Dengarkan Artikel
NYANYIAN TERAKHIR CENDRAWASIH
Oleh Ilham Sulaiman
“Tanah ini bukan milik kami saja, ini milik roh-roh yang kau injak dengan sepatu besi itu.”
Suara Yoram pecah seperti petir di atas laut tenang. Ia berdiri di tengah tanah keramat kampung Sauwandarek, dengan dada telanjang, kulit menghitam karena matahari, dan tatapan yang menyala dari luka masa lalu. Di hadapannya, para petugas berseragam tampak kikuk—ada yang menatap tanah, ada yang pura-pura membuka peta. Di belakang mereka, tercium bau solar dan cat kapal, menyeruak di antara aroma pandan dan garam.
“Hutan itu bukan ladang uang. Laut itu bukan tambang. Dan Bukit Aingge bukan bukit biasa,itu dada bumi tempat nenek moyang kami meletakkan doa.”
Seorang pria memakai helm proyek berwarna kuning berlogo pemerintah mendekat dan menempuk nepuk pundak Yoram.
“Bapak Yoram… Kami datang bukan untuk merampas, melainkan untuk mengajak. Ini untuk pembangunan. Untuk energi masa depan. Nikel dari Raja Ampat akan menyelamatkan dunia dari krisis iklim. Ini… investasi hijau.”
Yoram menatapnya lama. Matanya, yang pernah memandu turis menyelam di Palau Arborek, kini seperti kawah gunung yang menyimpan bara.
“Kau menyebut hijau,” gumamnya, “tapi apakah kau tahu warna langit saat burung cendrawasih terakhir melompat dari dahan itu?”
Pria itu terdiam.
Yoram menunjuk bukit di kejauhan, Aingge, tempat para leluhur dikuburkan dengan upacara tifa dan nyanyian. “Di sanalah cendrawasih menari. Sekarang kalian ingin menggali jantungnya, demi pabrik mobil listrik yang bahkan tak tahu di mana Raja Ampat berada.”
Ia menoleh pada warga kampung yang berdiri di belakangnya—para lelaki tua, ibu-ibu dengan anak di gendongan, pemuda-pemuda yang baru belajar membaca dokumen hukum, dan anak-anak yang belum tahu bahwa tanah tempat mereka bermain sebentar lagi akan jadi jalan tambang.
Tak ada suara.
Yoram menunduk, lalu berkata pelan, “Kalau kalian tetap menggali, jangan salahkan jika kami menggali tubuh kami sendiri untuk mengubur nama kalian di dalamnya.”
—
Dua malam setelah itu, rumah Yoram terbakar.
Api menjalar dari dapur hingga atap, menjilat kayu sagu yang sudah rapuh. Di antara suara kobaran, terdengar tangisan istrinya, Nore, yang terseret keluar rumah dengan lengan terbakar. Anaknya, Davin, berhasil keluar lebih dulu dan lari ke semak belukar. Yoram sendiri menahan luka di lengan kanan, sambil memandangi lidah-lidah api menari seperti setan menertawakan adat.
Tetua adat datang terlambat. Polisi lebih cepat. Tapi bukan untuk menyelidiki kebakaran.
Yoram ditangkap karena dituduh “memprovokasi warga” dan “menghambat pembangunan nasional.”
Ia dijebloskan ke tahanan kecil di Sorong, tanpa surat, tanpa pengacara. Di balik terali besi, ia menyaksikan berita di TV:
“Warga Raja Ampat Dukung Proyek Tambang Nikel Demi Masa Depan Energi Hijau”
Di layar, seorang pejabat berbicara:
“Kami sudah melakukan sosialisasi. Masyarakat adat menyambut dengan antusias. Ini bukan eksploitasi, ini kolaborasi.”
Yoram tersenyum tipis. Di dalam dada, perihnya lebih dalam daripada luka bakar di lengan.

“Burung cendrawasih,” gumamnya, “kau masih bisa bernyanyi?”
