• Terbaru
Si Miskin Tidak Boleh Sakit

Si Miskin Tidak Boleh Sakit

May 8, 2025

🚩🚩SELAMAT PAGI MERAH PUTIH

November 11, 2025

Benarkah Matematika Mata Pelajaran Horor?

November 11, 2025

Kepemimpinan, Kecantikan, dan Penampilan Perempuan Dibentuk oleh Budaya Patriarki

November 11, 2025

Kasino Pertama di Uni Emirat Arab: Antara Diversifikasi Ekonomi dan Dilema Identitas Islam

November 11, 2025

🚩🚩SELAMAT PAGI MERAH PUTIH

November 11, 2025

Pahlawan dan Peradaban

November 11, 2025

Tema Lomba Menulis November 2025

November 10, 2025

Mengoreksi Adab Kemanusiaan Kita ( Hari Pahlawan)

November 10, 2025

Menimbang Relativisme Pahlawan

November 10, 2025

Kehebohan Miss Universe 2025: Drama, Sponsor, dan Suara Perempuan

November 10, 2025
Kuliah Tanpa Beban: Kritik Terhadap Klaim Kuliah yang Terlalu Mudah

Banda Aceh Menuju Kota Empat Bahasa: Gerbang Baru Indonesia ke Dunia

November 9, 2025
Pujangga Lama dan Pujangga Baru Punah, Karena Tidak Mendapat Tempat Dalam Negara Sistem Republik

Ketika Kebijakan Menkeu Sudah Bersilangan Dengan Presiden, Purbaya Yudhi Sadewa Akan Lebih Mulia & Terhormat Mundur dari Kabinet

November 9, 2025
Tuesday, November 11, 2025
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Login
  • Register
POTRET Online
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
No Result
View All Result
POTRET Online
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
No Result
View All Result
Plugin Install : Cart Icon need WooCommerce plugin to be installed.
POTRET Online
No Result
View All Result

Si Miskin Tidak Boleh Sakit

Ririe AikoOleh Ririe Aiko
May 8, 2025
0
Reading Time: 2 mins read
Si Miskin Tidak Boleh Sakit
🔊

Dengarkan Artikel

Oleh: Ririe Aiko

Pak Sudar, lelaki 50 tahun, tinggal bersama istrinya di ruangan sempit berukuran 4×6 meter. Ruang itu bukan rumah, lebih mirip kotak kardus raksasa yang kebetulan berdinding tembok. Tiga anak mereka, yang seharusnya duduk manis di bangku SD, lebih dulu lulus dari akademi kehidupan: menjajakan gorengan dan memungut botol plastik demi sesuap nasi.

Suatu hari, Pak Sudar demam. Bukan demam biasa, ini demam kelas pekerja: menggigil, tapi tetap mencoba berdiri. Sebab di dunia Pak Sudar, sakit itu bukan sinyal tubuh untuk beristirahat, melainkan sinyal alarm bahwa dapur akan berhenti mengepul. Tapi tubuh punya batas, dan Pak Sudar tumbang.

Dengan bantuan supir angkot—karena ambulans sepertinya hanya bersahabat dengan alamat rumah pejabat—Pak Sudar dilarikan ke UGD rumah sakit terdekat. Tapi rupanya, pintu UGD punya sensor otomatis: jika masih bisa bernapas, walau sisa nyawa setengah, Anda belum memenuhi syarat gawat darurat. Dan menurut kebijakan yang berlaku, UGD hanya melayani pasien BPJS secara gratis bila sudah masuk kategori gawat darurat medis. Bila tidak, silakan antre di faskes pertama, lengkap dengan surat rujukan, dan wajib ikuti prosedur yang berlaku.

“Ibu harus ke faskes satu dulu,” ujar petugas. Kalimat yang terdengar lebih mirip mantra penolak bala bagi mereka yang dompetnya hanya berisi recehan.

📚 Artikel Terkait

Senerai Puisi Nur Fauzi, S.pd

Puisi-Puisi Delia Rawanita

TIBA DI KAMPUNG

DIA YANG MEMBUAT AKU LELAH

Sambil menahan air mata, sang istri menggandeng suaminya yang setengah hidup, kembali ke faskes satu. Di sana, sistem antrian tak pandang bulu: entah anak menteri atau tukang rongsokan, semua mendapat nomor. Tapi bedanya, yang satu punya uang untuk bypass antrean lewat fasilitas premium, satunya hanya punya doa berharap masih diberi nyawa.

Hari itu, Pak Sudar mendapat nomor urut 35. Pasien baru sampai nomor belasan. Istrinya menangis, memohon, merintih. Tapi tangis tak tercatat dalam regulasi. Suara istri pemulung tidak cukup nyaring untuk menembus tembok administrasi.

Sampai di nomor urut 32, tubuh Pak Sudar sudah tak lagi bergerak. Napas terakhirnya perlahan hilang, tanpa ada yang sempat mencatat kapan detiknya. Diam. Sunyi. Dunia seolah berbisik lirih: “Bagi si miskin, hidup memang selalu sulit. Bahkan saat sakit pun, mereka masih harus belajar menelan pahit—tanpa sempat ditolong.”

Kisah ini hanya sebuah fiksi yang diangkat dari berbagai realita nyata. Sebuah cermin pahit tentang bagaimana kemiskinan kerap melucuti hak-hak paling mendasar manusia. Di negeri ini, bahkan untuk sakit pun si miskin harus menempuh birokrasi dan antrean panjang, seolah nyawa mereka tidak pernah cukup darurat. Inilah hidup—di mana hal paling realistis seperti meminta pertolongan medis, justru menjadi kemewahan yang sulit dijangkau oleh mereka yang hidup di bawah garis Kemiskinan.

