Dengarkan Artikel
Oleh: Juni Ahyar, S.Pd., M.Pd.
Akademisi dan Pemerhati Pendidikan dan Bahasa Universitas Malikussaleh
Narasi Generasi Emas 2045 begitu sering kita dengar. Pemerintah, pakar, bahkan dunia pendidikan kita berulang kali menegaskan bahwa Indonesia akan menikmati bonus demografi, di mana mayoritas penduduknya berada pada usia produktif. Untuk menyongsong momentum ini, berbagai jargon modern diluncurkan: digitalisasi sekolah, kelas coding, pembelajaran berbasis teknologi, hingga integrasi Artificial Intelligence (AI) ke ruang kelas. Seolah-olah, kita siap melangkah dengan penuh percaya diri ke masa depan.
Namun, pertanyaan mendasar pun mengusik pikiran: apakah kita benar-benar siap? Di balik sorot lampu digitalisasi, ada kenyataan pahit yang jarang dibicarakan. Masih banyak anak SMP hingga SMA di Indonesia yang belum mampu membaca dengan lancar, apalagi memahami bacaan dengan baik. Kemampuan berhitung sederhana pun masih menjadi tantangan di sejumlah daerah.
Jika kita jujur menatap cermin, apakah kita sudah benar-benar menyiapkan pondasi pendidikan yang kokoh untuk menyambut tahun 2045?
Pondasi yang Retak Pendidikan ibarat sebuah rumah. Fondasi yang kokoh akan membuat bangunan berdiri tegak, tak mudah runtuh oleh badai zaman. Tetapi, bagaimana mungkin kita berbicara tentang membangun rumah mewah dengan hiasan teknologi canggih, jika pondasinya sendiri retak?
Pemerintah kerap memamerkan kemajuan, seakan kualitas pendidikan Indonesia sudah merata. Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan kesenjangan yang menganga: banyak anak di daerah pedesaan dan pelosok masih berjuang untuk lulus dari “revolusi abjad dan angka.”
Jika kesenjangan dasar ini terus diabaikan, narasi Generasi Emas 2045 hanya akan menjadi mitos. Kita tidak bisa berharap pada pohon yang berbuah manis, jika akarnya saja belum tertanam dengan baik.
Kilau teknologi yang membutakan tak ada yang salah dengan kemajuan teknologi. Digitalisasi dan AI bisa menjadi alat yang luar biasa untuk mempercepat pembelajaran. Tetapi, masalah muncul ketika kita terlalu terpesona oleh kilau teknologi, hingga lupa bahwa pendidikan bukan sekadar adu cepat dalam mengadopsi inovasi.
Pendidikan adalah tentang keadilan akses dan kualitas, tentang memastikan semua anak — dari kota besar hingga desa terpencil — punya kesempatan belajar yang sama.
Membuka kelas coding di sekolah unggulan di Jakarta tidak otomatis memperbaiki kemampuan membaca anak-anak di pelosok Papua atau daerah perbatasan. Kemajuan teknologi hanya berarti jika ia berjalan berdampingan dengan pemenuhan kebutuhan dasar pendidikan: guru yang berkualitas, infrastruktur yang layak, serta kurikulum yang membumi.
Keadilan Pendidikan: Mulai dari yang Tertinggal Keadilan pendidikan tidak dimulai dari siapa yang tercepat, tetapi dari siapa yang paling tertinggal. Selama kita tidak serius membenahi dasar-dasar pendidikan, generasi yang kita banggakan tidak akan pernah siap menghadapi masa depan. Apa artinya berbicara tentang AI, robotika, atau sekolah pintar, jika banyak anak kita masih tidak mampu memahami arti kalimat sederhana?
Kita butuh kejujuran untuk mengakui posisi kita hari ini. Pendidikan bukan panggung kontes elitis, tetapi hak semua anak bangsa untuk belajar, berpikir kritis, dan berjalan di jalan hidup yang mereka pilih. Membangun pendidikan berarti memastikan setiap anak Indonesia mampu membaca, berhitung, dan berpikir jernih sebagai langkah awal menuju kemajuan.
Ajakan untuk Sadar Generasi Emas 2045 hanya akan menjadi kenyataan jika kita berani menata ulang prioritas. Bukan dengan menolak kemajuan, tetapi dengan memastikan kemajuan itu berpijak pada fondasi yang kuat. Jika akar pendidikan kita rapuh, jangan pernah bermimpi pohon ini akan berbuah emas. Sebab, emas bukan lahir dari janji manis, melainkan dari kerja keras, kesadaran, dan keberanian untuk memperbaiki dari akar.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini






