Oleh Nyak Arief Fadhillah
Ramadhan Hari Kedua
What would happen to me if I died when I had not yet achieved Allah’s forgiveness?
What if when my breath is taken away, I only remember my sins
Oh God, delay my death until I achieve Your maghfirah
Seorang lelaki yang mengenakan gamis putih, bersandar di salah satu tiang masjid Baitus Shalihin Uleukareng. Matanya terlihat terpejam. Kedua telapak tangannya masih mengenggam mushaf kecil bersampul emas dengan tekstur kulit jeruk. Sedari selepas subuh tadi, aku melihat ia bergerak gontai dari shaf shalat menuju salah satu tiang di sisi kanan, tepatnya empat pilar bagian tengah masjid. Aku tak bisa protes saat ia mendahuluiku, karena aku tak mungkin membuat lebel namaku tertera di sana. Terpaksalah aku memutar arah menuju tiang masjid yang lain, bersila di sana dengan pasrah sembari berharap lelaki itu akan beranjak meninggalkan tiang jantungku di masjid ini.
Waktu telah menunjukkan pukul 08.25 WIB, lelaki itu belum juga beranjak dari tiangku, bahkan ia berani menyandarkan tubuhnya di sana dan terlelap nyaman. Aku begitu kesal dan sedikit agak takut, ya takut bila dalam lelap tidurnya ia akan bertemu dengan aksara dan mimpi-mimpiku. Bagaimana bila ia menemukan bekas sujud di ubin itu, ya Allah di ubin itu begitu banyak pengakuan dosa dan permohonan-permohonanku ?.
Aku begitu malu jika lelaki itu menemukan kupasan nuraniku yang lelah memompa semangatku. Bagaimana bila sebaris sriti doa kematiaanku yang menyimpan isak sedah itu bertutur sendiri, membeberkan kidung kematianku:
“Duhai Rabbi, Engkaulah Dzat yang paling aku takutkan.
“Aku tak mampu melawan takdirMu atas umur dan nyawaku ini”. “Bagaimana jadinya aku bila merenggang nyawa di saat ampunan Mu belum kuraih ?
“Bagaimana bila saat nafasku tercabut, pelupuk mata ini hanya melihat kepongahan dan kemunafikanku, kurang berbaktinya aku pada Abah Umi, tidak bertanggung jawabnya aku sebagai anak lelaki tertua, tidak mampunya aku mengemban amanah sebagai suami dan ayah untuk kelima anak-anakku”.
“Ya Allah, dengarkan doa kematianku ini, cabutlah nyawaku saat ampunan-Mu merengkuh jiwaku dan biarkanlah pelupuk mata ini terbuka menatap cahaya Muhammad yang kucintai itu”
“Aku merindukan Rasul-Mu membentangkan kedua lengannya, memintaku menghambur dalam dekapannya”. “Biarlah aku melesat secepat kilat mendahului angin mencium aroma tubuh Muhammad”
“Duhai Rabbi, Engkaulah Dzat yang paling berkuasa atas semua takdir yang menimpaku”. “Aku hanya meminta, perjalankanlah sisa hidupku menuju taubat dan berhentikanlah nafasku berdetak tanpa tangisan orang-orang yang mencintaiku”
“Kokohkan jiwa Nyak Fathiku, jadikan ia penerus dakwah dan risalah Rasul-Mu, penyanggah yang kokoh untuk ibu dan adik-adiknya”
“Kuatkan Nyak Fathanku, jangan biarkan matanya berlinang melepaskan aku bersemayam dalam liang kematianku”. “Teduhkan mata elangnya seperti Engkau beningkan Ar-Rahman dalam firman agung- Mu itu”.
“Ya Allah, dalam genggaman ada iradah yang Maha dahsyat…”
“Jangan Engkau biarkan setetes pun air mata jatuh dari putera belahan jiwaku Nyak Fathun”. “Terlalu banyak sudah ia merasakan kepedihan dan kesedihan karena aku”. “Jadikan ia permata yang berkilau setiap fajar, menyegarkan udara batin bunda dan saudara-saudaranya”.