“Karena hidup jarang berpihak pada mereka yang tak pernah dianggap ada—mereka yang bukan siapa-siapa.”

🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini

Pria Yang Merindukan Prostatnya
Pria Yang Merindukan Prostatnya
28 Feb 2025 • 202x dibaca (7 hari)
Oposisi Itu Terhormat
Oposisi Itu Terhormat
3 Mar 2025 • 175x dibaca (7 hari)
Ketika Kemampuan Memahami Bacaan Masih Rendah
Ketika Kemampuan Memahami Bacaan Masih Rendah
27 Feb 2025 • 153x dibaca (7 hari)
Keriuhan Media Sosial atas Kasus Keracunan Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Keriuhan Media Sosial atas Kasus Keracunan Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
2 Oct 2025 • 145x dibaca (7 hari)
Kala Anak Negeri, Tak Mengenal Negerinya
Kala Anak Negeri, Tak Mengenal Negerinya
13 Mar 2025 • 140x dibaca (7 hari)
📝
Tanggung Jawab Konten
Seluruh isi dan opini dalam artikel ini merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi bertugas menyunting tulisan tanpa mengubah subtansi dan maksud yang ingin disampaikan.
Ririe Aiko

Ririe Aiko

Ririe Aiko adalah seorang penulis dan pegiat literasi asal Bandung yang dikenal karena konsistensinya dalam menyuarakan isu-isu kemanusiaan melalui karya sastra, khususnya puisi esai. Sejak remaja, ia telah menjadikan dunia menulis sebagai rumahnya. Ia mulai dikenal pada 2006 lewat karya pertamanya Senorita yang memenangkan Lomba Penulisan Naskah TV di Tabloid Gaul dan kemudian diadaptasi menjadi FTV oleh salah satu stasiun televisi nasional. Perjalanan kepenulisan Ririe berakar dari genre horor dan roman, dua dunia yang memberinya ruang untuk menggali sisi gelap dan getir kehidupan. Cerpen-cerpen horornya bahkan sering menjadi trending dan memenangkan penghargaan di berbagai platform, termasuk Arum Kencana yang menjuarai lomba cerpen Elex Novel. Namun di tengah jejak panjang fiksi populernya, Ririe justru menemukan makna baru dalam genre puisi esai—sebuah ruang tempat ia bisa bersuara lebih lantang tentang luka sosial, ketidakadilan, dan harapan yang tertindas. Pada 2024, Ririe menerbitkan buku antologi pertamanya yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama berjudul KKN, sebuah karya kolaboratif yang mempertemukannya dengan pembaca lebih luas. Setahun kemudian, ia menerbitkan buku puisi esai mini bertajuk Sajak dalam Koin Kehidupan (2025), sebagai tonggak awal perjalanannya menapaki genre puisi esai secara lebih mendalam. Tak berhenti di sana, ia menantang dirinya untuk menulis puisi esai setiap hari selama 30 hari di bulan Ramadhan—yang kini tengah dirangkai menjadi buku puisi esai mini bertajuk Airmata Ibu Pertiwi. Ririe juga merupakan Founder Gerakan Literasi Bandung, sebuah inisiatif yang bertujuan menumbuhkan kembali kecintaan anak-anak terhadap buku di era digital. Melalui program berbagi buku, kelas kreatif, dan kegiatan literasi berbasis komunitas, ia membangun jembatan antara dunia literasi dan tantangan teknologi masa kini. Selain menulis, Ririe aktif sebagai kreator video berbasis Artificial Intelligence, menjelajah cara-cara baru dalam menyampaikan pesan melalui medium visual. Baginya, menulis bukan sekadar merangkai kata, melainkan menyalakan cahaya kecil di tengah gelapnya kenyataan—cara untuk berdamai, berjuang, dan tetap bertahan di dunia yang sering kali bisu terhadap suara-suara kecil.

Artikel

Menulis Dengan Jujur

Oleh Tabrani YunisSeptember 9, 2025
#Gerakan Menulis

Tak Sempat Menulis

Oleh Tabrani YunisJuly 12, 2025
#Sumatera Utara

Sengketa Terpelihara

Oleh Tabrani YunisJune 5, 2025
Puisi

Eleği Negeriku  Yang Gelap Gulita

Oleh Tabrani YunisJune 3, 2025
Puisi

Kegalauan Bapak

Oleh Tabrani YunisMay 29, 2025

Populer

  • Gemerlap Aceh, Menelusuri Emperom dan Menyibak Goheng

    Gemerlap Aceh, Menelusuri Emperom dan Menyibak Goheng

    162 shares
    Share 65 Tweet 41
  • Inilah Situs Menulis Artikel dibayar

    152 shares
    Share 61 Tweet 38
  • Peran Coaching Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan

    145 shares
    Share 58 Tweet 36
  • Korupsi Sebagai Jalur Karier di Konoha?

    57 shares
    Share 23 Tweet 14
  • Lomba Menulis Agustus 2025

    51 shares
    Share 20 Tweet 13

HABA MANGAT

Haba Mangat

Tema Lomba Menulis November 2025

Oleh Redaksi
November 10, 2025
Haba Mangat

Tema Lomba Menulis Bulan Oktober 2025

Oleh Redaksi
October 7, 2025
Haba Mangat

Pemenang Lomba Menulis – Edisi Agustus 2025

Oleh Redaksi
September 10, 2025
Postingan Selanjutnya
Menulis Kreatif: Merangkai Kata, Menyulut Makna

Menulis Kreatif: Merangkai Kata, Menyulut Makna

  • Kirim Tulisan
  • Program 1000 Sepeda dan Kursi roda
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Tentang Kami

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
Sign Up with Google
OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi

© 2025 Potret Online - Semua Hak Cipta Dilindungi

-
00:00
00:00

Queue

Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00