Dengarkan Artikel
Oleh Reza Fahlevi
Di SMA Negeri 5 Putroe Phang
Kriiiingg…
Begitu bel berbunyi, semua siswa mendadak buru-buru; ada yang sedang makan di kantin dan segera beranjak meski nasi guri baru habis setengah piring. Ada juga yang sedang bersih-bersih halaman depan kelas lalu segera berlari ke lapangan sekolah.
Aku sendiri baru saja tiba di sekolah. Ini hari senin dan setiap paginya jam tujuh empat puluh lima, semua wajib menghadiri upacara bendera. Maka, aku pun buru-buru memasuki ruang kelas untuk meletakkan tas, kemudian mempercepat jalan dan berbaris di lapangan.
Selang beberapa menit setelahnya, para guru juga sudah mulai berdiri rapi di depan kantor. Petugas-petugas upacara sudah mengatur posisi – dan mataku yang sedikit nakal ini melihat – aku sedang mencari seseorang. Lantas, tak butuh waktu lama diriku langsung menangkap wanita yang cukup anggun, dialah Tari. Dengan pakaian serba putih, gadis itu berbaris di deretan para pengibar bendera. Ya, dia memang salah satu anggota paskibraka.
Ketika upacara berlangsung dan tepat saat detik-detik pengibaran bendera, entah kenapa aku tak bisa mengalihkan pandangan dari Tari. Dia adalah perempuan yang sudah kukagumi sejak kelas satu, dan masih bertahan sampai kami duduk di kelas dua.
***
Upacara pun selesai, semua siswa dan guru kembali ke ruang masing-masing. Masih ada waktu sekitar sepuluh menit sebelum pelajaran dimulai. Dan, aku sudah merasa tidak semangat sama sekali karena hari ini ada pelajaran matematika yang berlangsung selama tiga jam. Sungguh sangat membosankan.
“Yoo, Fathur…” ujar Angga yang membuatku spontan meliriknya, “pr buk Fitri udah siap belum?” lanjutnya yang langsung duduk di sebelahku.
Aku malah terkejut. “Haahh…? ada pr ya?”
Aku baru sadar ternyata hari Jumat lalu Bu Fitri memberi kami PR. Sialan… aku lupa – sama sekali tidak teringat.
Saat sedang bincang-bincang dengan Angga, secara tak sengaja aku melirik pintu kelas dan melihat Bu Fitri berjalan masuk. Beliau duduk dan tanpa basa-basi langsung menagih hutang. “PR dikumpul! Yang tidak buat, silahkan keluar dan berdiri di tiang bendera sampai jam saya selesai!” katanya dengan suara tegas.
Mati! Bagaiamana ini?
“Angga…” bisikku yang memanggilnya, “bisa mampus kita nih.”
Saat sedamg bisik-bisik dengan Angga, mataku terus mengarah ke teman-teman lain – kulihat mereka mulai mengumpulkan tugas. Lalu, tak lama berselang aku terkejut karena ada seseorang yang memukul meja tempatku berada.
Dubrakkk
Suara pukulan meja itu membuat jantungku berdetak kencang. Dan, hanya sepersekian detik setelahnya, aku menoleh ke atas – kulihat Bu Fitri sudah berdiri di sampingku. Ternyata, beliau yang memukul meja tadi.
“Saya tidak suka mengulang perkataan dua kali.” ujar guru matematika ini.
Aku paham maksud Bu Fitri. Maka, tanpa berlama-lama aku bergegas keluar dari kelas dan berdiri di tiang bendera. Lima menit kemudian Angga juga bergabung denganku.
“Kacau…” ucap Angga sambil mengusap-usap dahinya, “udah tiga kali aku gak buat pr-nya bu Fitri. Kayaknya, kalo sekali lagi aku masih gak buat, dia bakal lapor ke orang tua aku.”
Sepertinya Angga baru saja diceramahi oleh Bu Fitri. Tapi aku tak menggubris dirinya karena tiba-tiba mataku mendapati Tari yang sedang berjalan ke kantin – sendirian.
“Yoo, ada mau nitip, ga? Aku mau ke kantin ni beli minum.” Tanyaku pada Angga.
“Ooo… ayoklah. Aku juga haus nih.”
📚 Artikel Terkait
“Jangan berdua, nanti ketahuan sama Bu Fitri. Satu orang harus tinggal di sini.” Aku mencoba meyakinkan Angga.