”Ya Rabbi, aku bersimpuh sujud bermohon kepada -Mu, tegarkan puteri kecilku Nyak Kasyanaya”.
“Jangan sampai ia menangis terisak terguncang karena mataku terpejam selamanya”. “Biarkan ia tumbuh menjadi tali yang mengikat simpul kasih dan damai bagi bunda dan saudara-saudaranya”.
“Ya Allah Tuhan Rabbiku…”
“Kepada -Mu kusandarkan curahan kasih yang tak terhingga kepada si bungsu Nyak Farashku”
“Aku pun bermohon kepada – Mu, jangan biarkan aku meleleh dalam tidur akhirku melihat kristal rapuh pada mata Nyak Farash”. “Biarkan jiwanya terus bercahaya, menyebar kegembiraan dan kejenakaan bagi bunda dan saudara-saudaranya dalam mengarungi samudera kehidupan”.
“Ya Allah yang Maha pengabul doa dan harapan…”
“Tuntunlah langkah kaki anak-anak hamba menuju misykat ketaatan kepada -Mu, merekalah butir-butir cinta peluh dan air mataku”
“Ya Allah ya Rahman, Engkaulah pemilik cinta dan samudera ampunan yang selalu aku rinduu.
“Terakhir pintaku kepada Mu…”
“Hapuslah semua ingatan istriku, sekecil apapun kebaikan diriku…”
“Ikhlaskan hatinya melepaskan aku yang tak sempurna menjadi lelakinya dan pertemukan ia dengan hamba -Mu yang lain yang lebih baik, lebih hebat mencintainya, mengenggam erat tangannya tanpa kepiluan dan menjadi ayah yang terbaik untuk anak-anak ku dan anak-anaknya kelak dalam kesempatan jodohnya kedua”.
“Takdirkan semua kebahagian dunia dan akhirat untuk perempuan yang dengan satu tarikan nafas akad, aku menikahinya.
“Bahaya”, aku berguman dalam hati. Menyadari itu semua, aku menghampiri lelaki bergamis putih itu dan duduk di sisinya. Aku menatapnya lekat, seolah-olah ia telah mencuri tiang masjidku. Lelaki itu masih memejamkan matanya dan aku mendengar hela debur halus nafasnya. Tak berselang lama, lelaki itu tampak menggerakan tubuhnya, sepertinya ia mulai terusik dan menyadari kehadiranku. Dia menatapku sejenak, tiba-tiba saja ia merubah posisi tubuhnya, duduk bersila dan tidak lagi bersandar.
“Eps, pak Nyak Arief kan ?”
Seketika aku dibuatnya melongo, kaget atas reaksi yang bergitu spontan.
“Ini tak mungkin, pasti tidak mungkin”, batinku dalam hati.
Aku tak percaya jika nanti ia bercerita menemukan lontar kidung sriti kematianku. Bagaimana bila ini benar-benar terjadi ?
“Ya, siapa anda ? kok kenal saya ?” . Aku bertanya sembari mengingat-ingat di mana dan kapan aku bertemu dengan lelaki di depanku ?
“Subhanallah Nyak Arief, aku ini malaikat yang menyertaimu saat engkau dalam rahim ibu ketika akan melahirkanmu, masak sih engkau lupa?”
“Jangan main-main anda..!” . Aku mulai kesal, jawaban lelaki itu membuat aku memplototin wajahnya.