Tapi pagi itu, langit terlalu sunyi.
Sebelum semuanya menjadi sunyi, Yoram adalah penjaga harmoni.
Ia tumbuh di kampung kecil yang terletak di antara karang raksasa dan gugusan pulau seperti serpih surga yang dijatuhkan Tuhan ke lautan Pasifik. Laut di sini tak hanya biru—ia berlapis warna, dari biru susu sampai hijau zamrud. Ikan-ikan kecil berenang seperti huruf-huruf rahasia. Karang tumbuh seperti lukisan yang tak pernah selesai. Dan di atas sana, langit begitu jernih hingga awan pun tampak malu-malu.
Bagi orang kota, tempat ini adalah destinasi. Bagi Yoram, tempat ini adalah tubuhnya sendiri.
Ia mengenal tiap lengkung karang, tiap suara ombak. Ia tahu di mana bayi pari akan menetas, di mana kuda laut bermain, dan di mana suara cendrawasih menggema paling jernih setiap fajar.
Hari-hari Yoramiha menghabiskan sebagai penyelam dan pemandu wisata. Ia menyambut tamu dari jauh dengan bahasa patah-patah yang ia pelajari dari turis Australia. Tapi dalam tubuhnya mengalir bahasa yang lebih tua—bahasa air, bahasa tanah, bahasa roh.
Ia membawa tamu ke spot rahasia, tempat hiu berjalan bersembunyi. Di sanalah mereka bisa menyaksikan alam berdoa tanpa suara.
Dan setiap kali cendrawasih menari, Yoram merasa dirinya kecil—seperti titik pada kulit langit.
Tapi keharmonisan tak pernah bertahan lama jika kekuasaan mencium bau emas.
📚 Artikel Terkait
Awalnya, kabar datang sebagai bisik.
“Katanya pemerintah akan buka tambang.”
“Katanya nikel di sini banyak. Lebih murni dari di Sulawesi.”
“Katanya ada investor besar dari luar negeri.”
Yoram tidak segera percaya. Tapi kemudian, kapal-kapal besar mulai bersandar diam-diam. Di dermaga yang biasanya hanya disinggahi perahu kayu nelayan, kini ada logam dingin dan pria-pria bersepatu tinggi.
Surat-surat datang menyusul: peta wilayah, izin pelepasan, dokumen pelelangan tanah.
Beberapa kepala kampung menandatangani, entah karena iming-iming proyek air bersih, entah karena tekanan dari atasan kabupaten.
Beberapa lainnya diam karena takut.
Yoram adalah satu dari sedikit yang menolak.
Ia pergi dari rumah ke rumah, membujuk warga agar tidak menjual tanah. Ia mengingatkan tentang sumpah leluhur, tentang darah yang mengikat manusia dengan hutan dan laut.
Tapi tak semua mau mendengar.
“Kalau kau terus menentang, anak-anak kita tetap akan hidup susah,” kata seorang tetua yang dulu bersamanya menabuh tifa.
“Kita perlu sekolah, rumah sakit, jaringan internet. Itu semua butuh uang,” kata seorang pemuda yang dulu diajari menyelam oleh Yoram.
Ironi paling pahit datang dari dalam.
Saudara sepupu Yoram sendiri, yang kini menjabat sebagai staf di kantor distrik, berkata:
“Om Yoram, dunia sudah berubah. Kalau kita tidak ikut arus, kita akan ditinggal.”
Yoram menjawab pelan, “Kalau arus membawa kita ke jurang, untuk apa ikut?”
Tapi jawaban seperti itu kini terdengar seperti suara tua dari zaman yang tak lagi dianggap penting.
Di waktu yang bersamaan, laut mulai berubah.
Air menjadi keruh. Ikan-ikan kecil menghilang dari kawasan yang dulunya ramai. Tumpukan sampah muncul entah dari mana. Dan lebih menyakitkan lagi—burung cendrawasih tak lagi datang setiap pagi.
