Dengarkan Artikel
Oleh: Hanif Arsyad
Dosen Universitas Malikussaleh
Tanggal 9 Juni tepatnya hari meugang besar di dalam tradisi masyarakat Aceh, aroma khas meugang memenuhi udara Aceh. Tradisi kuliner menyambut Idul Adha ini lebih dari sekadar membeli daging; ia adalah ritual sosial, ungkapan syukur, dan pengikat tali silaturahmi yang telah berdenyut dalam jantung budaya Aceh selama berabad-abad.
Namun, di tengah hiruk-pikuk persiapan ini, para Aparatur Sipil Negara (ASN) Aceh tetap harus memenuhi panggilan tugas. Fenomena ini memantik pertanyaan mendasar untuk siapa otonomi khusus Aceh ini, dalam menghormati dan mengakomodasi “local wisdom” atau kearifan lokal seperti meugang, terutama ketika dibandingkan dengan praktik di daerah lain seperti Bali?
Otonomi Khusus Aceh: Janji dan Realitas Pengakuan Budaya
Aceh diberikan otonomi khusus (Otsus) melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Otsus ini lahir dari pengakuan atas sejarah, identitas budaya, dan perjuangan rakyat Aceh yang unik. Salah satu pilar pentingnya adalah pengakuan dan penghormatan terhadap adat istiadat dan budaya Aceh (Pasal 1 butir 2, Pasal 18 UUPA).
UUPA juga memberikan kewenangan kepada Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk membentuk Qanun (Peraturan Daerah) yang mengatur kehidupan bermasyarakat berdasarkan Syariat Islam dan adat istiadat (Pasal 125, 143).
Secara hukum, pintu untuk mengakomodasi kearifan lokal seperti Meugang dalam kebijakan pemerintah daerah (termasuk ketenagakerjaan) terbuka lebar. Kewenangan untuk menetapkan hari libur daerah tambahan di luar libur nasional, juga dimungkinkan. Namun, realitas phenomena ini menunjukkan bahwa Meugang, sebagai tradisi budaya yang sangat mendalam dan dirayakan oleh mayoritas masyarakat Muslim Aceh, belum mendapatkan pengakuan formal dalam bentuk kebijakan yang memberikan kelonggaran waktu bagi ASN untuk sepenuhnya menghayati tradisi ini. Di beberapa kantor, kampus masih membelakukan kehadiran sampai jam pulang di hari meugang tersebut.
Sebagai perbandingan, Bali yang tidak memiliki otonomi khusus seperti Aceh justru memberikan contoh nyata bagaimana kearifan lokal yang bersifat religius-budaya diakomodasi secara komprehensif dalam tata kelola pemerintahan. Hari Raya Nyepi, hari keheningan umat Hindu, bukan hanya diakui sebagai hari libur nasional, tetapi diatur secara khusus melalui Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2020 tentang Cuti Bersama dan Hari Libur Khusus Provinsi Bali.
Peraturan ini tidak hanya memberikan cuti bagi pegawai, tetapi juga mengatur penghentian total aktivitas publik: sebagai contoh Pelayanan Bandara Internasional Ngurah Rai dihentikan selama 24 jam,dan begitu juga PLN mematikan aliran listrik di area publik (kecuali rumah sakit dan layanan vital tertentu). Aktivitas di jalan raya dilarang (kecuali keadaan darurat). Tempat hiburan dan usaha ditutup demi terciptanya kesakralan hari raya Nyepi.
Kebijakan ini lahir dari pengakuan mendalam terhadap esensi spiritual dan kosmologis Nyepi bagi masyarakat Bali. Ini adalah implementasi konkret dari “local wisdom” yang dijadikan dasar kebijakan publik, meskipun Bali tidak memiliki status otonomi khusus sekhusus Aceh.
Meugang: Bukan Sekadar “Tradisi”, Tapi Identitas Budaya
Meugang merupakan jantung tradisi sosio-kultural Aceh yang jauh melampaui sekadar acara belanja daging. Ia adalah ritual holistik yang mengintegrasikan empat dimensi krusial: religius (penyambutan Idul Adha dan penghayatan makna kurban), sosial-budaya (puncak silaturahmi, berbagi dengan fakir miskin, serta penguatan ikatan keluarga/tungku dan komunitas), ekonomi (penggerak utama perekonomian lokal peternak dan pedagang), serta psikologis (pemupuk semangat gotong royong dan kebersamaan/seunaleuk).
Tradisi ini menjadi pilar identitas kolektif masyarakat Aceh dan manifestasi nyata nilai-nilai adat serta kearifan lokal.
Di sisi lain, aturan pemerintah pusat mewajibkan Aparatur Sipil Negara (ASN) Aceh secara penuh, terutama pada sore hari puncak persiapan Meugang, menciptakan konflik loyalitas dan identitas yang mendalam.
📚 Artikel Terkait
Kebijakan ini mengabaikan kompleksitas makna Meugang dan secara praktis memutuskan ASN dari partisipasi aktif pada inti ritual (seperti memasak bersama, membagikan daging, dan jamuan keluarga). Hal ini tidak hanya menunjukkan ketidakpekaan terhadap nilai lokal, tetapi juga memaksa ASN memilih antara kewajiban birokrasi dan tanggung jawab sosial-budaya yang melekat dalam identitas mereka, berpotensi menimbulkan stres dan merusak harmoni sosial.