“Sabar Nyak Arief…, biarkan dulu aku membacakan satu hadist Riwayat Bukhari Muslim dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَكَّلَ اللَّهُ بِالرَّحِمِ مَلَكًا فَيَقُولُ أَىْ رَبِّ نُطْفَةٌ ، أَىْ رَبِّ عَلَقَةٌ ، أَىْ رَبِّ مُضْغَةٌ . فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَقْضِىَ خَلْقَهَا قَالَ أَىْ رَبِّ ذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى أَشَقِىٌّ أَمْ سَعِيدٌ فَمَا الرِّزْقُ فَمَا
الأَجَلُ فَيُكْتَبُ كَذَلِكَ فِى بَطْنِ أُمِّهِ
Artinya :
“Allah mengutus seorang malaikat untuk rahim, lalu beliau mengatakan, ‘Ya Allah, ini nutfah.’ ‘Ya Allah, ini segumpal darah.’ ‘Ya Allah, ini segumpal daging.’ Ketika Allah hendak menyelesaikan penciptaan-Nya, beliau bertanya, ‘Ya Allah, lelaki atau perempuan? Apakah dia orang yang celaka atau bahagia? Bagaimana rizkinya? Bagaimana ajalnya?’ akhirnya ditetapkan untuknya semua ketetapan itu di perut ibunya*
“Nah Nyak Arief, akulah malaikat yang diceritakan dalam hadist itu”.
Aku terdiam dan mulai meragukan diriku sendiri. Mungkin nasibku lagi sial hari ini, bertemu dengan lelaki bergamis putih. Aku berusaha mengamati setiap jengkal tubuh lelaki itu, mungkinkan ia pasien rumah sakit jiwa yang nyasar ke sini. Batinku terus bergolak, bertanya dan mulai menduga-duga.
“Bapak yang baik, aku tidak mengenal bapak…”.
Kalimatku terputus karena lelaki itu memotongnya cepat.
“Sudah kukatakan, aku adalah malaikat yang pernah mengunjungimu saat engkau dalam kandungan ibumu”.
Kini aku mulai tak sabar dengan sikap lelaki ini. Dalam faham agama dan keyakinanku, aku termasuk dari sedikit orang yang tidak percaya hal-hal yang aneh begini, seperti makhluk asral yang bertemu dengan manusia, malaikat yang berbicara dengan manusia, orang yang telah meninggal dengan cara gaib bertemu dengan seseorang, garis keturunannya atau murid-muridnya. Maaf, batas Aqidah hanya para Rasul dan Nabi terdahulu saja yang pernah mengalami situasi seperti itu.
“Baik, jika memang engkau malaikat seperti yang engkau ceritakan, lalu apa maksud kedatanganmu saat ini, bukankah tugasmu sudah selesai ?”
“Ingat, jangan coba-coba engkau mempermainkan aku, mengacaukan aqidahku dan satu lagi yang harus kau ingat, meskipun aku tidak menghafalnya, hadist itu pernah kubaca”
“Jangan coba-coba engkau mengelabuiku, dengan cara apa yang menurutmu aku tidak mengetahuinya” Lalu aku mendebatnya dengan mengutip penjelasan Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir
فاثنان عن اليمين والشمال يكتبان الأعمال صاحب اليمين يكتب الحسنات وصاحب الشمال يكتب السيئات . وملكان آخران يحفظانه ويحرسانه ، واحد من ورائه وآخر من قدامه . فهو بين أربعة أملاك بالنهار وأربعة آخرين بالليل
Artinya :
Dua malaikat di sebelah kanan dan kiri, mencatat amal. Yang berada di kanan mencatat kebaikan, dan yang di sebelah kiri mencatat keburukan. Dua malaikat lainnya menjaga fisik manusia. Satu di belakang hamba dan satunya di depan hamba. Sehingga manusia selalu disertai 4 malaikat di siang hari dan 4 malaikat di malam hari. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/504).
“Ingat… ! tak pernah kutemukan satu keterangan hadist pun yang shahih malaikat mendatangi anak manusia dan bercakap- cakap seperti kita saat ini”. Aku memberi intonasi yang tebal dalam kalimatku, sebagai tanda untuk lelaki itu agar tidak seenaknya bersikap, apalagi bermaksud menakutkanku.
“Sabar Nyak Arief, tidak perlu engkau emosi atau pun mengancamku, aku hanya sekedar mengunjungi mu dan membawa pesan langit”
“Ehhhm, pesan langit”
Aku mengulangi dua kata ucapan lelaki itu sembari mengernyitkan dahiku. Ada nada mencela atas jawaban lelaki yang mengaku malaikat itu.
