Dengarkan Artikel
Litani di Bawah Waktu
~Untuk Putri Permatasari
Aku telah terlalu lama menanti,
hingga bayanganku hafal segala bentuk tundukku di hadapan doa.
Jam di dinding berdegup perlahan,
seperti dada mimpi yang enggan dilanjutkan malam.
Aku bersila di lantai—
tanpa kursi, tanpa takhta, tanpa arah kecuali diam di sini.
Waktu menetes dari helai rambutku,
menyusuri bahu dengan sisa-sisa hari
yang gagal menjelma temu.
Kadang aku menduga:
Tuhan sedang menyalin takdir
dengan tinta yang hampir habis.
Aku ingin percaya,
setiap kesunyian memiliki peta rahasianya sendiri—
dan langkahmu, di mana pun kini menapak,
sedang menuju celah cahaya yang sama
dengan tempat aku menunggumu:
meski di antara kita
terbentang berabad-abad bisu.
Aku tak lagi menanyai kapan;
waktu pun telah letih menjawab.
Aku hanya ingin memandangmu sekali nanti,
tanpa gentar, tanpa gigil,
seperti laut memandang langit:
tak bersentuh,
namun saling menyimpan warna satu sama lain.
Sebelum Segalanya Bersua
~Untuk Putri Permatasari
Kita tak pernah benar-benar bersua,
namun mataku mendadak tahu arah pulang.
Ada sesuatu di udara pagi itu—
mungkin getar langkahmu
yang urung melewati jarakku,
mungkin bayangmu
yang terselip di lipatan waktu.
Aku tak menyentuhmu,
namun dunia tiba-tiba bergeser warna:
langit merendah,
udara menua,
dan jantungku berdetak
seperti pintu yang diketuk dari dalam.
Barangkali kita bersinggungan
di dimensi doa—
tempat Tuhan menyimpan segala “hampir”
yang gagal menjelma kenyataan.
Mungkin di sana kau sempat menoleh,
menatapku sekejap—
📚 Artikel Terkait
cukup untuk mengubah arah seluruh hidupku.
Sejak itu, setiap langkah
menyimpan jejak samar dirimu:
hadir tanpa hadir,
hilang tanpa pernah dimiliki.
Aku berjalan dengan dada yang padat—
bukan oleh cinta,
melainkan oleh kesadaran baru
bahwa di dunia ini,
ada seseorang
yang membuatku percaya
pada yang tak terlihat.
Dan itu,
sudah cukup untuk kusebut
sebagai pertemuan.
Ponorogo, 2025
Tubuh sebagai Doa
~Untuk Putri Permatasari
Ada malam di mana napasku tersandung—
bukan oleh debu,
melainkan oleh namamu
yang tiba-tiba bersemi di tenggorokan.
Aku tak tahu dari mana asalnya;
barangkali dari sisa doa
yang tak sempat kupulangkan ke langit,
atau dari cermin
yang menampung wajah asing
namun matanya masih mengingat aku.
Sejak itu udara riuh oleh firasat.
Langkahku memantul di jalan
seperti gema yang kehilangan mula,
mencari tubuh yang dahulu menyebutnya suara.
Setiap cahaya yang pecah di kaca
menyimpan bayang yang hampir kukenal—
barangkali engkau,
atau diriku
yang belum selesai lahir dari sunyi.
Aku tak lagi dapat tidur.
Sebab di dalam gelap
ada tubuh yang tak sengaja kusebut,
bukan karena rindu,
melainkan karena separuh diriku tiba-tiba tahu:
ia pernah menjadi engkau
di masa yang telah gugur dari hitungan waktu.
Malam itu kuangkat tangan,
menyentuh udara yang menggigil,
dan berbisik:
“Jika ini cinta,
biarlah ia menyalakan aku
tanpa menjadikanku abu.”
Ponorogo, 2025
Epilog dari Sebuah Nama
Aku menulis namamu tanpa huruf,
sebab huruf selalu gagal
menampung yang suci sekaligus fana.
Setiap kali kutulis,
tinta menjelma jalan pulang ke matamu.
Lalu kuhapus perlahan,
karena aku tahu:
cinta tak diciptakan untuk kekal di kertas,
melainkan untuk dibaca di udara
sebelum pagi menggulungnya menjadi embun.
Jika suatu hari kau menemukan keheningan ini,
anggaplah ia suratku yang tersesat.
Tak perlu kau balas—
cukup sambut ia
dengan sepotong napas
dan segelas pengertian.
Ponorogo, 2025
S. Sigit Prasojo, lahir di Ponorogo, 25 Juli 2001. Ia adalah santri di Pondok Pesantren An-Najiyah Ponorogo, aktif di Himpunan Penulis Mahasiswa, dan menjabat sebagai Wakil Ketua HIMA DIWANGKARA Pendidikan Bahasa Jawa STKIP PGRI Ponorogo. Pernah menjadi juri Cipta Puisi FLS2N 2025 serta meraih berbagai kejuaraan kepenulisan tingkat nasional. Ia tergabung dalam komunitas sastra seperti Partey Penulis Puisi dan Aksara Malaysia. Karyanya telah dimuat di berbagai media sastra nasional, baik cetak maupun daring.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini
















