Cahaya Ilmuwan Muslim, Warisan yang Abadi (5)
Oleh Gunawan Trihantoro
Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi atau dikenali sebagai Rhazes di dunia barat merupakan salah seorang pakar sains Iran yang hidup antara tahun 864 – 930. Ia lahir di Rayy, Teheran pada tahun 251 H./865 dan wafat pada tahun 313 H/925. Ar-Razi sejak muda telah mempelajari filsafat, kimia, matematika dan kesastraan. Dalam bidang kedokteran, ia berguru kepada Hunayn bin Ishaq di Baghdad. Sekembalinya ke Teheran, ia dipercaya untuk memimpin sebuah rumah sakit di Rayy. Selanjutnya ia juga memimpin Rumah Sakit Muqtadari di Baghdad. [1]
Di Rayy, kota yang terbakar matahari,
seorang anak menatap langit dengan mata haus,
Muhammad bin Zakariya, darah dan nama yang kelak menggema
melintasi lorong-lorong waktu.
Ayahnya, sang penenun kain, berbisik,
“Ilmu, Nak, adalah benang emas yang takkan pernah putus.”
Tapi dunia abad ke-9 bukan tempat yang ramah bagi rasa ingin tahu.
Perpustakaan adalah benteng yang dijaga dogma,
sedangkan tubuh manusia, seperti kitab yang dikunci rapat.
Ar-Razi memilih pisau bedah sebagai kunci,
mengiris tabir keangkuhan, mencari jawaban
di balik denyut nadi dan demam yang membara.
-000-
“Mengapa kau habiskan waktu untuk kotoran manusia?”
tanya seorang ulama, menunjuk tabung urine di tangannya.
Ar-Razi tersenyum,
“Dalam warna kuning ini ada peta penyakit,
lebih jujur daripada kata-kata para bijak.”
Baghdad, 900 Masehi.
Di Baitul Hikmah yang megah, ia menumpahkan racikan
dari kamar besi alkimia,
merubah raksa menjadi obat,
kegelapan menjadi diagnosis.
“Cacar bukan kutukan,” serunya,
“tapi musuh yang bisa dikenali,
dicegah dengan jarum dan kesabaran.”
Suatu malam, saat lilin meleleh di atas meja kayu,
ia menulis di Al-Hawi,
“Kebenaran adalah anak yatim,
tapi kebodohan punya banyak bapak.”
-000-
Para filsuf mengepungnya,
“Kau terlalu memuja akal, Ar-Razi!
Di mana iman?”
Dia menunjuk seorang ibu yang menangis
memeluk anaknya yang kejang,
“Tuhan memberiku akal
untuk menghentikan air mata ini,
bukan berdebat tentang surga
sementara bumi merintih.”
Di rumah sakit Muqtadiri,
ia menggiring revolusi,
tempat tidur pasien diatur menghadap matahari,
luka dicuci dengan air mawar,
dan kegilaan diobati dengan musik,
bukan rantai.
“Jiwa yang sakit,” katanya,
“adalah luka yang bisa dibedah
dengan melodi.”
-000-
925 Masehi. Mata itu akhirnya buta,
tapi pikirannya tetap membara seperti alkimia.
Sebelum wafat, ia berbisik pada muridnya:
“Catat ini,
penyakit menular lewat udara,
logam bisa menjadi obat,
dan langit,
langit selalu lebih luas
dari kitab mana pun.”
Kini, 12 abad kemudian,
dunia masih minum dari sumurnya,
Kimia modern yang lahir dari retortanya,
Psikoterapi dalam gendangnya yang merdu,
Etika kedokteran yang ia tulis dengan darah
dan air mawar.
Di laboratorium-laboratorium mutakhir,
suaranya masih berdesir,
“Ragu-ragulah,
karena keraguan adalah jalan
menuju cahaya.”
Rumah Kayu Cepu, 25 Maret 2025
CATATAN:
[1] Puisi esai ini ditulis dengan inspirasi dari biografi Ar Razi di https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Zakariya_ar-Razi.
Abu Bakar Muhammad bin Zakariya ar-Razi (865-925 M), dikenal di Barat sebagai Rhazes, adalah polymath Persia yang menjadi pionir dalam:
a. Kedokteran: Karya Al-Hawi (Ensiklopedia Medis) menjadi rujukan Eropa selama berabad-abad. Ia membedakan cacar dan campur, serta memperkenalkan metode observasi klinis.
b. Kimia: Mengklasifikasi zat kimia menjadi mineral, nabati, dan hewani. Menemukan asam sulfat dan alkohol.
c. Filsafat: Menolak dogma, mendorong metode skeptisisme empiris.
d. Psikologi: Perintis terapi musik untuk gangguan mental.
Pemikirannya memengaruhi Ibnu Sina, Roger Bacon, hingga Renaissance Eropa. Kini, namanya diabadikan di kawah bulan “Rhazes” dan penghargaan medis internasional.
“Dia adalah Galileo-nya dunia Islam,
yang berani mengatakan,
‘Lihatlah, kebenaran ada di ujung pisau bedahmu,
bukan di ujung pedang.'”
- From “The Physician’s Ode” (2023)