“Dengarkanlah wahai Nyak Arief, aku akan membacakan pesan langit untukmu”
“Silahkan baca, aku tak sabar mendengarnya”. Aku masih menjawab sekenanya dan terang itu sikap sangat menyepelekan yang nyata”
Tiba-tiba saja lelaki itu berdiri, membuka kedua tangannya, seperti seseorang sedang membaca titah raja dalam film kerajaan-kerajaan kuno China. Sekelebat aku melihat lontar berwanrna kristal terbentang di hadapannya. Pada bagian sisi atas dan bawah terlihat lontar itu dijepit oleh jari putih mulus dan lentik lelaki itu. Seketika gemuruh menggelegar dari kubah masjid, begitu dahsyatnya hingga aku jatuh terjerabat dan merasakan seperti sebuah godam berkati-kati beratnya memalu kepalaku. Lalu aku mendengar suara lelaki itu begitu berwibawa:
“Janganlah engkau sombong Nyak Arief, aku diutus untuk mencabut nyawamu”
Aku menatap lelaki itu dengan sekuat cahaya mata yang menebas apa saja, seperti tebasan telunjuk berubah menjadi pedang dalam keampuhan saiful qathi yang digjaya itu.
“Mana Surat Perintahmu, tunjukkan SK takdir kematianku?”
“Engkau masih berani menentang pesan langit Nyak Arief ?”
“Kidung kematianmu itu adalah permohonan ajalmu, engkau selalu membacanya dengan putus asa”
“Engkau salah lelaki yang mengaku malaikat Tuhanku, aku membaca kidung kematianku dengan iman dan keikhlasan, semata mengharap ridha dan kasih sayang Allah”
Aku tatap lelaki itu dengan cara sedikit berbeda, seperti seseorang yang melihat iblis berjubah dan di setiap renda jubahnya bergelantungan ular hitam berkepala merah. Tak terpikirkan sama sekali olehku, lisanku tiba-tiba saja melafalkan:
بِسْمِ اللهِ الَّذِيْ لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْئٌ فىِ اْلاَرْضِ وَلاَ فىِ السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعِ اْلعَلِيْمِ.
Artinya:
“Dengan menyebut nama Allah yang dengan sebab nama-Nya tidak ada sesuatu pun di bumi maupun di langit yang dapat membahayakan (mendatangkan mudharat), dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
Perlahan godam di kepalaku terasa ringan kembali. Tiba-tiba saja nafasku tersengal-sengal seperti atlit sprint 100 meter yang melintasi garis finish.
Deg…, Astagfirullah, aku mendapatkan diriku berada di tiang jantung masjid Baitus Shalihin, tak kurang satu apapun. Segera kubenturkan kepalaku, bersujud, bersyukur dan berdoa:
هُوَ اللهُ ، اَللهُ رَبِّيْ لَا شَرِيْكَ لَهُ. أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَمِنْ شَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ وَأَنْ يَحْضُرُوْنِ
Artinya:
“Dialah Allah. Allah Tuhanku. Tiada sekutu bagi-Nya. Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari murka-Nya, kejahatan para hamba-Nya, dan godaan setan. Aku pun berlindung kepada-Nya dari kepungan setan itu.”
Lalu aku bergegas berwudhu, sejenak lagi waktu Dhuhur tiba dan dengarkan bagaimana pesan langit itu memekik, menggugah kalbu kaum muslimin, mereka bergegas menyahut ajakan mendirikan shalat. Dalam setiap barisan shaf yang tersusun rapi itu, berdiri para musafir, mereka bertakbir, bertahiyyat dan bertahmid menuju kemenangan hakiki yang dijanjikan Allah. Ya, itulah pesan langit.
Aku menepuk-nepuk tiang jantung masjid Baitui Shalihin dengan berbagai rasa yang sulit kugambarkan. Tiang masjid ini adalah ruang rindu yang menghubungkan aku dengan kampung halaman dan kidung kematian. Di sana terpatri pengharapan suatu akhir yang baik dan semua titipan hidup di belakang kematianku, semoga kita selalu berada dalam misykat Rabbi. To be Continued