Dengarkan Artikel
Jangan memaksa jiwaku. Aku khawatir akan gila dan mati,” ujarku lirih, dan air mataku kembali mengalir. Kembali Sabar menyodorkan tisu padaku. Nuraniku terdiam, lama memandangku.
“Kita coba lagi, ya,” ujar Nuraniku menatapku dengan penuh kasih. “Kami tahu, kamu pasti bisa. Kami selalu bersamamu, bukan?
Kamu adalah cerminan diri kami,” lanjutnya sambil menggenggam tanganku. Di hadapanku, Sabar, Ikhlas, dan Maaf menatapku dengan penuh harap. Aku meletakkan kedua tanganku di dada, sebagai isyarat agar mereka memahamiku.
Aku menarik napas panjang dan melepaskannya perlahan.
“Baiklah,” aku menyerah. “Aku akan diam di sini, di antara perseteruan kalian. Aku akan coba tidur di sini, bersama Nuraniku.” Suaraku lirih, tetapi pasti. Kulihat Sabar, Ikhlas, dan Maaf tersenyum ceria.
“Doakan kami, ya, Mela,” ujar Maaf lirih. Aku mengangguk. Nuraniku tersenyum ke arahku dan masih menggenggam tanganku.
Kuhirup napas dalam-dalam, mengisi dadaku dengan udara yang terasa lebih ringan. Aku tahu, perjuanganku belum selesai. Tapi setidaknya, aku telah memilih jalanku—jalan yang lebih tenang, lebih damai, dan lebih bermakna.
Aku menutup mataku, membiarkan diri larut dalam ketenangan yang mulai menyelimuti jiwaku. Aku tahu, mulai saat ini, aku akan lebih kuat.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini






