Dengarkan Artikel
“Mela, kamu dari mana semalaman? Kenapa tidak menjawabku?” Maaf kembali bertanya padaku. Ternyata ia masih berdiri di hadapanku, menatapku gusar.
Sabar, entah dari mana munculnya, tiba-tiba datang dan memegang bahu Maaf.
“Biarkan Mela istirahat dulu,” ujar Sabar, menenangkan Maaf yang terlihat gusar.
“Aku baik-baik saja. Tidak usah mengkhawatirkanku,” jawabku singkat dan berjalan menghindari Maaf yang masih menghalangi jalanku. Namun, Maaf kembali menghalangiku.
“Apa kamu bilang, Mela? Menurutmu kamu baik-baik saja? Kamu parah, tahu tidak? Sudah tiga bulan kondisimu seperti ini. Kami hampir lelah, Mela. Kami mencoba supaya kamu tidak hancur. Berkali-kali sudah aku katakan, jangan lagi bersahabat dengan Ego dan Hasut. Mereka bukan sahabat yang baik untukmu, apalagi dalam konflikmu saat ini,” ujar Maaf kesal, tetapi suaranya ditahan. Mungkin takut terdengar oleh Ego dan Hasut yang sepertinya masih di kamar mereka masing-masing. Aku tidak melihat Ego dan Hasut di ruang tengah rumahku.
Aku mengurungkan niat menuju kamar dan memilih duduk di sofa ruang tengah. Nuraniku mengikuti langkahku. Begitu juga Maaf dan Sabar. Sabar memilih duduk di antara aku dan Maaf. Aku menghempaskan tubuh ke sofa dan memejamkan mata. Entah kenapa, tiba-tiba air mataku mengalir.
Sabar menyodorkan tisu ke tanganku. Meski mataku terpejam, aku sudah sangat hapal kebiasaan Sabar. Ia selalu melakukan hal-hal yang menenangkan. Dari gerakan tangannya yang perlahan dan lembut saat menyodorkan tisu padaku, aku tahu kalau itu tangan milik Sabar.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini






