Dengarkan Artikel
Salah satu poin penting dalam Pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Poin ini sangat krusial mengingat semakin kompleksnya persoalan kehidupan akhir-akhir ini.
Dalam pikiran yang cerdas akan tumbuh kreativitas dan inovasi. Selain itu, pikiran cerdas akan melahirkan kemampuan beradaptasi dengan segala persoalan, termasuk persoalan yang diberikan pemerintah.
Mengapa pemerintah malah memberi persoalan? Ya, seharusnya pemerintah memfasilitasi rakyatnya agar mampu mengatasi persoalan. Namun, yang terjadi malah sebaliknya, bahkan terjadi di dunia pendidikan kita. Dunia yang seharusnya bebas intervensi sehingga dapat mencerdaskan generasi penerus bangsa.
Faktanya, dunia pendidikan tidak bebas intervensi. Dunia pendidikan masih didikte dari atas hingga ke bawah. Kewajiban menampilkan statistik hijau dunia pendidikan menghalalkan segala cara.
Kesuksesan pendidikan ditandai dengan nilai siswa yang tinggi, kelulusan nyaris 100 persen, bahkan beberapa sekolah mencapai 100 persen. Sehingga substansi mencerdaskan kehidupan bangsa telah sirna. Ini pengkhianatan konstitusi.
“Peduli amat dengan konstitusi, bukankah yang terpenting jabatan saya aman? Bukankah yang terpenting sejarah mencatat prestasi saya?” Orientasi ini yang dipegang teguh para pengambil kebijakan.
Dan para guru harus melaksanakan kebohongan akademik, afektif, dan psikomotorik. Idola pikiran di atas yang disebutkan Francis Bacon sebagai idols of the marketplace. Bahkan di kampus, ‘penyakit’ sudah mulai menjalar bak kanker.
Banyak sekali profesor karbitan demi level universitas. Dengan kuantitas profesor sekian, maka universitas dapat naik level. Secara kasatmata bagus, ada kompetisi menjadi cerdas, namun kenyataan berbicara lain. Bukan perlombaan cerdas, namun perlombaan menaikkan level universitas.
Di sekolah-sekolah, hal yang sama kerap terjadi. Perlombaan menjadi sekolah favorit mengharuskan sekolah menambah nilai siswa. Perlombaan itu, tanpa disadari, bukan hanya merusak moral guru, tetapi siswa ikut dirusak moralnya.
“Ngapain belajar keras, toh sudah pasti naik kelas,” suara siswa di ujung jalan yang asyik bermain gim daring.Guru yang idealis mencoba kreatif dan inovatif, namun seakan sia-sia di hadapan pejabat yang pragmatis. Bagi pejabat, tidak penting objektivitas, yang penting apa untungnya untuk institusi, terutama saya.
Praktik dongkrak nilai telah, sedang, dan akan terus terjadi. Bukan hanya di sekolah, di kampus terjadi hal yang sama. “Yang penting ijazah asli, nilai bisa dikompromikan, dan ilmu tidak perlu, yang penting uang dan relasi,” kata seorang mahasiswa yang asyik live TikTok.
Suatu hari nanti, negara ini bakal tidak sadar sedang dijajah atas nama kerja sama ekonomi. Hal itu disebabkan kefakiran ilmu ditambah kepapaan iman. Bahkan sekarang pemerintah sudah membungkus utang dengan frasa kerja sama.
Emangnya negara mana yang mau kerja sama dengan Indonesia, kecuali kerja utang? Silakan baca klausul-klausul kerja sama selama ini.
📚 Artikel Terkait
Bahkan IKN yang digembar-gemborkan banyak investor berujung pada APBN. Belum lagi proyek-proyek utang yang dahulu dibungkus frasa investasi dan kerja sama.
Kita maklumi bahasa penguasa yang mengelabui itu, ditambah lemahnya daya kritis kita. Ditambah para pendukung politik yang fanatik dengan kecacatan logika yang parah.
Perkara itu membuktikan satu hal: dunia pendidikan gagal menciptakan masyarakat cerdas. Masyarakat kritis, masyarakat yang berpikir ilmiah sehingga tidak mudah dikelabui.
Benar, usaha guru menciptakan masyarakat itu telah coba dilakukan. Misalnya hukuman akademik, namun para kepala sekolah yang ditekan kepala dinas dan seterusnya, lagi-lagi harus nurut pada atasan yang terkena idols of the cave.
Manusia dalam gua itu, kata Plato, hanya senang membaca laporan yang sesuai keinginan. Bahkan membaca artikel, esai, opini, sekalipun harus yang memuja kinerjanya.
Francis Bacon tersenyum, mereka itu manusia yang memiliki hijab dengan ilmu pengetahuan. Tidak siap dengan pengetahuan baru, manusia yang senang melihat bayangan sendiri.
Padahal di luar gua pikirannya ada sungai, buaya, buah-buahan, dan sinar mentari yang hangat.
Soal ini saya ada pengalaman. Ketika saya mengirimkan rilis ke sebuah media, katanya tidak bisa dimuat karena Kadis Pendidikan saat itu haram dikritik.
Dari Neusu ke Pango saya jalan kaki guna menjelaskan substansi tulisan itu. Setelah itu, saya katakan, “Ganti saja judulnya.”Saya senang karena dapat merasakan era kolonial Belanda. Era di mana kritik dianggap hasutan. Dalam hati, “Barangkali begini yang dirasakan Hatta dan Tan Malaka.”Meski sudah di era pencerahan, namun penjajahan memang bukan fisik saja, pemikiran pun harus sesuai penghuni gua.
Nah, di tahun ajaran baru ini, di mana anak-anak mengenal lingkungan baru, mereka mulai keluar dari gua itu.Mereka mulai paham bahwa suatu hari nanti, mereka akan berpisah dengan orang tuanya. Mereka akan mengenal beragam perspektif, mendapat pengalaman baru, namun kembali ke gua apabila orang tua membela kemalasan dia dengan keharusan nilai bagus. Bahkan memaksa guru memberi nilai bagus anak demi gengsi dan pamer di media sosial,
Anak yang pintar akan kecewa dengan penilaian sama padahal usaha berbeda. Barangkali hanya anak cerdas yang paham bahwa kerja dunia tidak seperti di dalam gua pikiran.Mereka paham rumus matematika meski tak hafal, dan mereka mampu menjawab persoalan baru dalam matematika tanpa menggunakan rumus baku yang diajarkan.
Para guru yang beradaptasi dengan atasan yang di dalam gua juga kelompok cerdas. Mereka paham bahwa gua para atasan itu angka statistik.
Hal paling utama, para guru tetap mengajar meski penilaiannya dilecehkan oleh atasan di dalam gua.
Mengajak atasan ke luar gua itu bukan hal mudah. Tulisan ini salah satu upaya saya mengajak para bos di dunia pendidikan agar keluar dari gua.
Bila ada guru yang membaca tulisan ini, tolong kirim ke kepala dinas, bahkan menteri. Biar mereka tidak bermental kolonialisme, agar mereka membaca kembali Pembukaan UUD 1945, dan meresapi makna frasa mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ingat, di situ bukan menjadikan bangsa pintar, namun cerdas.
Semoga tahun ajaran baru membuka perspektif baru dalam dunia pendidikan. Siap?
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini


