Fleksibilitas jadwal kerja pada hari tersebut merupakan bentuk pengakuan dan penghormatan terhadap identitas budaya Aceh.
Di Mana Letak Kekhususan Aceh dalam Local Wisdom?
Otonomi Khusus Aceh (UUPA 11/2006) ibarat pisau bermata dua: ia memberikan kekuatan hukum super untuk melindungi adat, tapi dalam kasus Meugang, pisau ini belum diasah dengan baik. Secara ilmiah, hukum adat itu “living law” (hukum yang hidup) – bukan sekadar aturan kuno, tapi praktik sosial yang nyata dan terus bernapas. Meugang jelas masuk kategori ini.
Meski bukan hari raya resmi agama, ia adalah tradisi turun-temurun yang menyatu dengan ritus keagamaan (Idul Adha). Data antropologis menunjukkan simbiosis mutualisme antara agama dan budaya di Aceh: Idul Adha memberi makna teologis, sementara Meugang menjadi wujud sosial-ekonominya.
Argumen “bukan hari raya resmi” itu keliru secara antropologis karena mengabaikan prinsip cultural embeddedness (keterlekatan budaya) – di mana nilai agama justru hidup melalui praktik budaya lokal. Logikanya sederhana: kalau di hari biasa ASN bisa izin karena anak sakit, masak di hari sakral budaya malah dilarang pulang?
Libur nasional Idul Adha setelah Meugang juga bukan alasan – karena ritual persiapan (masak bersama, bagi daging, kumpul keluarga) justru inti dari tradisi ini. Menolak kebijakan adaptif sama saja mengubur hidup-hiduran roh Otonomi Khusus yang diamanahkan konstitusi khusus untuk Aceh.
Mencari Solusi dalam Semangat Otsus
Kekhususan Otonomi Aceh seharusnya menjadi alat untuk memperkuat identitas Aceh, bukan sekadar tambahan kewenangan administratif. Untuk menghidupkan ruh “local wisdom” dalam Otsus Aceh, khususnya terkait Meugang, beberapa langkah dapat dipertimbangkan:
1. Kajian Mendalam: Pemerintah Aceh bersama Majelis Adat Aceh (MAA) dan ulama perlu melakukan kajian resmi tentang signifikansi budaya, sosial, dan ekonomi Meugang serta dampak kebijakan ketenagakerjaan saat ini.
2. Qanun Khusus: Hasil kajian dapat menjadi dasar penerbitan Qanun yang mengatur secara khusus tentang hari-hari penting adat/budaya Aceh, termasuk Meugang. Qanun ini dapat mengatur bentuk pengakuan, seperti pemberian cuti bersama daerah atau pengaturan jam kerja khusus pada hari Meugang.
3. Kebijakan Fleksibel: Jika Qanun dirasa terlalu formal, Gubernur dapat mengeluarkan Surat Edaran atau Kebijakan Internal yang memberikan kelonggaran bagi ASN untuk mengurus kebutuhan tradisi Meugang, misalnya dengan mengatur izin setengah hari atau jadwal kerja yang lebih fleksibel pada hari H Meugang.
4. Dialog Publik: Membuka ruang dialog antara pemerintah, DPR Aceh, tokoh adat, ulama, serikat pekerja, dan masyarakat untuk mencari solusi bersama yang menghormati tradisi sekaligus menjaga pelayanan publik.
Sebagai penutup dari tulisan ini, mari kita cermati lebih dalam tentang Keistimewaan Aceh tak boleh terpenjara dalam pasal-pasal UUPA semata, tetapi harus berdenyut dalam kebijakan nyata.
Meugang adalah ujian telak bagi komitmen itu: ketika birokrasi memaksa ASN absen dari ritual inti persiapan Idul Adha, Otonomi Khusus gagal menghidupi local wisdom-nya sendiri. Bali membuktikan bahwa menghormati kearifan lokal (seperti shift work saat Nyepi) tak merusak tata kelola—justru memanusiakan birokrasi.
Mengabaikan Meugang dalam ritme kerja adalah pengkhianatan halus terhadap roh Otsus—sebab otonomi tanpa jiwa budaya hanyalah kerangka kosong.
Mengabaikan denyut nadi budaya seperti Meugang dalam ritme birokrasi adalah bentuk inkonsistensi dalam implementasi Otonomi Khusus itu sendiri. Sudah waktunya Otsus Aceh tidak hanya berbicara tentang politik dan syariat, tetapi juga benar-benar merangkul dan menghidupkan “local wisdom“-nya yang kaya.
Memberikan ruang bagi ASN untuk menghayati Meugang bukanlah kemewahan, melainkan pengakuan konkret terhadap jiwa dan identitas budaya Aceh yang menjadi raison d’êtreOtonomi Khusus itu sendiri.Saat tradisi seperti Meugang dihormati dalam kebijakan, barulah kekhususan Aceh menemukan maknanya yang paling otentik.
Kekhususan Aceh akan mati suri jika hukum hanya jadi artefak, bukan nafas yang menghangatkan kebudayaan. Saat daging Meugang dibagi, di situlah Otsus diuji: menjadi tinta di kertas, atau darah daging dalam sanubari rakyatnya.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini


