“Mmm… betul juga, yaa. Yaudah deh, aku nitip air mineral aja – dingin yaa.”
“Wokee…” sahutku sambil mengacungkan jempol.
Aku pun bergegas pergi menuju ke kantin. Begitu tiba, kulihat Tari sedang makan. Ia melirik ke arahku lalu tersenyum, dan tanpa ampun kubalas juga senyumannya.
“Buk…” aku memanggil penjaga warung, “teh dingin ya”.
Setelah itu aku langsung duduk di tempat yang sama dengan Tari. Posisi kami saling berhadapan.
“Gak masuk, Fathur?” Tanya gadis ini.
“Lagi nyari udara segar aja. Penat kali di kelas.” Sahutku sambil mengambil ponsel dari dalam saku celana. Padahal, sebenarnya aku sedang dihukum.
“Biasa… pelajaran bu Fitri.” Sambungku lagi sambil tertawa tipis.
“Oohh hahaha. Bosan yaa…”
“Iyaa… udah gitu penjelasannya susah kali dimengerti – kejam juga”
Tari tertawa mendengar ocehanku.
Beriringan dengan tibanya pesanan teh dingin, kami berdua mulai berbicara panjang lebar. Tari dan aku berbeda kelas; dia jurusan IPA sedangkan aku IPS. Meskipun demikian, perbedaan ini membuat kami memiliki banyak pembahasan.
Aku sendiri jarang-jarang bisa berduaan dengan Tari. Bisa dibilang hanya beberapa kali saja kami menghabiskan waktu selama dua tahun bersekolah di sini.
Barangkali, yang tak terlupakan adalah saat kami duduk berdua di pos satpam tiga minggu lalu. Tari yang biasanya dijemput oleh ayahnya sedang duduk manis di sana. Dan, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan bagus ini. Kapan lagi bisa berduaan dengan orang yang aku sukai tanpa ada pengganggu.
“Minggu depan turnamen voli dimulai tuh, kamu gak niat motret?” Tari menatapku.
“Hmm… pasti dong.”
Aku memang dikenal sebagai fotografer sekolah. Sudah dari kelas satu sejak gabung di OSIS aku sering motret-motret. Wajar karena bidangku juga di bagian dokumentasi.
“Sesekali fotoin aku dong waktu lagi ngibarin bendera…” kata Tari sambil senyum-senyum malu.
“Oohh, adaa kok. Banyak.”
“Kok gak bilang-bilang…?”
“Sengaja, jadi aku bisa fotoin kamu dengan pose-pose yang aneh, ha ha ha…”
“Ihhh…” Tari mulai jengkel, “awas aja kalo ada foto aku yang jelek-jelek…”
“Mau gimana pun aku fotoin kamu, Tetap aja hasilnya malah bagus. Mungkin cewek manis kalo difoto jelek-jelek pun bakal keliatan cantik juga…” ujarku sambil tertawa.
Tari malah semakin tersipu malu, pipinya mulai agak memerah. Ia seakan salah tingkah gara-gara gombalanku. Kuperhatikan saja gerak-geriknya yang tersenyum sambil menutup mulut. Tapi, aku malah suka melihat perempuan ini seperti itu.
“Pokoknya awas kamu kalo ada foto aku yang jelek…” kata Tari.
“Kalo ternyata foto kamu cantik-cantik gimana?”
Ia tidak berkata apa-apa, hanya diam dalam senyuman. Dan sepertinya aku beruntung bisa melihat senyuman Tari – bahkan lebih beruntung lagi bisa memperhatikan senyumannya langsung dari kedua bola mataku. Bagiku, keindahan ini merupakan anugerah tersendiri. Sengaja diriku tidak mengalihkan pandangan dari Tari sebab sepertinya aku mulai kecanduan melihatnya.
***
Lima belas menit kemudian
Angga duduk melamun tepat di depan tiang bendera. Ketika aku sudah berjarak beberapa meter darinya, ia menoleh padaku dan mulai mengoceh.
“Ke mana aja, sih? Beli minum aja pake lama banget.?” Angga menumpahkan kekesalannya padaku.
Aku tak menyahut apa-apa – hanya mengumbar senyuman seraya memberi Angga air mineral sesuai yang ia pinta tadi.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini


