Yoram tahu, perubahan bukan hanya soal alam yang rusak. Retakan juga mulai menjalar di tubuh masyarakat sendiri. Sesama warga kampung saling curiga. Ada yang diam karena disogok. Ada yang bicara tapi tak didengar. Dan ada pula yang hanya ingin hidup tenang, tanpa memilih pihak.
“Ini bukan hanya soal tambang,” bisik Yoram pada istrinya, Nore.
“Ini soal kehilangan jiwa. Jiwa tanah ini. Jiwa kita semua.”
Nore hanya menatap jauh ke laut yang kelabu. Di matanya, samar-samar mengambang gambar masa depan: kampung yang hilang, laut yang bisu, dan anak-anak yang tak pernah tahu bagaimana suara cendrawasih terdengar
Ketika fajar belum sempat menyentuh permukaan laut, Yoram sudah dibawa pergi.
Tanpa surat. Tanpa penjelasan. Tanpa pengadilan.
Ia dilemparkan ke dalam mobil bak tertutup, seperti benda tak bernilai. Di sepanjang jalan menuju kota, ia hanya melihat pohon-pohon yang tumbang, tanah yang diaspal tanpa permisi, dan laut yang dipagari dengan beton.
Ia ingin menangis, tapi air mata seperti enggan keluar di tanah yang tak lagi mengenal kebenaran.
Di Sorong, ia ditahan sebagai “pengganggu stabilitas.”
Ia disebut anti-nasional. Ia difitnah sebagai provokator. Dan lebih menyakitkan lagi: wajahnya terpampang di koran lokal.
Di dalam sel sempit itu, Yoram mendengar burung-burung dari jendela yang terkunci. Tapi tidak ada suara cendrawasih.
Yang ada hanyalah dengung mesin dan tawa sinis dunia.
Kampung Sauwandarek perlahan hilang dari peta.
Sebagian besar warga pindah. Anak-anak dibawa ke kota. Rumah-rumah kayu dibiarkan lapuk. Hutan ditebas, laut ditimbun, dan perahu-perahu nelayan diparkir selamanya.
Kini, bukit Aingge sudah setengah menganga, dijarah dalam nama pembangunan. Dari perutnya, diangkut ribuan ton nikel, yang katanya akan jadi bagian dari mobil listrik di Eropa.
Tapi tak satu pun anak kampung mendapat pekerjaan tetap. Yang mereka dapat hanya debu, lumpur, dan janji yang meleleh seperti lilin di tengah siang bolong.
Davin, anak Yoram, tumbuh di kota. Ia bekerja sebagai kuli bongkar muat di pelabuhan. Ia sudah lupa bagaimana cara menyelam, lupa bahasa tanah, lupa tifa, lupa doa.
Dan yang paling menyesakkan—ia tak pernah mendengar suara cendrawasih.
Beberapa tahun kemudian, Yoram dibebaskan.
Tapi ia bukan orang bebas. Ia lelaki patah. Rambutnya memutih, tubuhnya meluruh seperti tanah yang terus digali.
Ia tinggal di barak kecil di pinggiran kota. Tiap sore, ia duduk di bangku bambu menghadap laut. Tapi laut tak lagi bersuara. Hanya ada kapal-kapal logistik dan pelabuhan besar seperti mulut naga yang terus mengunyah.
Angin sore menyapu pipi mereka. Jauh di ufuk, warna senja berubah abu. Dan langit tetap sunyi.
Raja Ampat dulu dikenal sebagai mutiara Pasifik.
Kini ia menjadi tambang—diperas dalam nama masa depan.
Mereka menggali bumi demi teknologi hijau, tapi melupakan manusia dan burung yang hidup di dalamnya.
Cendrawasih telah menyanyikan lagu terakhirnya.
Bukan karena waktu, tapi karena manusia tak lagi sudi mendengar.
SELESAI.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini
















