tetap melaksanakan buka puasa bersama setiap sore di meunasah? “. Jika jawabannya ” ya “, maka dilanjutkan dengan pertanyaan ke dua yaitu, “siapa saja yang ada rencana menyumbangkan bahan berbuka agar dapat segera mendaftar pada petugas pencatat sesuai dengan kategori kesanggupan”. Untuk memberikan kesempatan dan keringanan bagi semua lapisan masyarakat, maka diatur pula pola dan kriteria pemberian sumbangan bahan berbuka, sehingga hampir seluruh strata masyarakat dapat ikut serta berpartisipasi dalam memberikan sumbangan bahan berbuka bagi sekitar 150 hingga 200 orang yang berbuka puasa di meunasah tanpa terasa berat bagi penyumbang meski bagi orang dengan kemampuan ekonomi sangat sederhana. Adapun pola yang diterapkan adalah dengan perincian yaitu:
1. 1 KK/ hari;
2. 2 KK/ hari;
3. 3 KK/ hari, dan seterusnya sesuai keadaan kemampuan penyumbang dan kebutuhan ril setiap hari.
Langkah selanjutnya petugas memverifikasi dan mengatur kelompok penyumbang bahan ber buka puasa agar terpenuhi sebulan penuh dengan berbuka puasa bersama setiap hari di Meunasah. Jika jumlah penyumbang masih kurang dari kebutuhan, maka pemimpin rapat mengobral lagi kesempatan kepada peserta rapat yang ingin menyumbang 2 kali atau lebih. Sedangkan jika jumlah penyumbang lebih banyak dari jadwal berbuka, maka akan disisipkan dimana kelompok yang agak kurang kemampuan finansialnya.
Dalam penentuan jadwal giliran mengantarkan bukaan, panitia memberikan kemudahan dan kesempatan secara musyawarah bagi keluarga yang harus segera berangkat karena tinggal di perantauan dengan memperhitungkan tingkat urgensinya. Dari pengalaman berpuluh-puluh tahun, alhamdulillah kegiatan ini berlangsung turun-temurun secara berkesinambungan hingga Ramadan ini. Kita berharap semoga juga akan terus dapat berlangsung ke depannya.
Adapun kegiatan persiapan yang telah menjadi agenda rutin setiap tiba bulan Ramadan ini lebih kurang, yaitu : persiapan kebutuhan bulan Ramadan, seperti mempersiapkan dapur tempat memasak iebu lada, ketersediaan kuali dan perlengkapan lainnya, seperti piring nasi, gelas, ramuan ie bu lada (rempah-rempah dan dedaunan berkhasiat sekitar 44 jenis) untuk keperluan satu bulan dan juga kayu bakar untuk memasak ie bu lada.
Sejak hari pertama bulan Ramadan petugas memasak ie bu lada dalam kuali besar untuk kebutuhan seluruh masyarakat yang berbuka puasa baik di rumah-rumah maupun orang yang berbuka puasa di meunasah.
Jumlah warga yang berbuka di Meunasah setiap hari berkisar antara 100 hingga 150 orang, yang terdiri dari seluruh orang laki-laki mulai dari anak-anak, remaja, pemuda hingga orang dewasa.
Bahan berbuka puasa di Meunasah desa kami yang disediakan secara rutin oleh petugas adalah iebu lada, namun sekali-sekali ada bubur kanji, tergantung sumbangan warga yang punya kemudahan dan bersifat lkhlas dan spontan.
Sementara bahan bukaan yang disumbangkan oleh warga yaitu minimal terdiri dari sejumlah kue-kue, nasi/ lauk-pauk, kopi/ teh untuk kebutuhan sekitar 150 hingga 200 orang yang berbuka puasa.
Yang unik dan sangat ditunggu-tunggu oleh warga adalah ketika tiba giliran sumbangan bukaan dari keluarga yang ada lintô barô. Istilah nya adalah “Lintô Barô berbuka puasa phôn”. Pada giliran lintô barô berbuka puasa untuk kali pertama (phôn) itu biasanya menu makanan dan minuman jauh lebih mewah dari hari-hari biasa.
Selain yang kita uraikan di atas, biasanya Lintô Barô juga ada menyerahkan tebu sekitar 20 hingga 30 batang. Namun akhir-akhir ini karena sudah langka dan susah mengantarkan tebu ke meunasah, maka diganti dengan minuman lain seperti Fanta/Coca-Cola (sebelumnya Limun). Begitu juga dengan menu makanan dan minuman jauh lebih mewah dari hari-hari biasa.
Di samping itu ada juga tradisi pada hari Lintô Barô berbuka puasa yaitu membagi-bagikan rokok kepada warga yang membutuhkan secara gratis sambil beramah-tamah dengan seluruh warga yang hadir, sehingga terjadi keakraban dan kesetaraan dengan seluruh warga semuanya. Namun untuk saat ini disebabkan satu dan lain hal, kegiatan bagi-bagi rokok oleh Linto Baro sudah tidak popular lagi dan sudah ditinggalkan sejak beberapa tahun ini.
Kalau zaman dulu ada lagi adat lainnya, yaitu Lintô Barô menyumbangkan minyak lampu & premium sekitar 1 atau 2 jerigen ukuran 20 liter (tergantung keadaan ekonomi lintô) kepada para pemuda untuk kepentingan pasang meriam Bambu (Töt Beudé Trieng). Tegasnya, setiap Lintô Barô yang menikah di desa kami, baik yang berasal dari gampông itu atau orang dari luar gampông, melaksanakan kegiatan di Bulan Ramadhan yang telah menjadi kebiasaan dan telah mentradisi tersebut.
Jadi sebelum masuk bulan Ramadhan para Lintô Barô sudah harus mempersiapkan diri dan dana yang memadai untuk kegiatan yang telah kami uraikan di atas, jika tidak ingin yang bersangkutan, lebih-lebih pihak keluarga Dara Barô menjadi hilang harga diri di tengah-tengah masyarakat.
Kegiatan rutin lainnya sebagai mana gampông-gampông lainnya adalah menunaikan zakat fitrah di akhir Bulan Ramadan. Mungkin yang sedikit berbeda dengan gampông lain adalah ketika membayar zakat fitrah maka warga desa kami atas keputusan rapat sebelum ramadhan, ada kewajiban yang dianjurkan karena telah disepakati melalui rapat, untuk meyisipkan tambahan beras sebanyak 2 bambu untuk segala keperluan memasak iebu lada setiap hari dalam bulan Ramadhan.
Demikian sekelumit uraian tentang agenda kegiatan rutin desa kami pada setiap bulan Ramadhan setiap tahunnya yang telah terprogram dan berlangsung sejak sekitar tahun 1960-an, dan alhamdulillah masih diterapkan hingga Ramadhan ini, dengan motto Ramadhan gampông kami:
” Jika Anda lelaki, berbuka puasalah bersama masyarakat gampông di Meunasah dan shalat pardhu serta Taraweh berjamaah “.
Catatan:
• Jika kebetulan ada pembaca yang berasal dari desa kami, dimohon mengoreksi seandainya ada data dan informasi yang keliru.
• Jika berkenan, dengan segala hormat kami mohon untuk disimpulkan tulisan ini seandainya ada yang bersifat unik !
• Kepada para pembaca kami mohon memberi tanggapan setelah membaca tulisan ini, apakah ada persamaan ataupun perbedaan dalam mempersiapkan dan mengisi kegiatan Ramadhan di masing-masing gampông kita ?
• Selanjutnya dengan hormat juga kami menunggu tulisan tentang keunikan dalam mengisi kegiatan Ramadhan desa Saudara.