Oleh Fanny Jonathans
Saya punya banyak teman yang sukses. Jabatan mereka keren-keren dan pastinya kaya raya. Sukses dan kekayaan mereka secara materi saya syukuri. Dan ketika mereka ingat saya, lalu menyapa saya. Ya saya sapa balik dengan kapasitas dan gesture isyarat pertemanan yang dia berikan.
So, saya hanya menanti jika mereka memberi isyarat untuk mengundang saya bertemu. Setelah itu, saya hanya mengirim ucap semoga mereka sehat dan happy selalu bersama keluarga. Lama tak berkabar dari teman-teman yang sukses dan telah kaya raya itu, tidak membuat saya terpuruk dalam renungan dan tanya, ‘mengapa mereka meninggalkan dan tak menyapa saya lagi?’
Atau saya bersedih dan bertanya mengapa mereka tidak mengajak saya keliling dunia, naik kapal pesiar, naik pesawat kelas super mewah, menjelajah kota-kota terindah dunia dan kehidupan hedonis lainnya. Meski ada yang pernah berjanji untuk mengajak saya keliling Eropa, namun janji itu lenyap tertelan ludah . Lalu sedihkan saya? Oh no, Esmeralda!
Saya menikmati semua yang terpampang di media sosial tentang mereka sebagai sebuah drama dengan beberapa babak. Hingga akhirnya saya menyimpulkan, jika para teman itu kembali ke ranah marginal dan ingat lagi pada temannya yang selalu bahagia berada di ‘ruang sunyinya’, di situ saya akan membalas sapanya dengan kekuatan kata yang saya miliki dan senyum termanis yang saya punyai, geto dear.
Karena bagi saya, di usia manula seperti ini, sebentar lagi urusan saya dengan bumi selesai. Hal yang tak pernah selesai adalah mengembangkan kreativitas secara simultan melalui karya hingga roh pergi dari raga. Ada teman yang baik dan penuh perhatian patut disyukuri, tidak ada pun tak apa-apa sebab mereka punya hak untuk mau berteman dengan kita atau memutuskan hubungan pertemanan itu sendiri. Semua kita bikin ‘fine-fine’ saja.
Karena bahagia itu bagi saya itu sederhana; bisa menulis cerpen, puisi, novel, melukis, memasak, menyanyi atau nongkrong di TIM sambil ngobrol ngalor-ngidul dan tertawa lepas dengan para sastrawan/penyair/pemain teater, penulis, sambil makan mie nyemek depan TIM, adalah bagian dari kemederkaan secara kemanusiaan yang paling hakiki. Dan sudah pasti serta tak bisa dipungkiri uang hasil honor bergerak di bidang literasi sudah ada di dompet, Rufolfo sayang.
*Nah itulah fiksi mini pagi ini, semoga yang baca terhibur. Yuuk kita makan mie nyemek depan Taman Ismail Marzuki (TIM) rasanya maknyus bingit loh, cuman 15 ribu, murmer say, serta jangan lupa menulis. Bikin apa saja, diary penderitaanmu juga tak dilarang.